Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Sehari menjadi pelayan pesta

Pengalaman penulis menjadi petugas kpps pada pemilu. para pemilih terdiri dari pejabat tinggi, jutawan juga golongan ekonomi lemah. golongan ekonomi lemah muncul di tps dengan gaya berpengalaman.

9 Mei 1987 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

A H, kalau saja J. Naro memperhatikan "nasihat" saya, siapa tahu, PPP tidak akan kalah telak di DKI Jakarta. Coba saja: waktu sang ketua ini akan mencoblos, saya - sebagai petugas TPS - sudah kasih tip. "Pak", kata saya ramah sambil memberikan kartu suara, "tiup dulu kartunya. Biar makbul." Tetapi ia diam saja. Dibukanya kartu, dan bicara entah kepada siapa. Nah, itulah soalnya: ia tak mendengar kata petugas yang baik ini. Entah telah suratan, saya mendapat tugas dari kelurahan sebagai salah seorang petugas KPPS. Saya gembira sekali: kapan lagi saya akan dapat tugas yang mulia ini? Apalagi TPS saya bukan sembarang TPS. Ada empat RT, penduduknya terdiri dari golongan ekonomi rendah (dalam arti sesungguhnya) sampai golongan ekonomi kuat (dalam arti sesungguhnya pula) dan para pejabat tinggi (yang betul-betul tinggi) dan golongan seperti saya. Begitulah, di hari yang penting itu, sebelum pukul 8 pagi, saya telah siap. Dengan tanda KPPS terlekat di lengan, saya mulai bertanya-tanya pada ketua tentang tugas saya. Laporan pertama yang saya dapatkan ialah bahwa TPS I - yah, TPS saya - telah mengirimkan berkaleng-kaleng rokok ke TPS II dan III. Bukan karena TPS ini demikian kaya, tetapi karena rokok itu kiriman Pak Soepardjo, Ketua LPU/Menteri Dalam Negeri. Tetapi, pagi itu, betapa ingin saya menunda datangnya pukul 8.00. Saya masih ingin mempelajari penyelenggaraan pemilu, sedangkan para pemilih telah mulai berkumpul. Saya lihat Emil Salim sekeluarga, Ali Said sekeluarga, dan beberapa nyonya pejabat tinggi lain. Para tetangga saya mulai berdatangan, demikian pula para jutawan saya dari RT 8 dan para "ekonomi lemah" dari RT 3. Pukul 8.00 tepat segala seremoni pembukaan dimulai. Lancar, meskipun sang ketua agak gugup. Kemudian, membuka kesempatan kepada rakyat untuk memilih. Setelah mendapat nomor, segera mereka berebut menyerahkan kartu C atau AB. Sementara saya yang duduk di ujung kanan meja dengan tugas sebagai pembagi, mulai asyik menandatangani kartu demi kartu, kawan yang di ujung kiri kehilangan akal untuk mengatur. Mana yang harus didahulukan: kartu C yang sudah di tangan, atau nomor urut? Ketika ia, dalam gugup, mulai memanggil nama berdasarkan kartu C yang sudah di tangannya, protes datang. "Apa perlunya nomor urut?" kata seorang pejabat. Ketua TPS-pun menimpali, "Kita selesaikan saja kartu ini semua. Baru kita ikuti nomor urut." Dan, tiba-tiba datang pejabat tinggi. "Saya, sebagai warga negara, protes. Harus nomor urut." Baru saya terhenti menandatangani kartu-kartu pemilu. "Lebih baik nomor urut," saya katakan. Kemudian semua berjalan lancar. "Maaf, Bu, agak kacau tadi," kata Ketua kepada istri pejabat tinggi yang dikenalnya. "Ah, ya tak apa, namanya baru mulai." Terhibur juga sedikit. "Capek, ya?" kata ibu yang lain. "Tetapi, tak apa, nanti ada imbalannya," kata ibu pejabat ini, dengan ramah. Dan kami, panitia, berpandang-pandangan. Imbalan? Tentunya, ia tak tahu bahwa kami, yang berasal dari RT 7, telah lebih dulu memberi "subsidi" bagi pelaksanaan pemilu di TPS I ini. Kira-kira pukul 9.00 di saat pemilu berjalan dengan asyik dan tertib, dua bis dan beberapa sedan berhenti di depan TPS yang terletak di parkir lapangan tenis ini. Presiden dan rombongan datang meninjau. Dan kami? Berlagak tak peduli, terus bekerja. Tetapi, sungguh mati, saya ingin juga menjadi seperti gadis penjaga gerbang tol - disalami dan dapat senyum Presiden. Hanya, pemilu 'kan soal serius - jadi Presiden hanya berhenti dan melihat dari luar pagar. Jangankan dilihat Presiden - wartawan foto yang banyak berkeliaran pun tak merasa perlu membidik kami, yang sedang bergaya sibuk bekerja "demi demokrasi" ini. Jadi, hasrat bisa menyamai gadis penjaga gerbang tol pun bak seuntai ratna yang putus talinya. Pengetahuan yang tak kalah pentingnya dari pengalaman itu ialah tentang tingkah laku para pemilih. Kalau keluarga pegawai negeri datang pagi-pagi, bahkan ada yang bawa kamera, tentu bisa dianggap biasa. Yang lebih menarik ialah RT 3 dan RT 12, yang umumnya berpenduduk pedagang kaki lima, buruh, keluarga pegawai rendah, dan sebagainya, dan anggota RT penghuni gedung mewah. Golongan ekonomi rendah muncul di TPS dengan gaya berpengalaman. Datang pagi-pagi, segera mendaftar, tenang-tenang menunggu giliran, dan dengan penuh kepastian memeriksa kartu suara sambil menuju ke ruang coblos. Gaya itu tak terdapat di kalangan golongan pemilik gedung dan mobil mewah. Banyak juga di antara penghuni RT yang affluent itu yang datang pagi, bahkan sudah berpakaian lengkap. Namun, sejak pukul 1.00, di saat TPS telah lengang, mulai pulalah satu-satu mobil mewah berhenti. Dan keluarlah para wanita yang fashionable. Bergegas mendaftar, terus ke meja yang membagi kartu suara, dan, ah tunggu dulu. Dengan langkah tertegun, pertanyaan pun keluar, "Apa yang harus saya lakukan?" Kemudian datang sebuah keluarga besar, dari kakek sampai cucu, dengan dua mobil mahal, tetapi berpakaian seadanya, persis seperti orang yang sibuk bekerja di belakang rumah. Lagi-lagi pertanyaan yang sarna - ditambah dengan permintaan kejelasan. "Apa yang dicoblo harus sama, untuk kartu-kartu ini?" Ya, boleh juga tak sama, kata kami. Si kepala keluarga segera meng-coach anggota rombongannya, keluar dari bilik suara dengan tersenyum, dan komentar pun diucapkan pula, "Saya coblos sama. Tetapi 'kan lucu ada orang mencoblos tak sama." Bisa saja, ini orang. Bagaiimana dengan saksi OPP? Kalau TPS saya jadi ukuran, maka pantaslah PDI tampil sebagai juara kedua di DKI. Saksi PDI-lah yang paling tahu peraturan pemilu dan menyadari hak serta kewajibanya sebagai saksi. Saksi PPP sangat sadar akan kedudukannya sebagai otsider - dengan membawa bekal sendiri. Tetapi, lebih dari segala-galanya, persahabatan dan solidaritas yang segera terjalin di antara para saksi menyegarkan juga. Pemilu akhirnya selesai, dan penghitungan yang melelahkan segera bermula. Pukul 5 sore, Pak Soepardjo datang meninjau. Ia hanya bcrtanya tiga hal - "Beres?" "Perlu minum?" "Makanan?" Akhirnya, inilah laporan resmi saya. Dari daftar semula, ternyata 90 mendapat kartu AB, tetapi kami menerirna 30 kartu AB. Suara masuk 388, tetapi yang sah 370. Dari 18 kartu yang batal, ternyata lima kartu sangat perawan alias tak dicoblos. Hasil pemilu ? Nah, ini hak LPU. Tetapi secara proporsional dapat dikatakan bahwa ketiganya berbanding 1-4-2. Dengan kata lain, TPS saya memperlihatkan kecenderungan umum DKI - sebagian massa PPP telah dibagi-bagi oleh PDI dan Golkar, dan PPP menjadi the poor third . Pukul 8.00 malam semua berakhir - dengan segala seremoni penyegelan dan lain-lain. Maka, berakhirlah pengalaman tak terlupakan, menjadi pelayan di sebuah "pesta demokrasi". Orang yang sok analisa telah mendapatkan secara langsung peristiwa politik yang penting pada tingkat yang paling basis.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus