Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Eropa, dua tahun lalu, dipandang cenderung kelam secara bisnis. Selalu percaya pada kemampuan instingnya untuk bertanya apa, kapan, dan di mana waktu terbaik untuk mengerjakan sesuatu, Cliff Burnstein pun mengalihkan perhatian jangka panjangnya ke kawasan dengan mata uang lebih kuat: Amerika Selatan, Asia Tenggara, dan Australia.
"Kami produk ekspor Amerika Serikat seperti halnya Coca-Cola," katanya, seperti dikutip The Wall Street Journal kala itu. "Kami melihat pasar terbaik sebagai tujuan. Saat ini Indonesia ada dalam daftar pantauan saya."
Produk yang disebut Burnstein tak lain adalah Metallica. Inilah band yang merupakan satu dari empat pionir thrash metal, salah satu cabang aliran musik heavy metal yang asal-usulnya bisa dilacak hingga ke paruh pertama 1970-an. Dan band inilah yang memasukkan Indonesia ke daftar tujuan tur dunianya kali ini, berdampingan dengan dua kota lain di Asia Tenggara.
Konser yang rencananya berlangsung di Stadion Gelora Bung Karno, Jakarta, Ahad pekan depan itu bukan yang pertama. Pada 1993, di puncak kejayaannya, Metallica tampil menghibur penggemarnya di Stadion Lebak Bulus di Jakarta. Kedatangannya lagi kali ini jelas mengobarkan gairah penggemar setianya; sampai pekan lalu, Black Rock Entertainment, promotornya, mencatat 25 ribu lembar karcis sudah terjual. Tapi, bagaimanapun, kedatangan ini harus diletakkan juga dalam konteks Burnstein itu.
Burnstein, yang bermitra dengan Peter Mensch memanajeri Metallica (juga beberapa artis lain, melalui Q Prime), sebenarnya tak menjadikan kurs euro yang menyusut sebagai satu-satunya pemandu keputusan bisnisnya. Dalam kenyataannya, Metallica tak pernah melewatkan Eropa setiap kali tur. Para personel Metallica, menurut Neil McCormick, yang menulis di The Telegraph sehari setelah wawancara dengan Burnstein terbit, bahkan selalu memboyong keluarga masing-masing. McCormick mengutipkan kata-kata Lars Ulrich, drummer Metallica, kepadanya bahwa Metallica "tak lagi membikin musik demi uang".
Dengan kata lain, Burnstein mewakili kepentingan perusahaannya: bahwa tempat untuk menghasilkan uang makin bertebaran di dunia ini, jadi dia hendak memastikan mesin bisnisnya bekerja lebih giat. Dan dia punya "barang jualan" yang sejauh ini masih moncer.
Dengan total penjualan album mencapai seratus juta kopi di seluruh dunia, Metallica memang tergolong kelompok musik yang sukses. Mereka, menurut Steven Hyden dalam artikel berserinya di Grantland.com, situs yang berfokus pada olahraga dan budaya pop, termasuk "para pemenang dalam sejarah rock 'n' roll".
Yang lebih utama dari fakta itu: Metallica adalah band dalam tradisi heavy metal, musik yang selalu dipandang remeh, dilecehkan, dan dicerca, sebuah kultur "orang luar". Cerita sukses mereka, dengan sendirinya, mengandung unsur keberhasilan mengangkat heavy metal ke tataran yang menjadi perhatian dan bahan pembicaraan orang ramai. Pada 1991, album kelima mereka, Metallica (dikenal sebagai The Black Album), mengokupasi peringkat pertama daftar album paling laku di sepuluh negara begitu dirilis. Di seluruh dunia, album yang melahirkan lima lagu hit ini terjual hingga 30 juta kopi.
Tak kalah pentingnya, yang menjadikan semua itu bagai piala kejayaan yang tiada tara nilainya adalah Metallica datang dari wilayah yang lazim disebut underground, dunia bawah tanah. Wilayah itu merupakan kancah yang tak ada di radar arus utama, hanya dikenal oleh kalangan tertentu.
Semuanya bermula dari Hit the Lights, rekaman resmi pertama band asal Los Angeles, California, yang pada 1982 itu, saat Metal Blade Records merilisnya, sama sekali "belum terdengar". Lagu di album kompilasi berjudul Metal Massacre I itulah yang memperkenalkan Metallica (nama ini sempat dicetak keliru sebagai "Mettallica") ke kancah musik heavy metal, dan sekaligus menginisiasi sebuah perubahan yang signifikan.
Di formasi awal itu, beberapa bulan setelah resmi terbentuk, Metallica sudah terkesan terampil menginjeksikan adrenalin dan agresivitas ke dalam heavy metal. Mereka menggabungkan unsur-unsur yang ada pada para jawara heavy metal dari masa 1980-an: kecepatan dan sinisme ala Motörhead dan pola serta ritme kocokan gitar yang memompa semangat ala Iron Maiden. Dengan itu, di usia baru 20-an tahun, boleh dibilang mereka menemukan thrash metal. Berbeda dengan sejumlah band sejenis lainnya, mereka masih sanggup menyemaikan melodi dan nuansa di antara kecepatan dan volume kencang.
Metallica, kala itu, belum memakai istilah thrash metal. James Hetfield, gitaris dan vokalis utama, menyebut musiknya power metal. Istilah thrash metal baru "ditemukan" setelah Malcolm Dome, wartawan majalah Kerrang!, menggunakannya dalam artikel saat merujuk pada lagu Metal Thrashing Mad gubahan Anthrax, satu lagi dari empat band pionir thrash metal. Artikel Dome itu terbit pada 23 Februari 1984.
Yang juga belum permanen, setidaknya sampai Metallica merekam dan merilis album debutnya, adalah formasi band. Mereka sempat merekrut Ron McGovney sebagai basis, tapi lalu menendangnya setelah Ulrich dan Hetfield menyaksikan Cliff Burton beraksi dengan grupnya, Trauma, di Whisky a Go Go, satu klub malam di Hollywood.
Dengan Burton bergabung, pada Mei 1983, mereka berangkat ke Rochester, New York, untuk memulai produksi album pertama. Tapi, sebelum masuk studio, mereka memilih mengeluarkan gitaris Dave Mustaine. Benturan ego menjadi pemicunya—meski disebut pula kecanduan Mustaine pada alkohol dan narkoba. Mustaine kemudian mendirikan Megadeth, yang kemudian menjadi salah satu dari empat pionir thrash metal. Penggantinya, Kirk Hammet, digamit dari band bernama Exodus.
Produksi album pertama itu tak dilakukan dengan dana berlimpah. Karena gagal memperoleh US$ 8.000 dari Metal Blade, dan setelah mencari alternatifnya ke sana-sini tanpa hasil, Metallica bernaung di bawah Megaforce Records, milik promotor Johnny "Z" Zazula. Bujet untuk rekaman dikumpulkan dari pinjaman Zazula dan istrinya, Marsha, ke berbagai pihak. "Marsha dan saya berutang banyak untuk membuat album itu," kata Zazula, seperti dikutip Ian Christe dalam buku Sound of the Beast: The Complete Headbanging History of Heavy Metal.
Mengingat dana terbatas, Hetfield dan kawan-kawan memilih tidur dengan selimut murahan di Music Building, fasilitas latihan musik di kawasan Queens. Tak ada hotel, tak ada apartemen.
Dengan kerja keras, proyek mereka rampung juga. Mulanya akan diberi judul Metal Up Your Ass, album itu akhirnya dirilis pada Juli 1983 dengan titel Kill 'Em All. Menggabungkan gaya vokal kasar, bas yang menderu-deru, dan ritme gitar yang kukuh, album ini merombak heavy metal awal 1980-an: nada-nada berat dan muram menggantikan not-not tinggi dan mendayu. Gaya agresif Hetfield membangun riff atau pola nada dengan gitarnya, yang menjadi kerangka lagu, bagaikan letupan-letupan yang menghipnotis. Di atas itulah Hammet membubuhkan solo yang ganas dan kerap panjang, sementara Ulrich sibuk berakrobat dengan drumnya dan Burton menjaga ritme dengan basnya.
Musik heavy metal merupakan transformasi rock 'n' roll ke arah yang mengutamakan volume, tenaga, dan kecepatan. Pilihan Metallica untuk lebih jauh memacu kecepatan tak terelakkan: bagaimanapun mereka mesti membedakan diri dari band-band yang lebih dulu ada, bahkan yang menjadi sumber ilham, seperti Judas Priest dan Iron Maiden, yang justru kian populer bertambah tahun.
Tentang tempo musik Metallica, Katon DePena dari Hirax, band heavy metal pada 1980-an, punya komentar: "Bermain cepat itu keren, tapi Anda harus mampu menulis riff, dan itulah yang membuat Metallica menakjubkan." Dengan karakter dasar musik seperti itu, Metallica menyanyikan obsesi tentang semesta heavy metal: cerita tentang kekerasan, fantasi, kebebasan, juga kemandirian. Ditambah dengan adopsi sikap pemberontak dari kaum punk, perlahan-lahan mereka memikat peminat baru, dan terus menambah jumlah pengikut.
Perkembangan ini dianggap lebih berarti ketimbang perolehan secara finansial, dari hasil penjualan album. Masih dengan formula yang sama, tapi lebih tertata, mereka merekam album kedua, Ride the Lightning. Kali ini Hetfield menulis lirik berisi aneka gagasan serius dan cenderung mengundang perenungan: soal-soal yang berkaitan dengan senjata nuklir, hukuman mati, bunuh diri, perang, bahkan agama. Direkam di Sweet Silence Studio, di kampung halaman Ulrich, Denmark, album ini dirilis pada Juli 1984.
Pada tahun itu Metallica, juga beberapa band lain di aliran yang sama, beruntung menghadapi dunia yang mulai terbuka pada jenis heavy metal yang lebih agresif. Para penggemar kebetulan juga ingin mendengar nyanyian tentang isu-isu yang substansial. Soal narkoba dan seks, dua topik yang sudah cenderung klise dalam rock 'n' roll, belakangan malah mengundang serangan Parents Music Resource Center, komite yang bertujuan mengontrol akses anak-anak atas album-album yang memuat gagasan tentang kekerasan, narkoba, dan seks. Metallica tahu hal ini dan meresponsnya dengan jitu.
Setelah Ride the Lightning, Metallica kemudian pindah ke label besar—Elektra Records. Dua band lain di bawah manajemen Zazula, Raven dan Anthrax, menyusul. Para pahlawan dunia bawah tanah itu telah menjadi mesin uang.
Ketika merilis Master of Puppets pada Februari 1986, Metallica sudah sempurna mengasah formula musiknya. Memanfaatkan momentum Ride the Lightning, mereka memperbaiki apa yang telah mereka hasilkan. Bila diibaratkan, musik mereka tetap menghamparkan suara-suara gedung runtuh, gunung meletus, dan kapal raksasa kandas—sungguh, kekacauan total. Toh, dengan senang hati orang membelinya: di berbagai outlet Kmart, misalnya, album ini ada di hampir setiap keranjang belanja pengunjung, berbaur dengan detergen, tisu, sereal, dan lain-lain.
Kritikus boleh dibilang kompak memuji album bertema tunggal tentang manipulasi itu. Intinya, kata mereka, inilah rekaman yang memekakkan telinga dan agresif tapi luar bisa menyenangkan, pepat melodi, yang lagu-lagunya ditulis dan dimainkan dengan sangat mencengangkan. Hetfield dianggap telah sampai di level master dalam merawat dan memanipulasi ketegangan dan suasana musikal, menggubah lagu yang benar-benar merasuk ke dalam diri pendengarnya.
Satu album lagi dirilis dua tahun kemudian, berjudul ...And Justice for All, yang lagu-lagunya ditulis berdasarkan pengalaman secara ajek menyaksikan CNN pada akhir era Presiden Ronald Reagan—sarat dengan soal politik, ketidakadilan, dan lingkungan. Waktu itu Metallica baru memasukkan Jason Newsted dalam formasinya, menggantikan Burton, yang tewas karena kecelakaan di Swedia.
Album ini memperoleh puja-puji yang tak kalah dari pendahulunya. Ia disebut-sebut sebagai "salah satu album klasik dalam tren progresif metal". Meski demikian, justru ketika mereka mengurangi elemen ketegangan, mengendurkan tempo dan menyederhanakan melodi, melalui Metallica, mereka bagaikan memenangi lotre.
Digarap dengan arahan Bob Rock, produser yang sukses menangani Aerosmith, The Cult, Motley Crue, dan Bon Jovi, Metallica sama sekali berbeda dibandingkan dengan album-album sebelumnya. Materi album ini dianggap mengikuti formula yang, secara sinis, disebut cocok dengan langgam MTV—ringan, menghibur, enak ditonton. Tapi, sebenarnya, ide lagu-lagu di album ini datang dari pengalaman bermain di stadion-stadion. Mereka tahu di tempat-tempat berkapasitas besar itu audiens cenderung bergairah manakala lagu bertempo pelan seperti For Whom the Bell Tolls dimainkan, dan sebaliknyalah saat lagu yang menderu-deru seperti Blackened dibawakan.
Di bawah pengarahan Rock, gagasan itu mereka eksekusi melalui cara kerja yang kerap menimbulkan friksi. Rock mendesak Metallica mereduksi lagu-lagunya hingga ke tingkat, dalam kata-kata Hetfield, "agak lebih sederhana". Dan mereka juga mesti menyerah dengan melenyapkan ciri khas kocokan gitar yang bunyinya secara ajek diredam. Mereka lebih banyak memainkan gitar dengan membiarkan bunyi dawai bergema, demi menghasilkan efek megah.
Ketika akhirnya Metallica dirilis, pada Agustus 1991, mendadak heavy metal seperti menjadi menu sehari-hari orang kebanyakan. Dengan lima lagu menjadi hit, yakni Enter Sandman, The Unforgiven, Nothing Else Matters, Wherever I May Roam, dan Sad but True, Metallica juga menjadi nama yang tiada seorang pun di rumah-rumah tak tahu-menahu. Orang mendengar lagu-lagunya di radio, menonton klip videonya di MTV. Dan semua itu, sukses komersial dan popularitas yang berlipat-lipat, berlangsung tak hanya di Amerika, tapi juga di negara-negara lain.
Ada banyak penggemar Metallica yang kecewa terhadap isi album itu. Mereka menganggap Metallica sudah menjual diri. Sebaliknya tak sedikit yang bisa menerima perubahan yang ada. Hal yang sama terjadi lagi ketika Load, Reload, dan St. Anger dirilis, masing-masing pada 1996, 1997, dan 2003; semua ini adalah album yang makin menjauh dari thrash metal. Tapi kegaduhan itu, sentimen negatif apa pun, tak mengubah fakta bahwa Metallica sudah menerakan sejarah: sebagai inovator yang mempengaruhi hampir setiap band heavy metal yang muncul kemudian, sebagai band yang mengangkat heavy metal ke tataran populer.
Dan sejauh ini, apalagi setelah pada 2008 kembali ke gaya musik di tahun-tahun awalnya melalui Death Magnetic, Metallica tetap diminati di mana-mana.
Purwanto Setiadi
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo