INI berasal dari sebuah diskusi. Beberapa tanggapan berkisar
seputar putus sekolah. Putus sekolah perlu ditekan
serendah-rendahnya. Bukankah, kalau kita mau maju, tujuan kita
wajib sekolah? Kalau tidak, kapan tercapai pencerdasan bangsa
itu?
Suasana menjadi hangat ketika seorang penanya menuduh pembicara
bersikap terlalu kaku dan kurang fleksibel. Kurang melihat
realita. Sikap seperti itu, yang sekarang meluas, menciptakan
frustrasi. Digembar-gemborkan kebutuhan pendidikan formal untuk
mencerdaskan bangsa dengan segala lambangnya -- pakaian seragam,
titel kesarjanaan dan lain-lain -- tapi untuk jutaan penduduk
harapan kosong dan lambang itu menimbulkan frustrasi yang
semakin mendalam.
-- Dalam pembangunan pengorbanan selalu ada. Sebaiknya jangan
kita lihat dari segi negatifnya saja.
-- Tapi menurut koran, kalau tak salah menurut Menteri Muda
Urusan Pemuda, sekitar 14 juta pemuda Indonesia berusia 14 - 30
tahun tidak sekolah dan tidak bekerja. Apakah tidak waktunya
kita meninjau sikap kita terhadap putus sekolah dan terhadap
pendidikan formal pada umumnya?
-- Maksud saudara?
-- Putus sekolah tidak selalu negatif. Jangan kita terikat
kepada klise-klise kosong. Jelas, tingkat putus sekolah yang
tinggi di desa mempunyai segi yang positif terhadap kehidupan
sosial ekonomi desa. Mereka yang putus sekolah di tingkat SD
tidak canggung menjadi petani atau buruh tani. Tapi kalau anak
desa putus sekolah pada tingkat SMA atau perguruan tinggi di
kota? Ongkos besar, pulang ke desa berlagak tapi tidak sanggup
lagi bekerja di desa. Dia termasuk dalam golongan yang 14 juta
itu.
-- Saudara terlalu pesimistis. Kalau begitu demokratisasi
pendidikan tidak bisa tercapai.
-- Selagi keadaan sosial ekonomi kita begini, memang tidak bisa
dicapai. Kita harus menerima kenyataan yang pahit menghadapi
jurang yang besar dalam kesempatan belajar. Daya serap lembaga
pendidikan yang terbatas, sudah kita maklumi bersama. Semua kita
melihat betapa gawatnya penerimaan mahasiswa tiap tahunnya.
Tambah tahun tambah gawat. Animo terlalu besar. Perlu
dikendurkan kalau kita mau menjadi bangsa yang lebih sehat.
Mengobarkan harapan palsu berarti memfrustrasikan bangsa,
terutama tunas muda yang kita namakan generasi penerus.
-- Maksud saudara bagaimana. Kita tutup mulut saja?
-- Ya, begitulah. Kendurkan semangat masuk perguruan tinggi yang
mahal dan belum tentu berguna itu.
Terasa sedikit bahwa penanya yang muda itu terlalu terus terang.
Apalagi dia mengatakan pula orang-orang miskin di desa itu
sesungguhnya tidak perlu melek huruf. Untuk apa? Bacaan toh
tidak ada. Bacaan begitu mahalnya. Dan yang ada tidak relevan
dengan keperluan mereka.
Muncul lagi seorang penanya. Sikapnya tenang, kelihatannya
seperti orang yang banyak merenung.
-- Pendidikan yang baik ialah pendidikan yang berguna. Bukankah
begitu? Kami meneliti sebuah desa di Jawa Tengah, yang mempunyai
industri alat-alat rumah tangga. Kemajuan mereka mengagumkan.
Pemasarannya sampai ke Sumatra langsung diurus dari desa itu.
Pendapatan mereka cukup tinggi, namun tidak mempunyai minat
mengirimkan anak bersekolah ke kota. Anak terus membantu orang
tua, mengembangkan usaha, atau memasarkan hasil usaha mereka.
Bijaksana bukan? Mereka tidak menjadi manusia tanggung, yang
menganggur dan mengganggu karena telanjur berpendidikan tanggung
dan terenggut dari kehidupan desa. Mereka tidak terperosok ke
dalam kelompok 14 juta yang tidak bekerja itu.
-- Dengan sikap seperti itu, kapan kita bisa maju? Sebaiknya
pendidikan anak mereka diteruskan, kalau sanggup apa salahnya ke
perguruan tinggi. Kelak kembali ke desa mengamalkan ilmunya dan
lebih memajukan industri di desanya.
Tapi kenyataannya tidak demikian. Berapa banyakkah lulusan
Fakultas Ekonomi yang menjadi wiraswastawan? Berapa persenkah
lulusan Fakultas Pertanian yang pulang ke desa dan menjadi
petani maju? Berapa persenkah lulusan Fakultas Peternakan dan
Fakultas Teknik yang pulang ke desa? Mereka diserap kota,
diserap Jakarta, semakin lama semakin jauh dari desa. Semakin
tidak mengerti tentang desa.
-- Nampaknya saudara berpendapat pendidikan sebagai lembaga
perlu dilenyapkan atau dibongkar sampai ke akar-akarnya.
Kedengarannya seperti suara Ivan Illich atau Paulo Freire.
-- Maaf, saya tidak mempunyai teori dan tidak tahu nama-nama
itu. Ini cuma sekelumit suara dari desa.
Pembicara lalu mengunci pembicaraan dengan uraian mengenai
Tridharma Perguruan Tinggi. Diungkapkannya berbagai contoh jasa
mahasiswa mendinamisir masyarakat desa melalui Kerja Kuliah
Nyata sebagai salah satu perwujudan Dharma ketiga --
penyelenggaraan pengabdian kepada masyarakat.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini