KI Wahil Wakbraja yang buka praktek di Sumberwungu memang sibuk
terus. Tamunya berdesakan di kamar depan sampai ke jalanan.
Mobil dan motor yang mengalir dari seluruh tanah air berderet
sepanjang jalan desa. Jadi maklumlah kalau dukun tersohor ini
menjalankan praktek kilat.
Demikianlah maka siang itu tiba giliran Pak Sadikin menghadap
Ki Wahil.
-- Maaf ya wak. Saya anggap wanita kita sekarang ini sudah
sesat. Coba, anak saya yang perempuan ngotot main sepakbola. Dia
sekarang sudah di Semarang, katanya mau ikut pertandingan
sepakbola wanita seluruh Jawa. Dan minta ampun, istri saya malah
ikut manas-manasi. Bagaimana ini wak? Saya mohon diberi jampi
supaya mereka bisa kembali ke jalan ketimuran. Pokoknya
sepakbola itu milik lelaki, begitu to wak?
-- Hmm . . . Tapi kata leluhur begini. Kaum lelaki bisa kuwalat
sendiri kalau terus-terusan ngledek kaum wanita. Dan buktinya,
lelaki kita main bola di mana-mana sudah kalah terus dan . . .
diledek terus. Nah, bapak mau milih ketimuran, atau milih
kuwalat? Silakan mikir di rumah, tapi minum dulu jamu 'Rarasati
Srikandi' di sebelah.
Tamu berikutnya ialah nona atau nyonya Macan Luwe, dan tiap
langkahnya berbunyi kencrang-kencring. Maklumlah perhiasannya
banyak.
-- Saya ini ya sedih ya bingung Pak. Kalung dan gelang emas saya
dijambret di pasar Kliwon waktu saya belanja ikan emas.
Perhiasan itu kebetulan tanda mata nan penuh kenangan indah dari
mas Nayoko. Pak, bagaimana saya bisa ketemu malingnya?
-- Gampang jeng. Kembali saja ke pasar Kliwon pakai kalung
giwang leontin. Nanti dia pasti datang, dan membawa pisau
clurit.
-- Wooh? . . . lha nanti kalau saya dijambret lagi gimana? . . .
dan kalau saya ditusuk clurit gimana?
-- Ya sampeyan mati. Tapi jangan kuwatir. Si maling bakal tidak
kekurangan mangsa, sebab tiap hari di jalanan ada arak-arakan
wanita pamer emas. Begitu saja ya jeng. Silakan mampir jeng Sri
dulu di sebelah dan minta jamu 'Wadon Wantah'.
Macan Luwe jadi lemas. Mati di pasar? Nanti malah dipreteli
sekalian.
Sementara itu masuklah seorang lelaki tambun berbaju 'Spy Force'
model Jakarta. Matanya lingar dan wajahnya kacau.
-- Begini Wakbraja. Sebentar lagi saya dilarang pasang iklan di
TV. Ini apa-apaan sih? Lantas caranya dagang mesti bagaimana
lagi? Bisa bangkrut saya ini . . .
-- Bangkrut? . . . beh! . . . Nitisemito, tenun Troso, rokok
Menakjinggo, kopi Lojirejo, ayam goreng Ponyo, semua maju tanpa
iklan TV. Rumah sakit di kota Sing Ngapuro tidak ada di TV, tapi
dibanjiri wong Indonesia. Ada yang pamer di TV tapi katanya rugi
terus. Misalnya Perusahaan Negara. Lha saya Wakbraja ini gimana?
Tidak pasang iklan di mana-mana kok malah diserbu rakyat
Indonesia? Sampeyan itu perlu jamu 'Arda Akreta'. Minta ke jeng
Sri di sebelah. Dan sampeyan itu makan apa saja kok jadi begitu
gemuk?
Dengan tersipu-sipu undurlah kanjeng Kempyang Duwito dari
hadapan Ki Wahil Wakbraja. Gantinya ialah mahasiswa putra
terbaik yang masuk berlalai-lalai dengan celana biru belel.
-- Selamat siang Pak. Mau rokok Pak? Saya ini sebetulnya
dibujuk teman ke mari. Mau tanya apa ya . . . Beginilah, saya
mau jujur saja ya Pak. Naga-naganya nih harga buku impor mau
turun. Lantas nanti kita-kita ini mau disuruh beli buku dan baca
buku? Mau Pemilu kok cari penyakit aja . . .
-- Nak muda, saya harep sudara langsung ketemu mbak Sri di
sebelah dan minta jamu 'Kumprung Pengung'. Tamu berikutnya . . .
masuk!
Yang datang ini berambut lebat di sekujur wajah dan mengaku diri
pelukis unggul. Langsung saja dia naik pitam.
-- Sudah bertahun-tahun saya ini merasa terhina, wak! Tiap ada
tamu negara kok mesti ada suguhan barang-barang kerajinan, ya
guci antik kek, ya tenunan ya anyaman ya ukiran . . . Dan
kemarin Suzuki datang, ya begitu lagi. Yang bikin sejarah
kesenian negara ini sebetulnya siapa? Yang selalu bikin kejutan
di negara ini siapa? Yang sudah pameran di TIM itu siapa? Nih,
saya! Lha kok itu pengrajin-pengrajin yang diaju-ajukan. Padahal
mereka itu melihat Jakarta saja belum pernah. Saya menuntut . .
.
-- Sudah, sudah, saya mengerti . . . Lain lagi kalau persiden
Amerika datang, sudara minum saja jamu 2-Kum dan 3 Kum dan
4-Kum. Coba yang 2-Kum dulu, itu artinya campuran akar
'kumlendhung' dan biji 'kumlungkung'. Minta mbak Sri di luar.
Ya, tamu berikutnya masuk!
Maka suatu tubuh rengsa sengsara seberat 500 kilo masuk
mengongkok-ongkok. Siapa lagi kalau bukan macan gembong kita.
Dan matanya betul-betul kuyu. Sambut Wakbraja:
-- Aa, datuk Saradula! Apa kabar di hutan? Rupanya sedang ada
krisis ya?
Maka duduklah sang datuk ngapurancang, lalu menggeram:
-- Saya tidak punya tempat tinggal lagi, wak . . . tidak punya
kerajaan lagi . . . Tolonglah wak . . .
-- Saya ikut prihatin, tapi maaf saja ya mbah. Itu sebetulnya
urusan pusat. Silakan mbah pergi ke Jakarta saja dan minta
ketemu Pak Cosmas Batubara. Selamat jalan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini