Tanggapan mengenai SDSB masih juga ramai. Berbagai pihak terlibat polemik berkepanjangan. Sementara itu, sejumlah pemerintah daerah telah menolak peredaran SDSB di daerahnya setelah menelaah dampak yang ditimbulkan SDSB itu. Tak cuma sampai di situ. Satu delegasi, mahasiswa Universitas Gadjah Mada (UGM) diantar rektornya Prof. Dr. Koesnadi Hardjasoemantri, melancarkan aksi (TEMPO, 7 Januari, Nasional). Para mahasiswa itu dibantu sepenuhnya oleh rektor memprotes peredaran SDSB di wilayah DI Yogyakarta. Mereka beranggapan bahwa SDSB, apa pun dalih dan niatnya, adalah judi. Saya menyatakan salut kepada mereka dan rektornya. Sebab, yang memprotes itu para mahasiswa dan rektornya, bukan para alim ulama setempat. Mengapa bukan para ulama yang memprotes? Para ulama sendiri, tentu, yang bisa menjawab. Saya juga menyatakan salut kepada pemerintah yang dalam mengamankan peredaran SDSB telah mengeluarkan pernyataan yang membuat kecut para bandar judi buntut. Namun, saya merasa heran, mengapa pemerintah tak bersikap konsekuen. Sebab, seharusnya, pemerintah, dalam hal ini Departemen Sosial, menyatakan bahwa SDSB tersebut memang judi. Bukankah, judi buntut, yang dilarang itu, dikategorikan judi? Dan "buntut" itu mengekor ke permainan yang bernama SDSB, yang sifatnya tak berbeda. Kedua-duanya berdampak negatif. Dampak negatif peredaran SDSB, yang dahulu bernama Porkas, KSOB, dan TSSB itu, sudah banyak diberitakan media massa. Misalnya, banyaknya terjadi pembunuhan gara-gara kupon berhadiah itu. Tak sedikit yang senewen alias gila. Dan lain-lain, yang semuanya sangat meresahkan masyarakat, terutama golongan ekonomi lemah (masyarakat awam). Maka, selama SDSB masih dipertahankan peredarannya, berbagai macam insiden dan problem yang meresahkan masyarakat akan tetap muncul. Juga, polemik berkepanjangan akan terus berlangsung.MAHFUZIL ANWAR ST Ilmu Manajemen Indonesia (STIMI) Banjarmasin
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini