Hadi Soesastro
Direktur Eksekutif CSIS
TANGGAL 20 Mei mendatang sebuah negara baru akan diproklamasikan. Namanya Timor Loro Sa'e, atau di sini lebih dikenal sebagai Timor Timur. Sebuah negara tetangga yang dari berbagai segi luar biasa kecil dibandingkan dengan Indonesia. Tetapi betapapun kecilnya, ia merupakan suatu negara berdaulat penuh yang harus dihormati. Kenyataan ini barangkali oleh sebagian kalangan di Indonesia masih belum bisa diterima, walaupun secara formal konstitusional MPR telah menyetujui pemisahan Timor Timur dari Indonesia. Bahkan Indonesia sendiri yang memberikan pilihan untuk menjadi merdeka.
Dalam posisi seperti itu, bagaimana Indonesia akan memolakan hubungannya dengan tetangganya yang mini itu? Pola hubungan ini, tak bisa tidak, akan dipengaruhi oleh sejarah. Lembaran hitam sejarah Timor Timur di bawah Indonesia pasti tidak bisa dilupakan oleh Xanana Gusmao, presiden pertama Timor Timur, tetapi Xanana telah memutuskan untuk melihat ke depan. Lalu bagaimana dengan Indonesia? Negara ini pernah melihat Timor Timur sebagai kerikil dalam sepatu atau duri dalam daging. Saat ini mungkin Timor Timur bisa diumpamakan seperti anggota keluarga yang membentuk keluarga sendiri dan tinggal di paviliun. Karena posisi itulah, Timor Timur tidak dapat diabaikan, walaupun barangkali benar bahwa Timor Timur lebih membutuhkan Indonesia daripada sebaliknya. Ironisnya, sangat mungkin setelah merdeka, Timor Timur akan lebih terintegrasi secara ekonomi dengan Indonesia daripada ketika masih merupakan provinsi Indonesia.
Dari segi geografis, Timor Timur punya perbatasan dengan Indonesia, bahkan ada satu daerahnya yang mengantong di Timor Barat. Ini semua merupakan sumber permasalahan di masa mendatang bila tidak dikelola bersama dengan baik dalam semangat kebersamaan. Bagi orang Jakarta—para pembuat kebijakan dan masyarakat umum yang pendapatnya mendominasi opini yang berkembang—barangkali persoalan perbatasan ini merupakan masalah di daerah batas luar Indonesia, dan karenanya bukan prioritas. Namun, bagi penduduk Indonesia yang tinggal di daerah itu, persoalan ini bukan masalah kecil.
Hubungan ekonomi dengan Indonesia, misalnya, sangat penting bagi Timor Timur karena dapat menghindarkan negara itu terperosok ke dalam ekonomi biaya tinggi. Untuk itu, transaksi ekonomi antara kedua negara harus dibuat sebebas mungkin. Perdagangan bebas bisa menjadi salah satu elemen pokok dalam kebijakan Indonesia terhadap Timor Timur. Elemen lainnya adalah kerja sama pembangunan prasarana, khususnya yang menghubungkan Timor Timur dengan Timor Barat dan pusat-pusat perdagangan di Indonesia Timur seperti Surabaya, Makassar, dan Denpasar. Kerja sama pembangunan pertanian dan prasarana pedesaan di perbatasan juga perlu dikembangkan. Indonesia juga bisa membantu untuk meningkatkan sumber daya manusia Timor Timur. Caranya, dengan menampung dan memberikan beasiswa bagi sejumlah mahasiswanya untuk belajar di Indonesia.
Bagaimanapun, hubungan Indonesia dengan Timor Timur tidak akan pernah menjadi suatu hubungan yang penuh gemerlap. Tetapi hubungan dua negara ini merupakan sesuatu yang tidak dapat dihindarkan oleh Indonesia, terutama karena Timor Timur merupakan tetangga yang berbatasan langsung dengan Indonesia. Bagi Timor Timur mungkin hubungan itu bersifat eksistensial, yakni bahwa Indonesia akan berada di sisi yang lebih banyak memberi daripada menerima. Tetapi apa salahnya keadaan ini? Kita juga harus mulai belajar memberi dan tidak hanya berada di sisi penerima terus-menerus. Inilah arti penting hubungan Indonesia dengan Timor Timur.
Anehnya, justru ada sementara kalangan yang melansir upaya untuk menggagalkan kehadiran Presiden Megawati pada perayaan kemerdekaan Timor Timur. Sikap serupa ini hanya akan membuat Indonesia menjadi negara kerdil. Kehadiran Presiden Megawati di Dili pada 20 Mei merupakan hadiah besar bagi rakyat Timor Timur. Lebih dari itu, kehadiran tersebut akan menunjukkan kebesaran hati bangsa Indonesia. Tidak hanya Xanana Gusmao, kita pun bisa membuka lembaran sejarah baru.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini