SATU pertanyaan lain tentang Tampomas II: cukup bereskah
pembeliannya? Di DPR pekan lalu anggota F-PDI dari Komisi V,
Achmad Subagio mendesak: "Saya meminta supaya dibeberkan secara
terbuka prosedur pembelian Kapal Tampomas II," katanya. Ia
mengharap Departemen Perhubungan, yang bertanggung jawab atas
pengadaan kapal itu, akan memenuhi harapannya.
Penjelasan resmi tentang proses pembelian Tampomas II dinilai
masih sedikit. Menurut Menteri Roesmin Noeryadin, tahun 1978
pemerintah memutuskan menambah sarana angkutan laut. Hasil
penelitian menunjukkan, sekitar 60% kapal niaga yang ada sudah
berusia 20 tahun lebih. Karena dana yang terbatas, serta
kebutuhan yang mendesak, pemerintah memutuskan membeli kapal
bekas.
"Pasaran kapal penumpang bekas di dunia sangat terbatas Galangan
kapal umumnya tidak lagi membuat kapal jenis ini. Sekarang kan
tidak banyak lagi orang bepergian dengan kapal," kata Sekretaris
Ditjen Perhubungan Laut J.E. Habibie (biasa dipanggil Fanny).
Karena keterbatasan ini, menurut dia, pembelian kapal bekas
umumnya dilakukan lewat broker.
PT Pelni dan PT PANN kemudian lapat penawaran dari para broker.
Dalam naskah "Kemungkinan pertanyaan-pcrtanyaan di DPR dan saran
jawaban" yang disiapkan PT Pelni untuk Menteri Roesmin pekan
lalu, disebutkan ada tujuh kapal yang penawarannya dianggap
perlu diteliti lebih lanjut. Yakni MV Great Emerald, Argo,
Viking 6, Ionis, Lasse II, Trave Munde dan Hankyu 16. Setelah
melalui penelitian yang mendalam, Great Emerald dianggap
mendekati persyaratan yang paling menguntungkan -- baik dari
segi teknis, ekonomis maupun segi waktu penyerahan. Suatu tim
terdiri dari para pejabat Perla dan Pelni kemudian dibentuk
untuk meninjau kapal tersebut.
18 Oktober 1979, panitia ini memeriksa Kapal Great Emerald di
Jepang. Setelah itu tim teknis kembali melakukan evaluasi. Juga
memeriksa peralatan kapal tersebut. Menurut Menteri Perhubungan,
hasil pemeriksaan ini kemudian diuji kembali oleh suatu tim
supervisi yang terdiri dari 4 ahli.
Lalu, dibentuklah suatu tim negosiasi. Anggotanya para pejabat
dari Ditjen Perla, PT Pelni dan PT PANN. Sebagai Ketua Tim
Pengarah: Fanny Habibie. Negosiasi diadakan berdasar penawaran
dari Komodo Marine Co. S.A. tanggal 12 Februari 1980.
Menurut naskah jawaban Menteri, Komodo Marine bertindak sebagai
pemilik, dengan hasil penurunan harga $ 400.000 dari harga yang
ditawarkan $ 8,7 juta. Harga $ 8,3 juta ini terdiri dari harga
kapal $ 6,4 juta serta biaya konversi $ 1,9 juta. Harga tesebut
dianggap wajar. Pembelian kemudian disetujui oleh Bank Dunia
(yang memberikan pinjaman $ 5,8 juta) serta pemerintah Norwegia
(yang memberi hibah $ 2,5 juta).
Di kalangan anggota DPR, ada yang mengernyit mendengar harga
itu. "Terlalu tinggi." kata anggoa DPR lari F-PDI T.A.M.
Simatupang yang keluarganya pernah memiliki perusahaan pelayaran
Bharata Lines. Seorang pejabat tinggi di bidang perhubungan juga
mengungkapkan pada TEMPO, bahwa harga pembelian kapal serta
biaya konversi Tampomas II ditaksirnya terlalu tinggi. Menurut
dia, harga pasaran untuk kapal pengangkut bekas seperti
Tampomas II saat ini sekitar $ 900 per tonnya. Dengan itu
Tampomas II, yang beratnya sekitar 2.500 ton, sepatutnya
berharga hanya sekitar $ 2,25 juta. Jadi harga $ 6,4 juta yang
dibayarkan kepada Komodo Marine dianggapnya "kelewat tinggi".
LAGIPULA, siapa Komodo Marine? "Jangan-jangan itu hanya
perusahaan yang dibikin mendadak," kata T.A.M. Simatuang.
Belum tentu. Namun yang menarik, ada perbedaan catatan tentang
pemilihan kapal Emerald sebelum dibeli Indonesia. Memorandum of
Agreement antara PT PANN sebagai pembeli dan Komodo Marine
sebagai penjual, ditandatangani 23 Februari 1980. Namun menurut
Takayuki Deguchi, Asisten Manajer bagian penjualan Arimura
Sangyo Co. Ltd. kepada pembantu TEMPO di Jepang, baru pada Maret
1980 kapal itu diJualnya ke Hayashi Marine di Nagasaki.
Sementara itu Komodo Marine, dalam daftar dan komputer Lloyd's
of London -- yang dianggap memiliki catatan paling lengkap dari
semua kapal di dunia -- hanya tercatat sebagai perusahaan yang
beralamat Panama City, Republik Panama. Berdasar klasifikasi
tanggal 14 November 1980, Komodo Marine S. memiliki dua kapal.
Yang satu, Great Emerald (yang kemudian berganti nama menjadi
Tampomas II). Yang kedua Komodo VIII -- sebuah kapal pendarat
buatan 1979 dengan gross ton 297.
Menurut catatan itu, yang dikutip oleh pembantu TEMPO di London,
Komodo Marine membeli Emerald April 1980 dari perusahaan Arimura
Sangyo Okinawa. Nama Komodo Marine ternyata mirip dengan suatu
perusahaan pelayaran Jepang yang juga tercatat oleh Lloyd's:
Komodo Navigation SA. Perusahaan ini juga memiliki dua kapal,
Komodo V -- sebuah tanker bikinan 1965 dan Komodo VII yang
merupakan kapal pendarat buatan 1979. Tak jelas, apakah Komodo
Marine sama dengan Komodo Navigation -- atau dibuat agak
bermiripan namanya.
Catatan sejarah pemilikan Kapal Tampomas II yang tidak klop itu
menimbulkan pertanyaan berikutnya: kalau baru Maret 1980 Kapal
Emerald dijual pada Hayashi Marine, bagaimana mungkin Komodo
Marine di bulan Februari 1980 -- sebulan sebelumnya sudah
menandatangani perjanjian jual beli dengan pihak Indonesia
Ketika Oktober 1979 pihak Pelni dan Perla memeriksa kapal ini di
Yokohama, seperti dinyatakan dalam sebuah surat resmi Pelni tak
dijelaskan kapal itu milik siapa waktu itu.
Berdasar pemeriksaan di Yokohama itu -- diperkuat dengan
laporan surveyor Tomo & Son -- Direktur Utama Pelni Hussein
Umar kemudian mendesak PT PANN agar membeli kapal itu. Dan
berhasil.
Tomo & Son memang suatu perusahaan pensurvei (surveyor) yang
dianggap Bank Dunia memiliki reputasi yang baik. Tapi pihak Tomo
& Son nampaknya tak berurusan dengan soal pembelian. "Kami tidak
tahu proses jual beli kapal itu," kata Harsoyo Tomo, Direkrur
Utama Tomo & Son pekan lalu pada pembantu TEMPO I Ketut
Surajaya di Tokyo. Diakuinya, perusahaannya ditugasi penjual
kapal untuk mensurvei kapal tersebut. "Apakah pihak penjual,
Hayashi Marine dan Komodo Marine adalah broker, saya tidak
mempersoalkannya," katanya.
Walhasil, semua tanda tanya akhirnya mengarah pada satu titik
siapa dan apa Komodo Marine? Dalam perjanjian jual beli nama
wakil perusahaan itu tidak tercantum jelas. Hanya ada suatu
tanda tangan yang bisa berarti siapa saja. Alamat perusahaan
yang terdaftar dan memakai bendera Panama ini dua, di Hongkong
dan Singapura. Pembayaran kapal dilakukan lewat sebuah rekening
di Bangkok Bank, Hongkong.
Tapi pembantu TEMPO di Hongkong, Christina Vertuchi, tidak
menemukan nama Komodo Marine dalam daftar perusahaan yang
tercatat di Hongkong, begitu juga dalam Hongkong Business
Directoly. Bahkan buku telepon Hongkong pun tidak memuat
namanya.
Padahal, menurut perjanjian jual beli alamat Komodo Marine
adalah di Bonham Strand West yang terletak di bagian barat
Hongkong.
"Alamat yang dipakai itu adalah bangunan 12 tingkat yang kurang
terpelihara yang banyak dihuni perusahaan pelayaran. Namun
Komodo Marine ternyata tak tercantum dalam daftar perusahaan
yang berkantor di gedung itu," tulis Chris Vertuchi dalam
laporannya.
Lalu di mana Komodo Marine? Ternyata tak jauh: di Jakarta.
Resminya kantor di Jakarta itu hanya merupakan "kantor
perwakilan". Yang menarik: kantor perwakilan ini tanpa papan
nama. Alamatnya sama dengan PT Bumi Tirta -- suatu perusahaan
Indonesia yang bergerak dalam usaha ekspor terletak ke Hongkong.
Pemilik Komodo Marine ternyata dua orang Indonesia, George
Hendra dan Lie Kian Liong alias Santoso Sumarli. "Saya berusaha
fifty-fifty dengan Hendra. Dia bagian operasional, saya yang
ketuanya," kata Sumarli, 53 tahun, yang biasa dipanggil "Tuan
Lie".
Menurut cerita Lie dan Hendra, Kapal Emerald mereka beli dari
Arimura Sangyo seharga $ 6,3 juta pada Desember 1979. "Hayashi
Marine adalah broker kami," ujar George Hendra, 38 tahun pada
wartawan TEMPO Bachrun Suwatdi. Untuk jasa itu, katanya,
Hayashi mendapat komisi 0,5% dari harga penjualan. Setelah
disurvei oleh Tomo & Son dan para ahli Pelni, pada Februari
1980 kapal ini mereka jual pada PT PANN.
"Ketika kami jual, semua dalam kondisi baik dan laik laut," kata
Lie. "Wah pembelian ini tidak main-main. Ada orang Bank Dunia
yang ikut memeriksa kapal," lanjutnya. "Kami hanya untung tipis,
sekitar $ 100 ribu," ujar Hendra. Begitu sedikit? "Siapa tahu
transaksi ini nanti bersambung dengan Tampomas III dan IV,"
sahut Hendra optimistis.
Walau pihak Arimura Sangyo dengan tegas mengatakan, Kapal
Emerald baru mereka jual pada Hayashi Marine Maret 1980, Lie
bersikukuh kapal itu mereka beli pada Desember 1979. "Tetapi
karena kapal itu masih harus menjalani kontrak mengirim mobil
dari Jepang ke Hongkong dan Manila, baru Maret 1980 kapal itu
resmi masuk dok di Jepang untuk dikonversi," katanya pada
wartawan TEMPO Marah Sakti lewat telepon.
Mengapa perusahaannya ternyata tidak terdaftar di Hongkong?
Menurut Lie, karena kapal-kapal yang dimilikinya berbendera
Panama, tidak perlu mendaftarkan diri ke pemerintah Hongkong.
Dipakainya negeri Panama memang mempermudah prosedur. "Cukup
memberitahu dengan selembar surat saja bahwa kami punya kegiatan
operasional di sana," katanya.
TENTANG alamat di Bonham Strand West yang ternyata kosong, Lie
menjelaskan, bahwa sejak akhir Januari 1981 kantor operasional
Komodo Marine "sudah pindah" ke Cannought Street. Dan alamat di
Panama? Dia juga tak tahu persis kantor pusat perusahaannya.
"Maklum banyak jalan sih," ujarnya seraya tertawa.
Jalan memang banyak di Panama -- dan bisa berkelok-kelok dalam
riwayat jual beli kapal. Sebab jika benar Komodo Marine membeli
Emerald Desember 1979, sedang Pelni sudah mengincar kapal ini
sejak Oktober 1979 mengapa pihak Indonesia tidak langsung saja
membelinya dari Arimura Sangyo? Mengapa menunggu sampai kapal
ini dibeli dulu oleh Komodo Marine?
Penjelasan dari pihak Perla maupun PT PANN belum ada. "Saya
sudah berbicara banyak. Sekarang sudah Menteri yang menangani
masalah ini," kata Fanny Habibie.
H. Mandagi, Ketua Tim Negosiasi pembelian Emerald, juga menolak
bicara. "Porsi saya cuma negosiasi. Kalau dalam militer, saya
cuma komandan peleton. Silakan menunggu saja jawaban langsung
dari Pak Menteri," katanya Senin lalu.
Nah, Achmad Subagio, silakan tunggu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini