DI malam-malam terang bulan penduduk Desa Sipoholon selalu
mendengar suara harmonika. Menyusuri lorong-lorong desa, suara
musik tunggal itu sekali-sekali diselingi nyanyian bersama. Dan
dari balik pintu-pintu rumah, gadis-gadis selalu ingin tahu
siapa-siapa saja pemuda-pemuda yang berkeliling desa malam itu.
Tapi semua tahu, si peniup harmonika tak lain adalah Immanuel,
seorang pemuda yang juga dikenal rajin ke gereja yang ada di
desa pusat HKBP (Huria Kristen Batak Protestan) -- sebuah desa 4
km dari Tarutung di Tapanuli Utara. Dan tak seorang pun tahu,
bahwa seorang di antara anak gadis desa itu telah tergila-gila
kepada suara harmonika -- tapi terlebih-lebih kepada Immanuel,
si peniup. "Terus terang, saya memang tergoda oleh suara
harmonikanya," tutur gadis itu yang kini telah menjadi Nyonya
Immanuel.
Immanuel Siregar, 60 tahun, tersenyum-senyum saja mendengar
pengakuan istrinya. "Tapi itu dulu," ucapnya, "sekarang saya tak
pernah meniup harmonika lagi." Namun melalui harmonika itu
pulalah Immanuel untuk pertama kali berkenalan dengan nada-nada
musik. Ditambah dengan suara orgel gereja yang dikunjunginya
setiap minggu, agaknya perkenalan itu tumbuh menjadi kesenangan.
Karena itu, ketika orgel-orgel milik greja semakin tua ddn
bergelimpangan rusak, Immanuel merasa kehilangan. Lebih-lebih
karena selama perang kemerdekaan impor alat musik yang biasa
dipakai di gereja-gereja itu terhenti. Sehingga pada suatu hari
ia mencoba mengutak-atik alat musik itu. Mencocokkan
nada-nadanya seperti yang pernah ia dengar. Dan ternyata
berhasil. Sejak saat itu, 1953, orang-orang di Tapanuli pun
segera tahu, Immanuel adalah satu-satunya juru reparasi orgel.
Maka berdatanganlah orgel-orgel tua yang selama ini nganggur di
sudut gereja.
Namun ia tak terhenti sampai di situ. "Saya yakin sudah cukup
mampu membuat orgel sendiri," ungkapnya, "maklum, anak saya
makin bertambah, kebutuhan terus meningkat." Immanuel berhasil.
Sekitar 1966, ia sudah mulai menerima pesanan dari berbagai
tempar di Sumatera Utara. Tahun-tahun berikutnya menyusul
permintaan dari berbagai penjuru Tanahair. "Bahkan berkali-kali
dipesan untuk gereja di Jerman," tambahnya dengan hangga. Di
depan rumahnya ia memasang papan nama perusahaannya, Harmonis.
Ayah dari 10 orang anak itu membuat orgel dengan alat-alat
sederhana. Seperti gergaji, pahat, alat pengikir dan arang api
untuk melembekkan bahan-bahan besi dan kuningan. Orgel atau poti
marende (begitu orang Tapanuli menyebutnya) buacan Immanuel
masih menggunakan pompa untuk meniupkan angin untuk
menyentak-nyentakkan irama. "Tapi suaranya lebih hidup dan lehih
berdengung dibanding suara piano modern," ujar laki-laki
berkulit hitam itu.
Penyetelan nada, semata-mata tergantung pada perasaan Immanuel.
Bersama anaknya yang tertua, Arden Siregar, keduanya selalu
mengambil waktu malam hari untuk menyetel tangga nada. "Dan
jadilah poti marende yang tak kalah bagusnya dengan buatan luar
negeri," puji Arden, 30 tahun, yang sejak 1967 selalu
mendampingi ayahnya.
Karena masih memakai alat-alat sederhana, dalam setahun bapak
dan anak itu hanya mampu merampungkan 7 sampai 10 buah orgel.
"Harganya selalu berubah-ubah, tapi sekarang sebuah kami jual Rp
125.000," tutur Arden, bapak dari 3 orang anak. Tapi itu dulu.
Sekarang, sejak orgel maupun piano buatan Jepang datang bagaikan
banjir, dalam setahun Harmonis hanya memproduksi 2 sampai 3 buah
setahun. "Itu pun susah laku," tambah Arden.
"Padahal, orgel buatan kami lebih cocok untuk mengiringi
lagu-lagu gereja," kata Immanuel seperti meyakinkan dirinya
sendiri. Anaknya menyambung: "Orang sekarang lebih suka barang
yang serba luks dan buatan luar negeri."
Karena itu bapak dan anak itu merasa nasib mereka terbanting
benar-benar. Akibatnya sejak 2 tahun terakhir ini, mereka
terpaksa menjadikan pembuatan orgel sebagai kerja sambilan.
Immanuel membuka kios untuk mereparasi jam. Sedang anaknya,
selain membantu istrinya bertani, juga membuat tambak ikan di
sebelah sawahnya. "Kami toh harus tetap makan, meskipun si
Jepang itu makin cerdik menguras rezeki kami dengan mengalirkan
piano-pianonya ke mari," ujar Arden dengan kesal.
Tiga tahun lalu, pejabat-pejabat Dinas Perindustrian Tapanuli
Utara memang pernah datang ke rumah Immanuel. "Kami kira hendak
mengusahakan bantuan, tapi ternyata cuma tanya ini itu dan tidak
pernah muncul lagi," kata Arden. Dan barangkali anak beranak itu
pun akan cepat terlupakan, bersama makin tersingkirnya
orgel-orgel dari pojok-pojok gereja karena diganti alat-alat
musikmodern.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini