Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Sekelumit Suara Dari Desa

Desa tidak akan maju bila orang tua tidak berminat menyekolahkan anaknya. Anak-anak yang lulus dari Perguruan Tinggi diserap kota, mereka tak mau kembali ke desa untuk memajukan & pengabdian kepada masyarakat.

10 Januari 1981 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

INI berasal dari sebuah diskusi. Beberapa tanggapan berkisar seputar putus sekolah. Putus sekolah perlu ditekan serendah-rendahnya. Bukankah, kalau kita mau maju, tujuan kita wajib sekolah? Kalau tidak, kapan tercapai pencerdasan bangsa itu? Suasana menjadi hangat ketika seorang penanya menuduh pembicara bersikap terlalu kaku dan kurang fleksibel. Kurang melihat realita. Sikap seperti itu, yang sekarang meluas, menciptakan frustrasi. Digembar-gemborkan kebutuhan pendidikan formal untuk mencerdaskan bangsa dengan segala lambangnya -- pakaian seragam, titel kesarjanaan dan lain-lain -- tapi untuk jutaan penduduk harapan kosong dan lambang itu menimbulkan frustrasi yang semakin mendalam. -- Dalam pembangunan pengorbanan selalu ada. Sebaiknya jangan kita lihat dari segi negatifnya saja. -- Tapi menurut koran, kalau tak salah menurut Menteri Muda Urusan Pemuda, sekitar 14 juta pemuda Indonesia berusia 14 - 30 tahun tidak sekolah dan tidak bekerja. Apakah tidak waktunya kita meninjau sikap kita terhadap putus sekolah dan terhadap pendidikan formal pada umumnya? -- Maksud saudara? -- Putus sekolah tidak selalu negatif. Jangan kita terikat kepada klise-klise kosong. Jelas, tingkat putus sekolah yang tinggi di desa mempunyai segi yang positif terhadap kehidupan sosial ekonomi desa. Mereka yang putus sekolah di tingkat SD tidak canggung menjadi petani atau buruh tani. Tapi kalau anak desa putus sekolah pada tingkat SMA atau perguruan tinggi di kota? Ongkos besar, pulang ke desa berlagak tapi tidak sanggup lagi bekerja di desa. Dia termasuk dalam golongan yang 14 juta itu. -- Saudara terlalu pesimistis. Kalau begitu demokratisasi pendidikan tidak bisa tercapai. -- Selagi keadaan sosial ekonomi kita begini, memang tidak bisa dicapai. Kita harus menerima kenyataan yang pahit menghadapi jurang yang besar dalam kesempatan belajar. Daya serap lembaga pendidikan yang terbatas, sudah kita maklumi bersama. Semua kita melihat betapa gawatnya penerimaan mahasiswa tiap tahunnya. Tambah tahun tambah gawat. Animo terlalu besar. Perlu dikendurkan kalau kita mau menjadi bangsa yang lebih sehat. Mengobarkan harapan palsu berarti memfrustrasikan bangsa, terutama tunas muda yang kita namakan generasi penerus. -- Maksud saudara bagaimana. Kita tutup mulut saja? -- Ya, begitulah. Kendurkan semangat masuk perguruan tinggi yang mahal dan belum tentu berguna itu. Terasa sedikit bahwa penanya yang muda itu terlalu terus terang. Apalagi dia mengatakan pula orang-orang miskin di desa itu sesungguhnya tidak perlu melek huruf. Untuk apa? Bacaan toh tidak ada. Bacaan begitu mahalnya. Dan yang ada tidak relevan dengan keperluan mereka. Muncul lagi seorang penanya. Sikapnya tenang, kelihatannya seperti orang yang banyak merenung. -- Pendidikan yang baik ialah pendidikan yang berguna. Bukankah begitu? Kami meneliti sebuah desa di Jawa Tengah, yang mempunyai industri alat-alat rumah tangga. Kemajuan mereka mengagumkan. Pemasarannya sampai ke Sumatra langsung diurus dari desa itu. Pendapatan mereka cukup tinggi, namun tidak mempunyai minat mengirimkan anak bersekolah ke kota. Anak terus membantu orang tua, mengembangkan usaha, atau memasarkan hasil usaha mereka. Bijaksana bukan? Mereka tidak menjadi manusia tanggung, yang menganggur dan mengganggu karena telanjur berpendidikan tanggung dan terenggut dari kehidupan desa. Mereka tidak terperosok ke dalam kelompok 14 juta yang tidak bekerja itu. -- Dengan sikap seperti itu, kapan kita bisa maju? Sebaiknya pendidikan anak mereka diteruskan, kalau sanggup apa salahnya ke perguruan tinggi. Kelak kembali ke desa mengamalkan ilmunya dan lebih memajukan industri di desanya. Tapi kenyataannya tidak demikian. Berapa banyakkah lulusan Fakultas Ekonomi yang menjadi wiraswastawan? Berapa persenkah lulusan Fakultas Pertanian yang pulang ke desa dan menjadi petani maju? Berapa persenkah lulusan Fakultas Peternakan dan Fakultas Teknik yang pulang ke desa? Mereka diserap kota, diserap Jakarta, semakin lama semakin jauh dari desa. Semakin tidak mengerti tentang desa. -- Nampaknya saudara berpendapat pendidikan sebagai lembaga perlu dilenyapkan atau dibongkar sampai ke akar-akarnya. Kedengarannya seperti suara Ivan Illich atau Paulo Freire. -- Maaf, saya tidak mempunyai teori dan tidak tahu nama-nama itu. Ini cuma sekelumit suara dari desa. Pembicara lalu mengunci pembicaraan dengan uraian mengenai Tridharma Perguruan Tinggi. Diungkapkannya berbagai contoh jasa mahasiswa mendinamisir masyarakat desa melalui Kerja Kuliah Nyata sebagai salah satu perwujudan Dharma ketiga -- penyelenggaraan pengabdian kepada masyarakat.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus