Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sosok

Immanuel, organ & anaknya

Di desa sipoholon, tapanuli utara, immanuel & anaknya menerima pesanan pembuatan orgel. kini keduanya terpaksa menyingkirkan kerja pokok sebagai pembuat orgel, karena disaingi alat musik impor.

14 Februari 1981 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DI malam-malam terang bulan penduduk Desa Sipoholon selalu mendengar suara harmonika. Menyusuri lorong-lorong desa, suara musik tunggal itu sekali-sekali diselingi nyanyian bersama. Dan dari balik pintu-pintu rumah, gadis-gadis selalu ingin tahu siapa-siapa saja pemuda-pemuda yang berkeliling desa malam itu. Tapi semua tahu, si peniup harmonika tak lain adalah Immanuel, seorang pemuda yang juga dikenal rajin ke gereja yang ada di desa pusat HKBP (Huria Kristen Batak Protestan) -- sebuah desa 4 km dari Tarutung di Tapanuli Utara. Dan tak seorang pun tahu, bahwa seorang di antara anak gadis desa itu telah tergila-gila kepada suara harmonika -- tapi terlebih-lebih kepada Immanuel, si peniup. "Terus terang, saya memang tergoda oleh suara harmonikanya," tutur gadis itu yang kini telah menjadi Nyonya Immanuel. Immanuel Siregar, 60 tahun, tersenyum-senyum saja mendengar pengakuan istrinya. "Tapi itu dulu," ucapnya, "sekarang saya tak pernah meniup harmonika lagi." Namun melalui harmonika itu pulalah Immanuel untuk pertama kali berkenalan dengan nada-nada musik. Ditambah dengan suara orgel gereja yang dikunjunginya setiap minggu, agaknya perkenalan itu tumbuh menjadi kesenangan. Karena itu, ketika orgel-orgel milik greja semakin tua ddn bergelimpangan rusak, Immanuel merasa kehilangan. Lebih-lebih karena selama perang kemerdekaan impor alat musik yang biasa dipakai di gereja-gereja itu terhenti. Sehingga pada suatu hari ia mencoba mengutak-atik alat musik itu. Mencocokkan nada-nadanya seperti yang pernah ia dengar. Dan ternyata berhasil. Sejak saat itu, 1953, orang-orang di Tapanuli pun segera tahu, Immanuel adalah satu-satunya juru reparasi orgel. Maka berdatanganlah orgel-orgel tua yang selama ini nganggur di sudut gereja. Namun ia tak terhenti sampai di situ. "Saya yakin sudah cukup mampu membuat orgel sendiri," ungkapnya, "maklum, anak saya makin bertambah, kebutuhan terus meningkat." Immanuel berhasil. Sekitar 1966, ia sudah mulai menerima pesanan dari berbagai tempar di Sumatera Utara. Tahun-tahun berikutnya menyusul permintaan dari berbagai penjuru Tanahair. "Bahkan berkali-kali dipesan untuk gereja di Jerman," tambahnya dengan hangga. Di depan rumahnya ia memasang papan nama perusahaannya, Harmonis. Ayah dari 10 orang anak itu membuat orgel dengan alat-alat sederhana. Seperti gergaji, pahat, alat pengikir dan arang api untuk melembekkan bahan-bahan besi dan kuningan. Orgel atau poti marende (begitu orang Tapanuli menyebutnya) buacan Immanuel masih menggunakan pompa untuk meniupkan angin untuk menyentak-nyentakkan irama. "Tapi suaranya lebih hidup dan lehih berdengung dibanding suara piano modern," ujar laki-laki berkulit hitam itu. Penyetelan nada, semata-mata tergantung pada perasaan Immanuel. Bersama anaknya yang tertua, Arden Siregar, keduanya selalu mengambil waktu malam hari untuk menyetel tangga nada. "Dan jadilah poti marende yang tak kalah bagusnya dengan buatan luar negeri," puji Arden, 30 tahun, yang sejak 1967 selalu mendampingi ayahnya. Karena masih memakai alat-alat sederhana, dalam setahun bapak dan anak itu hanya mampu merampungkan 7 sampai 10 buah orgel. "Harganya selalu berubah-ubah, tapi sekarang sebuah kami jual Rp 125.000," tutur Arden, bapak dari 3 orang anak. Tapi itu dulu. Sekarang, sejak orgel maupun piano buatan Jepang datang bagaikan banjir, dalam setahun Harmonis hanya memproduksi 2 sampai 3 buah setahun. "Itu pun susah laku," tambah Arden. "Padahal, orgel buatan kami lebih cocok untuk mengiringi lagu-lagu gereja," kata Immanuel seperti meyakinkan dirinya sendiri. Anaknya menyambung: "Orang sekarang lebih suka barang yang serba luks dan buatan luar negeri." Karena itu bapak dan anak itu merasa nasib mereka terbanting benar-benar. Akibatnya sejak 2 tahun terakhir ini, mereka terpaksa menjadikan pembuatan orgel sebagai kerja sambilan. Immanuel membuka kios untuk mereparasi jam. Sedang anaknya, selain membantu istrinya bertani, juga membuat tambak ikan di sebelah sawahnya. "Kami toh harus tetap makan, meskipun si Jepang itu makin cerdik menguras rezeki kami dengan mengalirkan piano-pianonya ke mari," ujar Arden dengan kesal. Tiga tahun lalu, pejabat-pejabat Dinas Perindustrian Tapanuli Utara memang pernah datang ke rumah Immanuel. "Kami kira hendak mengusahakan bantuan, tapi ternyata cuma tanya ini itu dan tidak pernah muncul lagi," kata Arden. Dan barangkali anak beranak itu pun akan cepat terlupakan, bersama makin tersingkirnya orgel-orgel dari pojok-pojok gereja karena diganti alat-alat musikmodern.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus