Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Dan Pertanyaan Lain Untuk "Komodo...

Anggota dpr minta penjelasan soal pembelian kapal tampomas ii, dan misteri perusahaan komodo marine s.a sebagai penjual kapal great emerald yang kemudian bernama tampomas ii. (eb)

14 Februari 1981 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SATU pertanyaan lain tentang Tampomas II: cukup bereskah pembeliannya? Di DPR pekan lalu anggota F-PDI dari Komisi V, Achmad Subagio mendesak: "Saya meminta supaya dibeberkan secara terbuka prosedur pembelian Kapal Tampomas II," katanya. Ia mengharap Departemen Perhubungan, yang bertanggung jawab atas pengadaan kapal itu, akan memenuhi harapannya. Penjelasan resmi tentang proses pembelian Tampomas II dinilai masih sedikit. Menurut Menteri Roesmin Noeryadin, tahun 1978 pemerintah memutuskan menambah sarana angkutan laut. Hasil penelitian menunjukkan, sekitar 60% kapal niaga yang ada sudah berusia 20 tahun lebih. Karena dana yang terbatas, serta kebutuhan yang mendesak, pemerintah memutuskan membeli kapal bekas. "Pasaran kapal penumpang bekas di dunia sangat terbatas Galangan kapal umumnya tidak lagi membuat kapal jenis ini. Sekarang kan tidak banyak lagi orang bepergian dengan kapal," kata Sekretaris Ditjen Perhubungan Laut J.E. Habibie (biasa dipanggil Fanny). Karena keterbatasan ini, menurut dia, pembelian kapal bekas umumnya dilakukan lewat broker. PT Pelni dan PT PANN kemudian lapat penawaran dari para broker. Dalam naskah "Kemungkinan pertanyaan-pcrtanyaan di DPR dan saran jawaban" yang disiapkan PT Pelni untuk Menteri Roesmin pekan lalu, disebutkan ada tujuh kapal yang penawarannya dianggap perlu diteliti lebih lanjut. Yakni MV Great Emerald, Argo, Viking 6, Ionis, Lasse II, Trave Munde dan Hankyu 16. Setelah melalui penelitian yang mendalam, Great Emerald dianggap mendekati persyaratan yang paling menguntungkan -- baik dari segi teknis, ekonomis maupun segi waktu penyerahan. Suatu tim terdiri dari para pejabat Perla dan Pelni kemudian dibentuk untuk meninjau kapal tersebut. 18 Oktober 1979, panitia ini memeriksa Kapal Great Emerald di Jepang. Setelah itu tim teknis kembali melakukan evaluasi. Juga memeriksa peralatan kapal tersebut. Menurut Menteri Perhubungan, hasil pemeriksaan ini kemudian diuji kembali oleh suatu tim supervisi yang terdiri dari 4 ahli. Lalu, dibentuklah suatu tim negosiasi. Anggotanya para pejabat dari Ditjen Perla, PT Pelni dan PT PANN. Sebagai Ketua Tim Pengarah: Fanny Habibie. Negosiasi diadakan berdasar penawaran dari Komodo Marine Co. S.A. tanggal 12 Februari 1980. Menurut naskah jawaban Menteri, Komodo Marine bertindak sebagai pemilik, dengan hasil penurunan harga $ 400.000 dari harga yang ditawarkan $ 8,7 juta. Harga $ 8,3 juta ini terdiri dari harga kapal $ 6,4 juta serta biaya konversi $ 1,9 juta. Harga tesebut dianggap wajar. Pembelian kemudian disetujui oleh Bank Dunia (yang memberikan pinjaman $ 5,8 juta) serta pemerintah Norwegia (yang memberi hibah $ 2,5 juta). Di kalangan anggota DPR, ada yang mengernyit mendengar harga itu. "Terlalu tinggi." kata anggoa DPR lari F-PDI T.A.M. Simatupang yang keluarganya pernah memiliki perusahaan pelayaran Bharata Lines. Seorang pejabat tinggi di bidang perhubungan juga mengungkapkan pada TEMPO, bahwa harga pembelian kapal serta biaya konversi Tampomas II ditaksirnya terlalu tinggi. Menurut dia, harga pasaran untuk kapal pengangkut bekas seperti Tampomas II saat ini sekitar $ 900 per tonnya. Dengan itu Tampomas II, yang beratnya sekitar 2.500 ton, sepatutnya berharga hanya sekitar $ 2,25 juta. Jadi harga $ 6,4 juta yang dibayarkan kepada Komodo Marine dianggapnya "kelewat tinggi". LAGIPULA, siapa Komodo Marine? "Jangan-jangan itu hanya perusahaan yang dibikin mendadak," kata T.A.M. Simatuang. Belum tentu. Namun yang menarik, ada perbedaan catatan tentang pemilihan kapal Emerald sebelum dibeli Indonesia. Memorandum of Agreement antara PT PANN sebagai pembeli dan Komodo Marine sebagai penjual, ditandatangani 23 Februari 1980. Namun menurut Takayuki Deguchi, Asisten Manajer bagian penjualan Arimura Sangyo Co. Ltd. kepada pembantu TEMPO di Jepang, baru pada Maret 1980 kapal itu diJualnya ke Hayashi Marine di Nagasaki. Sementara itu Komodo Marine, dalam daftar dan komputer Lloyd's of London -- yang dianggap memiliki catatan paling lengkap dari semua kapal di dunia -- hanya tercatat sebagai perusahaan yang beralamat Panama City, Republik Panama. Berdasar klasifikasi tanggal 14 November 1980, Komodo Marine S. memiliki dua kapal. Yang satu, Great Emerald (yang kemudian berganti nama menjadi Tampomas II). Yang kedua Komodo VIII -- sebuah kapal pendarat buatan 1979 dengan gross ton 297. Menurut catatan itu, yang dikutip oleh pembantu TEMPO di London, Komodo Marine membeli Emerald April 1980 dari perusahaan Arimura Sangyo Okinawa. Nama Komodo Marine ternyata mirip dengan suatu perusahaan pelayaran Jepang yang juga tercatat oleh Lloyd's: Komodo Navigation SA. Perusahaan ini juga memiliki dua kapal, Komodo V -- sebuah tanker bikinan 1965 dan Komodo VII yang merupakan kapal pendarat buatan 1979. Tak jelas, apakah Komodo Marine sama dengan Komodo Navigation -- atau dibuat agak bermiripan namanya. Catatan sejarah pemilikan Kapal Tampomas II yang tidak klop itu menimbulkan pertanyaan berikutnya: kalau baru Maret 1980 Kapal Emerald dijual pada Hayashi Marine, bagaimana mungkin Komodo Marine di bulan Februari 1980 -- sebulan sebelumnya sudah menandatangani perjanjian jual beli dengan pihak Indonesia Ketika Oktober 1979 pihak Pelni dan Perla memeriksa kapal ini di Yokohama, seperti dinyatakan dalam sebuah surat resmi Pelni tak dijelaskan kapal itu milik siapa waktu itu. Berdasar pemeriksaan di Yokohama itu -- diperkuat dengan laporan surveyor Tomo & Son -- Direktur Utama Pelni Hussein Umar kemudian mendesak PT PANN agar membeli kapal itu. Dan berhasil. Tomo & Son memang suatu perusahaan pensurvei (surveyor) yang dianggap Bank Dunia memiliki reputasi yang baik. Tapi pihak Tomo & Son nampaknya tak berurusan dengan soal pembelian. "Kami tidak tahu proses jual beli kapal itu," kata Harsoyo Tomo, Direkrur Utama Tomo & Son pekan lalu pada pembantu TEMPO I Ketut Surajaya di Tokyo. Diakuinya, perusahaannya ditugasi penjual kapal untuk mensurvei kapal tersebut. "Apakah pihak penjual, Hayashi Marine dan Komodo Marine adalah broker, saya tidak mempersoalkannya," katanya. Walhasil, semua tanda tanya akhirnya mengarah pada satu titik siapa dan apa Komodo Marine? Dalam perjanjian jual beli nama wakil perusahaan itu tidak tercantum jelas. Hanya ada suatu tanda tangan yang bisa berarti siapa saja. Alamat perusahaan yang terdaftar dan memakai bendera Panama ini dua, di Hongkong dan Singapura. Pembayaran kapal dilakukan lewat sebuah rekening di Bangkok Bank, Hongkong. Tapi pembantu TEMPO di Hongkong, Christina Vertuchi, tidak menemukan nama Komodo Marine dalam daftar perusahaan yang tercatat di Hongkong, begitu juga dalam Hongkong Business Directoly. Bahkan buku telepon Hongkong pun tidak memuat namanya. Padahal, menurut perjanjian jual beli alamat Komodo Marine adalah di Bonham Strand West yang terletak di bagian barat Hongkong. "Alamat yang dipakai itu adalah bangunan 12 tingkat yang kurang terpelihara yang banyak dihuni perusahaan pelayaran. Namun Komodo Marine ternyata tak tercantum dalam daftar perusahaan yang berkantor di gedung itu," tulis Chris Vertuchi dalam laporannya. Lalu di mana Komodo Marine? Ternyata tak jauh: di Jakarta. Resminya kantor di Jakarta itu hanya merupakan "kantor perwakilan". Yang menarik: kantor perwakilan ini tanpa papan nama. Alamatnya sama dengan PT Bumi Tirta -- suatu perusahaan Indonesia yang bergerak dalam usaha ekspor terletak ke Hongkong. Pemilik Komodo Marine ternyata dua orang Indonesia, George Hendra dan Lie Kian Liong alias Santoso Sumarli. "Saya berusaha fifty-fifty dengan Hendra. Dia bagian operasional, saya yang ketuanya," kata Sumarli, 53 tahun, yang biasa dipanggil "Tuan Lie". Menurut cerita Lie dan Hendra, Kapal Emerald mereka beli dari Arimura Sangyo seharga $ 6,3 juta pada Desember 1979. "Hayashi Marine adalah broker kami," ujar George Hendra, 38 tahun pada wartawan TEMPO Bachrun Suwatdi. Untuk jasa itu, katanya, Hayashi mendapat komisi 0,5% dari harga penjualan. Setelah disurvei oleh Tomo & Son dan para ahli Pelni, pada Februari 1980 kapal ini mereka jual pada PT PANN. "Ketika kami jual, semua dalam kondisi baik dan laik laut," kata Lie. "Wah pembelian ini tidak main-main. Ada orang Bank Dunia yang ikut memeriksa kapal," lanjutnya. "Kami hanya untung tipis, sekitar $ 100 ribu," ujar Hendra. Begitu sedikit? "Siapa tahu transaksi ini nanti bersambung dengan Tampomas III dan IV," sahut Hendra optimistis. Walau pihak Arimura Sangyo dengan tegas mengatakan, Kapal Emerald baru mereka jual pada Hayashi Marine Maret 1980, Lie bersikukuh kapal itu mereka beli pada Desember 1979. "Tetapi karena kapal itu masih harus menjalani kontrak mengirim mobil dari Jepang ke Hongkong dan Manila, baru Maret 1980 kapal itu resmi masuk dok di Jepang untuk dikonversi," katanya pada wartawan TEMPO Marah Sakti lewat telepon. Mengapa perusahaannya ternyata tidak terdaftar di Hongkong? Menurut Lie, karena kapal-kapal yang dimilikinya berbendera Panama, tidak perlu mendaftarkan diri ke pemerintah Hongkong. Dipakainya negeri Panama memang mempermudah prosedur. "Cukup memberitahu dengan selembar surat saja bahwa kami punya kegiatan operasional di sana," katanya. TENTANG alamat di Bonham Strand West yang ternyata kosong, Lie menjelaskan, bahwa sejak akhir Januari 1981 kantor operasional Komodo Marine "sudah pindah" ke Cannought Street. Dan alamat di Panama? Dia juga tak tahu persis kantor pusat perusahaannya. "Maklum banyak jalan sih," ujarnya seraya tertawa. Jalan memang banyak di Panama -- dan bisa berkelok-kelok dalam riwayat jual beli kapal. Sebab jika benar Komodo Marine membeli Emerald Desember 1979, sedang Pelni sudah mengincar kapal ini sejak Oktober 1979 mengapa pihak Indonesia tidak langsung saja membelinya dari Arimura Sangyo? Mengapa menunggu sampai kapal ini dibeli dulu oleh Komodo Marine? Penjelasan dari pihak Perla maupun PT PANN belum ada. "Saya sudah berbicara banyak. Sekarang sudah Menteri yang menangani masalah ini," kata Fanny Habibie. H. Mandagi, Ketua Tim Negosiasi pembelian Emerald, juga menolak bicara. "Porsi saya cuma negosiasi. Kalau dalam militer, saya cuma komandan peleton. Silakan menunggu saja jawaban langsung dari Pak Menteri," katanya Senin lalu. Nah, Achmad Subagio, silakan tunggu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus