Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Sebutan Nonpri Harus Dihapus

Menganggap perusahaan milik nonpri bukan perusahaan nasional, sangat janggal. kesenjangan antara pri & nonpri merupakan masalah sosial yang kompleks sebutan pri & nonpri hendaknya ditinggalkan. (kl)

31 Maret 1984 | 00.00 WIB

Sebutan Nonpri Harus Dihapus
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
"UNTUK meningkatkan kesatuan dan persatuan bangsa, pengusaha nasional harus berani menghapuskan sebutan pribumi dan nonpribumi." Begitulah imbauan Pangab/ Pangkopkamptib, Jenderal L.B. Moerdani, di hadapan 400 peserta Temu Wicara Kadin Indonesia, yang ingin meningkatkan kerja sama di antara swasta nasional, untuk mengamankan sasaran Repelita IV. Repelita IV digambarkan sebagai usaha pembangunan yang menanggung beban berat bagi seluruh masyarakat, karena pembangunan harus diteruskan dengan momentum yang tidak terlalu terkendur oleh keterbatasan sumber dana. Menurut rancangan Repelita IV, masyarakat - termasuk sektor swasta - harus mampu mengadakan penanaman modal yang berpuluh-puluh trilyun rupiah dalam lima tahun itu. Sasaran ini menimbulkan pertanyaan: swasta mana yang mampu memobilisasikan dana sekian banyak. Bapindo, sebagai bank utama pemerintah untuk kredit investasi jangka panjang, hanya menghitung dalam ukuran ratusan milyar rupiah, sehingga sebagian besar dari dana penanaman modal itu harus datang dari sektor swasta sendiri. Sektor swasta di Indonesia tidak merupakan dunia yang homogen atau sejenis. Ada perusahaan besar, menengah, dan kecil ada yang asing dan yang dalam negeri. Yang dalam negeri itu masih dapat dibedakan antara pemilikan pribumi dan nonpribumi. Kita sering memakai sebutan ekonomi nasional, perusahaan nasional, swasta nasional, dan sebagainya. Apa artinya "nasional" dalam sebutan demikian ? Perusahaan asing biasanya tidak dihitung sebagai perusahaan nasional. Tapi perusahaan penanaman modal asing (PMA) yang beroperasi di bumi Indonesia untuk paling sedikit 30 tahun, di bawah lindungan undang-undang dan dengan izin pemerintah, apa tak wajar untuk memandang permodalan serta perusahaannya di Indonesia sebagai bagian dari kekayaan nasional? Sebaliknya, menggolongkan usaha patungan, yang modal asingnya hanya minoritas, bukan sebagai perusahaan nasional juga janggal. Menganggap perusahaan milik nonpri bukan perusahaan nasional sangat janggal pula, karena dengan demikian arti "nasional" ditafsirkan sangat sempit, mlsalnya hanya menyangkut mereka yang dahulu ikut dalam revolusi fisik menegakkan RI. Walaupun sentimen-sentimen historis-revolusioner ini dapat dimengerti dan dihargai, dalam masa pembangunan sekarang, modal dan perbekalan yang kita perlukan bukan hanya semangat dan ideologi revolusioner ini. Untuk memenuhi kebutuhan dana investasi Repelita IV itu, kita memerlukan mobilisasi dari segala funds and forces (untuk meminjam istilah yang tenar pada zaman Orde Lama): Modal dari PMA, PMDN, dan sebagainya harus dapat kita manfaatkan secara produktif. Walaupun demikian, ada masalah sosial yang pelik, yang menyangkut masalah pemerataan dan perasaan keadilan. Kalau sektor PMA, dan PMDN yang besar dan yang banyak dimiliki oleh bangsa Indonesia dari keturunan nonpri, majunya terlalu pesat, dan mereka ini tidak dipandang oleh mayoritas masyarakat sebagai termasuk "golongan kita", maka sentimen-sentimen yang peka dan bernada negatif mudah timbul. Harus diakui, proses nation building kita belum selesai. Wawasan Nusantara masih harus dirawat pertumbuhannya ke arah kematangan dan kedewasaan. Sementara itu, kesenjangan antara pri dan nonpri merupakan suatu masalah sosial yang sangat kompleks. Aspek rasialnya merupakan salah satu segi saja. Di berbagai kalangan, perbedaan keturunan tidak penting dan tidak mengganggu. Di antara golongan masyarakat yang terdidik di sekolah nasional, perbedaan antara kawan pri dan nonpri tidak terlalu penting, dan mungkin sama seperti perbedaan antara teman dari suku Jawa dan Sumatera. Perbedaan demikian tidak mengganggu kerukunan serta hubungan sosial. Perkawinan antarsuku juga semakin banyak, karena kebudayaan Indonesia (modern) sudah mengatasi ciri-ciri kebudayaan tradisional. Masyarakat nonpri juga tidak homogen. Di antara mereka ada yang totok dan masih merupakan generasi pertama di Indonesia. Sebagian besar di antara mereka ini sudah menjadi warga negara Indonesia dan menghayati arti dan konsekuensinya. Sebaliknya, ada yang belum menganggap Indonesia sebagai tanah airnya dan masih merasa sangat bangga sebagai seorang Tionghoa. Di antara mereka yang sudah berakar di sini dan sekarang masih hidup, ada yang merupakan hasil didikan sekolah Belanda, sehingga pandangannya lebih "rasional dan Barat". Ada pula generasi muda, hasil sekolah nasional Indonesia, yang sebetulnya sudah merasa sebagai orang Indonesia dan tersinggung kalau dicap "cina". Golongan generasi muda ini harus kita perlakukan sebagai anggota keluarga besar bangsa Indonesia modern. Sebanyak mungkin mereka harus kita lindungi terhadap diskriminasi. Mereka adalah bagian dari hari depan bangsa kita. Harus diakui, di antara yang nonpribumi ada juga yang berjiwa pencoleng, tapi di antara yang pribumi pun sama saja. Kelakuan dari sekelompok kecil tidak boleh kita proyeksikan kepada mayoritasnya. Tapi, yang dewasa ini "menguasai ekonomi" bukan generasi muda ini. Begitu pula yang berpengaruh di dalam masyarakat pribumi juga belum generasi yang muda. Generasi tua, yang berpengaruh di masyarakat, banyak masih mempunyai prasangkanya sendiri yang terbentuk dalam sejarah. Sebagian dari ketidakserasian antara golongan pri dan nonpri mungkin tidak bersumber pada prasangka rasial, melainkan pada persaingan untuk berusaha atau untuk mencari nafkah. Kalau segolongan pribumi merasa sulit masuk ke dunia usaha, dan mereka merasa itu disebabkan golongan yang sudah menguasai bidang itu berusaha menutupnya terhadap entry baru dari golongan lain, maka reaksi negatif mudah tumbuh - juga di antara generasi muda yang terdidik dan berpandangan modern. Berpuluh ribu anggota Gapensi baru di daerah mau menjadi kontraktor pekerjaan pemerintah oleh karena tidak melihat kemungkinan untuk masuk bidang distribusi dan perdagangan. Sebaliknya, kita harus juga mempunyai simpati terhadap pemuda nonpri yang sudah lulus universitas nasional, tapi merasa dibatasi kalau mau masuk menjadi pegawai di pemerintah, perusahaan negara, ABRI, dan sebagainya. Dalam jangka yang tidak terlalu panjang, prasangka dan diskriminasi antara sesama bangsa Indonesia generasi muda ini harus bisa kita atasi. Kalau tidak, siapa tahu, terhadap suku-suku dari Sumatera, Indonesia Timur, dan sebagainya, juga bisa terjadi prasangka dan diskriminasi, atau terhadap suatu agama. Terhadap realitas-realitas keras, yang hidup dalam masyarakat kita tidak boleh buta. Persaingan di gelanggang usaha, persaingan komersial, dan persaingan untuk entry, yang bernada rasial, sebanyak-banyaknya harus dikurangi oleh suatu tekad bersama antara para pemimpin tiap-tiap golongan. Di sinilah letak arti pentingnya Temu Wicara Kadin Indonesia. Dalam Kadin terkumpul pimpinan dunia usaha dari segala golongan: PMA, PMDN, pribumi besar, menengah, dan kecil. Pemerintah, lewat menteri-menteri yang menyambut Temu Wicara, telah menyuarakan suatu kebijaksanaan tegas mengenai pemusatan segala potensi nasional yang harus terikat dalam persatuan dan kesatuan. Pemerintah sebanyak mungkin tidak mau membeda-bedakan di antara warga negara RI, walaupun mengakui bahwa pengusaha ekonomi lemah, yang kebanyakan terdiri dari pribumi, harus diberi bantuan dan perlindungan, untuk mencapai sasaran pemerataan dan stabilitas sosial. Temu Wicara sehari penuh itu berhasil untuk membangun semangat persatuan antara dua golongan besar di dunia usaha ini, berdasarkan semangat saling memberi kehidupan dan semangat saling membutuhkan. Sasaran-sasaran sosial ekonomi yang disebut dalam Repelita IV, yang menghendaki berbagai keterkaitan antara usaha besar, menengah, dan kecil (termasuk koperasi), dan sistem bapak dan anak angkat antara perusahaan besar, menengah, dan kecil, yang dapat saling memberi kehidupan yang lestari, semuanya ini diikrarkan untuk dilaksanakan, atau paling sedikit diperhatikan dalam kepemimpinan perusahaan. Untuk membantu mencapai semuanya ini, Kadin akan bertindak sebagai penengah, sebagai pelicin jalan, sebagai pendamai, sebagai instansi yang memonitor perkembangan pembauran dan kerja sama. Kadin Juga menganjurkan agar bank-bank besar mengadakan unit khusus untuk business development antara unsur-unsur pri dan nonpri, antara perusahaan besar dan kecil. Perusahaan swasta besar diimbau untuk membuka dirinya terhadap penyertaan dari masyarakat, seperti sudah dilakukan beberapa di antara mereka. Memang kebanyakan perusahaan nonpri (dan juga pri) masih bersifat perusahaan keluarga atau kelompok perusahaan yang tertutup. Secara obyektif semua perusahaan yang menjadi besar berangsur-angsur harus membuka diri untuk manajemen profesional, dan harus menjadi perusahaan yang memasyarakat, seperti halnya perkembangan di luar negeri. Kalau tidak, paling banyak dalam tiga generasi, perusahaan demikian akan hancur dari dalam. Maka, pembauran di dunia usaha, yang sudah agak modern dan yang berjiwa muda, dewasa ini sudah banyak menjadi kenyataan. Kadin hanya tinggal memperkuat kecenderungan ini. Di belakang Kadin harus ada suatu "gerakan" yang mau mencapai pemersatuan bangsa kita yang lebih serasi dan kekal. Kadin dapat menjadi pimpinan institusional dari gerakan demikian di bidang usaha. lkhtiar untuk meninggalkan sebutan pri dan nonpri harus menjadi bagian dari gerakan yang bersifat sospol. Tanpa mobilisasi kemauan sosial, imbauan tak akan banyak pengaruhnya. Paling-paling, orang akan menemukan istilah lain. Dengan sekadar menanggalkan sebutan-sebutan yang sudah berakar di masyarakat, soalnya tidak akan hilang, kalau permasalahannya memang merupakan realitas sosial.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus