MODERN INDONESIAN LITERATURE II
Karangan: A. Teeuw
Terbitan: Koninklijk Instituut voor Taal-, Land- en
Volkenkunde, Leiden,. 1979 292 halaman
TAHUN '50-an, Teeuw menerbitkan Pokok dan Tokoh, sebuah
(kumpulan) karangan mengenai berbagai tokoh dan peristiwa
penting dalam kesusastraan Indonesia. Buku itu kemudian
dikembangkan menjadi Modern Indonesian Literature yang terbit
tahun 1967. Ternyata kemudian, justru setelah tahun-tahun
terakhir periode 60-an itulah terjadi perkembangan yang cepat
dan menarik dalam sastra Indonesia -- sehingga tahun 1977 di
Yogya Teeuw memulai penelitian lanjutannya. Dan itu menghasilkan
buku yang kita bicarakan ini, yang mencakup periode yang
berakhir 1978.
Modern Indonesian Literature yang terbit tahun 1967 itu kemudian
disusun kembali -- disesuaikan dengan hasil penelitian Teeuw
1977/1978, sebagian besar diterbitkan lagi sebagai jilid I.
Sebagian kecil, di akhir buku terbitan 1967 itu, dikembangkan
dan menjadi bagian depan jilid II. Dan ternyata apa yang
didapatkan dan ditulis Teeuw tentang periode setelah Gestapu
sampai dengan 1978 itu, lebih banyak dari periode yang mencakup
awal perkembangan sastra modern kita sampai dengan periode
50-an.
Penyair Wanita
Buku ini menunjukkan bahwa sampai kini pusat perkembangan sastra
Indonesia modern masih di Jakarta. Bahkan mungkin dapat
dikatakan, Dewan Kesenian Jakarta telah banyak memberi sumbangan
nyata bagi perkembangan itu. Dari hampir 30 potret yang
disertakan dalam buku ini, hanya dua yang tidak diambil oleh D.
Hutasoit, juru potret yang khusus mengabadikan kegiatan kesenian
yang diselenggarakan DKJ di TIM.
Perkembangan yang digambarkan Teeuw itu bukan hanya menyangkut
jumlah -- juga mutu, setidaknya yang menyangkut teknik
penulisan. Tentang cerita rekaan, misalnya, antara lain
dikatakan bahwa saat ini kita memiliki sejumlah pengarang yang
dengan baik menguasai teknik penulisannya. Dibandingkan dengan
karya mereka, karya Pramoedya tahun 50-an tampak masih memiliki
kelemahan dalam segi teknik penulisan, dan pada dasarnya belum
matang.
Bahkan Teeuw mengatakan bahwa ditinjau dari ukuran
internasional, karya-karya cerita rekaan kita yang baru itu
menarik dan pantas dicatat. Bukan karena ditulis orang Indonesia
-- tetapi terutama karena nilai sastranya. Penulis cerita rekaan
yang mendapat perhatian khusus Teeuw adalah Umar Kayam, Danarto,
Budi Darma, Putu Widjaja, dan Iwan Simatupang.
Penelitian ini tentu saja tidak terbatas pada cerita rekaan
saja bahkan ada kesan bahwa analisis tentang puisi Indonesia
mutakhir dikerjakan lebih sungguh-sungguh dan terperinci. Dalam
analisis puisi itulah Teeuw lebih banyak menunjukkan pandangan
dan kesimpulan yang orisinal. Adapun bagian-bagian lain,
terutama sekali yang mengenai berbagai peristiwa yang
melatarbelakangi perkembangan sastra kita, Teeuw tidak banyak
memberikan analisis terperinci. Ia tampaknya merasa lebih aman
mencatat saja apa-apa yang sudah terjadi selama ini, seperti
Heboh Sasra 1968 dan Pengadilan Puisi 1974.
Perhatian buku ini tidak hanya ditujukan pada karya-karya yang
sudah "matang" peneliti juga memberi tempat bagi tulisan para
pengarang muda yang menulis kira-kira sejak awal atau
pertengahan '70-an. Bila perhatian sudah diberikan, penelitian
dengan sendirinya menjadi semakin luas -- dan dalam sepuluh
tahun terakhir sampai dengan 1978 memang sangat banyak buku dan
karya sastra diterbitkan. Penelitian yang dilakukan Teeuw selama
lebih kurang setahun itu tentunya tidak dapat mencatat semua
yang ada. Bahkan apabila separuh dari yang ada saja tercatat,
rasanya sudah cukup -- dengan perhitungan mungkin bukan yang
terbaik yang tercatat.
Tidak Disinggung
Dalam hal pilihan dan ketelitian mencatat, beberapa hal
barangkali dapat menjadi bahan pertimbangan Teeuw. Ada seorang
penyair, Isma Sawitri, yang mulai menulis puisi sejak akhir
'50-an karya-karyanya yang terbaik terbit di berbagai majalah
tahun '60-an. Karya Isma sepanjang pengetahuan saya memang belum
dibukukan, tetapi jumlah dan nilainya tidak perlu diragukan lagi
termasuk yang sangat pantas dibicarakan dalam buku semacam ini.
Bahkan sebagai wanita penyair, Isma lebih penting dibandingkan
dengan penyair wanita lain yang menjadi bahan penelitian Teeuw.
Namun namanya sama sekali tidak disinggung.
Beberapa nama dan peristiwa juga perlu dikoreksi -- misalnya
Darmanto Jetnan yang seharusnya Jatman, dan keterangan gambar di
hadapan halaman 82. Dalam keterangan disebutkan bahwa yang
sedang membaca adalah Slamet Kirnanto, dalam sebuah pembacaan
puisi di TIM. Padahal dalam gambar tampak Saini KM yang sedang
membaca kertas kerja. Juga disebut di situ bahwa Djajakusuma
adalah pelukis, padahal ia lebih dikenal sebagai dramawan dan
sutradara film. Pada halaman 36 disebutkan juga bahwa kependekan
Konperensi Karyawan Pengarang-(Pengarang?) se-Indonesia adalah
KKPSI yang resmi adalah KKPI.
Pembacaan yang lebih teliti tentu dapat menunjukkan beberapa
kekurangan kecil lagi, yang memang harus diperbaiki pada edisi
selanjutnya. Karena buku ini tidak berpretensi sebagai "hanya"
telaah intrinsik atas beberapa karya sastra kita, tapi lebih
dimaksudkan sebagai sejarah dan perkembangan sastra Indo. nesia
modern. Sebagai hal yang disebutkan terakhir itu, buku Teeuw ini
memang bisa menjadi sumber keterangan berharga.
Sapardi Djoko Damono
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini