Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kasijanto Sastrodinomo*
DALAM artikel kolomnya, "Bahasa Nasional" (Tempo, 29 Juli-4 Agustus 2013), Joss Wibisono mengingatkan betapa penting bahasa nasional sebagai alat komunikasi bagi masyarakat majemuk seperti Indonesia ataupun masyarakat lain di Asia Tenggara sebagai perbandingan. Kalau mau, perbandingan itu bisa diperluas dengan masyarakat di Dunia Ketiga lainnya; bahkan dengan beberapa masyarakat negara maju di Eropa yang masih mengalami masalah—jika dianggap sebagai masalah—dengan pembentukan bahasa nasional, misalnya Belgia dan Luksemburg. Dibandingkan dengan masyarakat tersebut, Indonesia "beruntung" karena sejak menjadi nasion baru pada 1945 langsung mengibarkan bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional yang tunggal.
Secara eksplisit, kedudukan bahasa Indonesia tertuang dalam Undang-Undang Dasar 1945, yang menyebutkan, "Bahasa negara ialah bahasa Indonesia." Dalam hal ini, bahasa Indonesia menjadi bahasa resmi dan bahasa kebangsaan. Meski tidak banyak menarik perhatian publik (bandingkan dengan perhatian orang terhadap pembacaan teks Proklamasi atau pengibaran Sang Merah Putih), penetapan bahasa Indonesia sebagai bahasa negara patut dicatat tersendiri. Di tengah situasi politik yang belum sepenuhnya mantap pada awal kemerdekaan, penetapan bahasa itu merupakan patriotisme dalam wujud lain. Maka apa yang dinyatakan Joss Wibisono dalam kolomnya memang benar bahwa kita layak berbangga dengan pencapaian itu.
Bisa dilihat penetapan bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional itu konsisten dengan gagasan dan sumpah "mendjoendjoeng bahasa persatoean" yang diikrarkan kaum muda puluhan tahun sebelum kemerdekaan. Artinya, bahasa kebangsaan Indonesia memiliki landasan historis yang cukup kuat. Klaim bahwa bahasa Belanda tepat menjadi media komunikasi di tanah jajahan karena mewakili kemodernan—seperti pernyataan pendidik kolonial C.J. Nieuwenhuis pada 1925—tak menghapus eksistensi cikal-bakal bahasa Indonesia sama sekali. Kala itu, bahasa Belanda dipandang menjadi "pengucapan kemajuan" termasuk di kalangan nasionalis dan kaum terdidik Indonesia. Benar, seperti ditulis Joss, kalau mau Belanda bisa memberlakukan bahasa kolonial di tanah jajahan. Namun fakta menunjukkan bahwa bahasa itu sulit berfungsi sebagai bahasa perhubungan yang luas seperti halnya Melayu.
Beberapa pihak kemudian mengakui bahwa Indonesia sangat "hebat" dalam memilih dan menetapkan bahasa nasionalnya. Terbaca antara lain dalam risalah Kathryn Woolard (2000), yang menyebut kebijakan bahasa nasional Indonesia sebagai "miraculous success", keberhasilan yang menakjubkan. Atau "sukses besar" menurut Daud Bukhari dalam working paper (1996) yang diterbitkan Universitas Melbourne. Wajar pula, sebagai orang Indonesia dan pejuang kebudayaan negerinya, Sutan Takdir Alisjahbana berbangga hati dan menulis dalam bukunya, Indonesian Language and Literature (1962), bahwa keberhasilan Indonesia menetapkan bahasa nasional merupakan "gejala linguistik yang paling spektakular dalam abad ini". Meski begitu, Takdir Alisjahbana ragu akankah bahasa Indonesia menjadi pengantar ke arah kemajuan ilmu pengetahuan.
Di luar keraguan Sutan Takdir Alisjahbana yang masih ditunggu kebenarannya, pengakuan akan kehebatan itu tak berlebihan. Dalam hal ini, kehebatan ditafsirkan pertama-tama terletak pada motivasi kuat kaum muda yang memperjuangkan dan menamai bahasa Indonesia (bukan bahasa Melayu) sebagai bahasa persatuan lewat kongres mereka. Meski saat berkongres masih berbahasa Belanda, para pemuda tak kehilangan watak agency-nya dalam mencari identitas bangsa. Di sinilah beda pemuda Indonesia dengan kaum ilustrados—intelektual muda Filipina—yang tak kuasa menolak politik kolonial Spanyol dalam pemakaian bahasa turunan Iberian itu. Maka Spanyol tak musnah di Filipina hingga kini. Tagalog, yang disebut-sebut potensial sebagai bahasa nasional negeri itu, terhadang oleh bahasa komunitas lain, terutama Cebuano, Ilocano, dan Hiligaynon.
Kehebatan kedua dalam pembentukan satu bahasa terlihat pada ketepatan pilihan: diangkat dari Melayu yang paling luas sebarannya dan mudah dipahami oleh banyak orang di Nusantara. Dengan mengambil sumber bahasa itu, menurut Joseph Errington (1998), orang Indonesia secara sadar memilih un-native language—"bahasa orang luar tanpa orang luar"—yang bermakna menghindari bahasa kelompok (etnis) tertentu. Jika semata-mata menuruti jumlah penutur (bukan sebarannya), bahasa Jawa—yang diucapkan oleh 48 persen populasi "orang dalam" pada awal kemerdekaan—semestinya "berhak" menjadi bahasa nasional. Namun bahasa itu hanya terpusat di Jawa, semata milik orang Jawa, dan menyandang sistem unggah-ungguh yang akan menyulitkan penutur non-Jawa.
Dalam seminar awal Politik Bahasa Nasional di Jakarta lebih dari tiga dasawarsa yang lalu, antropolog kawakan Koentjaraningrat juga menyatakan kebanggaannya atas pencapaian bangsa Indonesia menetapkan bahasa nasionalnya. "Hanya, sayang," tertulis dalam makalahnya, "justru karena kita telah dikaruniai dengan bahasa Indonesia, kita tanpa banyak perjuangan [sic.], maka sejak lama ada suatu sikap kurang perhatian terhadap bahasa itu." Rasanya pernyataan ini justru penting kita perhatikan sepenuh hati—terlebih akhir-akhir ini. Di sisi rasa bangga, sudahkah kita mengimbanginya dengan merawat, mengembangkan, dan bersikap tepat terhadap bahasa kita?
*) Pengajar Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo