Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Nusa

Buah Bibir Di Bubun

Proyek pengembangan desa pantai Sumatera Utara di desa bubun, mendapat bantuan dari sebuah organisasi dari Amerika Serikat, Instruksi of Cultural Affairs (ICA), proyek dinilai gagal kurang pendekatan.(ds)

10 Januari 1981 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SELAMAT datang di Bubun. Itulah tulisan pada sebuah papan di ambang desa di tepi Selat Malaka itu. Ditulis dalam bahasa Inggris, kalimat itu tampaknya ingin segera mengingatkan pengunjung, bahwa Desa Bubun menjadi proyek Pengembangan Desa Pantai Sumatra Utara dengan bantuan sebuah organisasi swasta dari Amerika Serikat Institute of Cultural Affairs (ICA). Untuk mencapai desa itu hanya bisa dilakukan dengan sampan motor menyusuri Sungai Batang Serangan selama dua jam, dari kota Kecamatan Tanjungpura, 65 km dari Medan. Desa itu masuk kawasan Kabupaten Langkat, Sumatra Utara. Penduduknya 1.570 jiwa, umumnya mencari nafkah sebagai nelayan. Rumah penduduk berupa bangunan panggung bertiang batang pinang, berdinding papan atau tepas, beratapkan daun nipah. Meskipun begitu, desa miskin ini dua tahun lalu pernah ramai dikunjungi peserta berbagai seminar, anggota DPRD, DPR-MPR sampai para konsul dan duta. Ada pula yang datang membawa oleh-oleh. Lions Club (organisasi sosial internasional) misalnya menghadiahkan 60 kacamata buat penduduk yang mengidap penyakit rabun. Sedang Dubes Australia menyumbang dana Rp 1 juta. "Kami macam makhluk aneh saja. Setiap minggu ada saja yang datang. Penduduk dikumpulkan oleh kepala kampung, hingga waktu buat melaut tak menentu lagi," ujar Razali Rokan, 38 tahun, salah seorang tokoh masyarakat di sana. Bukan itu saja, penduduk juga diharuskan mengikuti berbagai penataran, kursus, latihan, musyawarah, diskusi. Bubun, sejak September 1978 diresmikan oleh Gubernur E.W.P. Tambunan sebagai pusat pengembangan desa pantai. Di Sum-Ut terdapat enam pusat pengembangan serupa cuma yang istimewa Bubun mengundang konsultan ICA dari AS. ICA yang konon punya proyek lebih dari 300 desa di seluruh dunia, pernah menangani pengembangan Desa Kelapa Dua di Tangerang (Jawa Barat) dan dua tahun lalu mengembangkan Desa Bontoa (Sul-Sel). Petugas-petugas ICA diharapkan membimbing penduduk agar siap turut serta dalam pembangunan. Dalam kontrak ICA dengan Pemda Sum-Ut untuk empat tahun (1978-82), disebutkan biaya proyek Bubun sebesar Rp 127,6 juta, yaitu Rp 47 juta dari APBD Sum-Ut, selebihnya bantuan dari AS. Berbagai fasilitas disediakan untuk penduduk. Mulai dari televisi umum di depan balai desa sampai listrik untuk sebagian rumah yang bersumber dari diesel seharga Rp 8 juta. Begitu pula, sampai sekarang sudah 157 paket kredit diberikan, mulai dari kredit motor untuk perahu nelayan, jaring penangkap kan sampai alat-alat hiburan. Hasilnya dari gubuk-gubuk reyot itu kini terdengar radio atau tape recorder. Tapi menurut Razali Rokan, "proyek ini gagal total". Koperasi pangan LSD yang menyalurkan sembilan bahan pokok, menurut ketuanya, Zakaria, sejak dibentuk tahun lalu hanya berjalan tiga bulan. Begitu pula kredit simpan-pinjam dan usaha tabungan beras. Proyek Kelompok Ayam juga tidak nampak kegiatannya. Direktur Badan Pembangunan dan Pengembangan Daerah Depdagri, Drs. Atar Siberu membantah proyek Bubun gagal. "Proyek Bubun adalah proyek nonfisik. Jelas tak akan terlihat perubahan apa-apa di sana," katanya seusai berapat dengan Ketua Bappeda Sum-Ut, Prof. Dr. S. Hadibroto 20 Desember lalu di Bappenas, Jakarta. "Yang terang para nelayan sudah memanfaatkan kredit dan kegunaan bank," tambahnya. Menurut dia, para nelayan di Bubun juga sudah diajari berorganisasi secara baik. "Memang itulah sasaran yang ingin dicapai, yakni mengubah cara berpikir, memperkenalkan pola baru dalam kehidupan sekarang hingga dapat mengembangkan usaha mereka," tambah Atar. Tapi ternyata tak kurang dari 50 buah proyek percontohan perkebunan sayur di Bubun kini membelukar tak terawat karena tanpa bimbingan lebih Ianjut. Proyek itu dimaksud buat membimbing penduduk berkebun. Semula dengan cara merangsang dengan janji berbagai hadiah jika berhasil. "Tapi ketika pemenangnya terpilih, hadiahnya tidak ada. Saya kan malu. Padahal setiap subuh saya menggedor pintu rumah penduduk agar menyiram kebun sayur," keluh Razali yang bekas anggota ABRI itu. Kepala Desa Bubun, Salamuddin, juga geleng-geleng kepala. "Proyek ICA nampaknya mengada-ada," katanya. Misalnya, di Bubun cuma ada dua SD, tapi para pemuda dikursus bahasa Inggris. Lima bulan berjalan kursus itu bubar. "Mestinya penduduk diajar cara yang baik menangkap ikan atau berkebun," gerutu nelayan muda Abdullah. Dan karena berbagai proyek yang di rasakan penduduk kurang bermanfaat bagi mereka, namun harus diikuti itu, tak heran bila banyak kerja rutin mereka terbengkalai. Buktinya tempat pelelangan ikan (TPI) yang dibangun 1978, tak lagi dimanfaatkan penduduk. Dilempari Batu Tapi kemudian penduduk bosan juga mengikuti berbagai kegiatan itu. Sehingga kini penduduk sulit dikumpulkan. "Bahkan mereka menunjukkan rasa tidak senang. Misalnya merusak instalasi dan melempari lampu-lampu listrik," kata sebuah sumber di Bubun. Hampir semua lampu neon di tepi jalan pecah kena lemparan batu. Wakil Ketua Tim Pengembangan Desa Pantai Sum-Ut, Drs. Bahauddin Darus secara tak langsung mengakui pendekatan petugas-petugas ICA dalam proyek Bubun kurang tepat. "Faktor agama dan sosial-budaya memang kurang diperhitungkan," kata Bahauddin yang juga dosen USU itu. Mayoritas penduduk Bubun adalah orang Melayu Langkat dan Maya-maya. Mereka 100% beragama Islam. Tingkah laku para petugas ICA selama ini juga menjadi buah-bibir penduduk. Misalnya penduduk peserta latihan ketrampilan disuruh berdoa dengan cara lain setiap kali tiba saat makan. "Padahal sejak dulu kami berdoa dengan bismillah," ujar seorang penduduk. Orang-orang tua juga merasa tidak enak melihat anak-anak gadis mereka belakangan ini mengenakan celana jean meniru para wanita petugas ICA. "Bahkan mereka sekarang lebih sering keluar malam. Dan pengajian jadi sepi," kata Husin B.F., Kepala Keamanan Desa. Pemandangan yang juga tak menyenangkan warga desa: di malam terang bulan para petugas ICA (orang-orang bule) berdansa di tepi pantai. Dan yang paling menyinggung perasaan penduduk Bubun adalah kebiasaan laki-perempuan bule itu berjalan bergandengan tangan dengan pakaian seenaknya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus