Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kita dengar mereka berdebat di dalam dan di luar parlemen. Kita tahu demokrasi sedang marak. Kita ikuti para politisi mengatakan, ”kami sedang mencari kebenaran”. Tapi saya kira semua itu hanya salah sangka. Atau sebuah lagak. Sebab ambisi sebuah demokrasi bukanlah, atau tak mungkin, ”kebenaran”.
Jika kita memandangnya sebagai sebuah sistem dan prosedur bagaimana keputusan politik diambil, kita akan melihat bahwa demokrasi bertolak dan berakhir dalam keadaan yang tak pernah utuh. Situasi yang dihadapi adalah situasi serba tergantung, serba mungkin. Di sini, yang membentuknya sering bukan ”kebenaran”, melainkan ”kebetulan”. Castoriadis benar ketika ia mengatakan, demokrasi adalah sebuah ”rezim yang tragis”.
Demokrasi bermula dari pengakuan bahwa nun di atas yang paling atas di dunia ini, dan juga nun di dasar paling dasar dari kehidupan, yang ada adalah sebuah growongan tanpa penghuni, tanpa isi. Sang otoritas yang dulu dianggap punya hak yang abadi, yang didesain Allah, telah terbukti bisa disingkirkan. Fondasi yang semula dianggap kekal telah ditiadakan.
Sejarah revolusi-revolusi menunjukkan itu. Siapa pun yang kemudian mengisi liang kosong itu akan tahu, ia tak identik dengan growongan itu. Ia memegang otoritas, tapi ia tak bisa menyatakan diri dialah sang penentu sepenuhnya. Posisi itu tak sama dan sebangun dengan dirinya. Kehidupan beragam dan berubah, tak mungkin itu-itu-saja, mustahil untuk jadi tunggal. Otoritas yang ada bisa (bahkan dengan sendirinya) goyah. Atau, seperti Ayatullah Khomeini, sang otoritas tetap seorang manusia yang usianya terbatas.
Dengan demikian memang pada akhirnya harus dikatakan, demokrasi adalah kekurangan yang juga keniscayaan. Tak ada alternatif yang lebih pas untuk ketidaksempurnaan riwayat manusia. Dalam hubungan itulah demokrasi bertolak dari asas bahwa mereka, demos, yang berada di luar pemegang otoritas, itulah yang menentukan.
Tapi demos pun sebuah ketakpastian. Hanya sebagai pengertian yang abstrak demos itu bisa dianggap tunggal dan kekal. Dalam pengalaman konkret, cuma sesekali ”rakyat” bisa dihitung sebagai ”satu”.
Agaknya sebab itu pertanyaan para pemikir politik sejak Hobbes hingga Habermas adalah bagaimana tersusunnya sebuah tata, bagaimana terbangunnya sebuah tertib? Bagaimana manusia dalam sebuah negeri bisa akur, hingga kehidupan bisa berjalan rapi dan nyaman?
Ada yang menjawab—terutama yang memandang manusia dengan muka muram—bahwa tata dan tertib hanya bisa terbangun jika ada Leviathan, sebuah kekuasaan besar yang memaksakannya. Ada yang lebih optimistis: mereka yakin bahwa manusia adalah makhluk yang tak hidup dengan subyektivitasnya sendiri, melainkan dengan ”inter-subyektivitas”. Dan ”inter-subyektivitas” itu sudah sejak mula dikukuhkan dalam bahasa. Kita tak bisa mengelak dari bahasa, kita dibentuk oleh bahasa, dan bahasa bukanlah sebuah produk monolog.
Apalagi jika ditambahkan keyakinan: ada rasionalitas yang membuat manusia bisa mencapai mufakat.
Tapi mufakat tak dengan sendirinya sama dengan ”kebenaran”. Dalam bentuknya yang terbaik, mufakat hanyalah jejak-jejak yang menandai ada kebenaran, tapi kebenaran yang tak kunjung hadir. Demokrasi sebenarnya hanya mendapatkan jejak itu, yang lahir dari proses tawar-menawar dan kompromi. Proses itu, apa boleh buat, bergantung kepada keadaan saat itu: perimbangan kekuatan, kehendak masing-masing pihak, dan informasi yang tersedia.
Itu sebabnya, mufakat tak akan mewakili kebenaran yang universal.
Demokrasi adalah sebuah rezim yang tragis, karena ia terpaksa harus bekerja dengan dasar-dasar yang tak kuat, yang tak berlaku selama-lamanya dan diterima di mana saja. ”Kebenaran”, jika hasil konsensus bisa disebut demikian, hanya buah pertimbangan praktis. Kita sepakat karena kita tak bisa terus-menerus bertengkar untuk menentukan bahwa A adalah A. Besok kita harus bekerja untuk hidup, dan untuk itu harus ada stabilitas tertentu.
Ketika kita berkompromi, sering kita tak 100% puas dan tak 100% yakin akan benarnya kesimpulan yang dimufakati. Apalagi tak jarang kompromi itu merupakan hasil kemenangan si kuat yang disamarkan.
Demokrasi yang seperti itulah yang kini dijalankan, juga di Indonesia. Dengan gaya yang berbeda-beda, dalam demokrasi ini yang diharapkan adalah prosedur bertukar-pikiran yang sehat, bertolak dari rasionalitas yang praktis.
Tapi jika demikian, di mana gerangan ada kebenaran yang diyakini? Di mana kita temukan makna yang sangat berarti bagi hidup kita, yang akan kita pertahankan mati-matian? Bagaimana akan ada semangat yang militan untuk meneguhkan A adalah benar-benar A? Bagaimana bila semua nilai jadi nisbi dan kita hanya bekerja separuh hati untuk hidup yang lebih baik, sebab yang ”lebih baik” itu juga tak amat meyakinkan?
Sang militan akan mati. Atau ia harus jadi seorang yang melihat politik seraya melupakan sifat tragis demokrasi. Ia bisa mengikuti semangat Badiou, yang tergugah penuh oleh kebenaran sebagai sesuatu yang mengimbau tak terhingga, tak hanya dibatasi oleh jejaknya sendiri. Sebab militansi hanya bisa bangkit oleh sesuatu yang diakui luhur oleh semua orang selamanya.
Tapi sang militan bisa jadi sang fanatik. Kecuali bila ia bersedia melihat kebenaran bagaikan energi dari petir: gelegar dan cahayanya menggetarkan tapi tak akan pernah menetap.
Di situlah demokrasi, tanpa ambisi mencapai yang ”benar”, tetap penting. Sistem ini memberikan peluang bagi kerendahan hati. Atau kearifan: dalam meraih kebenaran, kita tahu hidup terdiri atas kesementaraan dan pelbagai kebetulan.
Goenawan Mohamad
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo