SEORANG Menteri mengeluh tentang gejala adanya senjang
kridibilitas (cridibilit gap). Disinyalir, masyarakat kurang
bergairah untuk percaya pada pernyataan dan kebijaksanaan yang
dicanangkan pemerintah. Ini merisaukan katanya.
Memang, biarpun di kalangan penguasa ada gerakan memperindah
atau menghentak himbauannya, rasanya tanggapan masyarakat belum
memadai. Ada menteri berhimbau dengan pidato yang berbuih-buih
bahasanya. Tapi bukan usaha pemahaman yang diperoleh sebagai
tanggapan, melainkan nuansa puisinya yang diperelok oleh para
penyambung lidah.
Demikianlah, seorang nayaka yang cita rasa libidonya meluap,
tidak puas dengan canangan kebijaksanaan KIS (kordinasi,
integrasi dan sinkronisasi). Ia pun menambahkan satu kegenitan
menjadi KISS. Dan tidak sulit untuk meleka-reka tambahan jargon
berhuruf awal S satu lagi itu: simplifikasi.
Ada lagi akronim SIKON untuk situasi dan kondisi yang sering
diartikulasikan dalam rumusan kebijaksanaan pemerintah. Sesuai
dengan kepribadian di Jawa Tengah akronim itupun di-olor dengan
satu silabus pemanis sehingga berbunyi agak mesum, SIKONDOM. DOM
dijabarkan asal bunyi saja: Domisili.
Di Jawa Barat ada doktrin empat UR batur (teman) sakasur,
sadapur, sasumur dan salembur. Dalam masyarakat yang gemar,
berkidung para abdi dalem segera berlomba melengkapi guru lagu
itu dengan satu UR lagi berisi persembahan tandasetia batur
sagubernur.
Gejala ini tentulah tidak susah diterangkan. Fred W. Riggs
menyebutnya sebagai ciri masyarakat prismatik yang masih tuna
norma. Norma formal ada diucapkan. Tetapi berbau kemenyan,
seperti mantera. Pelaksanaannya kabur. Dalam masyarakat
prismatik, aturan-aturan bersifat formalitas.
Penyimpangan dan pelanggaran hukum, bila diperlukan selalu
"dapat diatur". Itulah sebabnya masyarakat tersenyum bila
diperintah untuk faham dan percaya.
II
Di Cirebon, sejumlah petani atau keluarganya ditahan Polisi,
karena tidak bisa membayar hutang. Seorang sarjana hukum
bertanya apakah dalam soal hutang pihutang, Polisi boleh turun
tangan menahan, atas nama kewenangan apapun yang ada padanya.
Sarjana hukum itu saya anjurkan memakai kacamata bifocal bikinan
Riggs yang juga saudara seperguruan Kapolri kita.
Saya yakin ia akan dapat melihat dengan jelas tegaknya wewenang
dan kekuasaan di tanah airnya.
Kekuasaan, lewat lensa kecil, terlihat memiliki kewenangan
sejauh batas hukum formal yang lazimnya tertulis. Tapi lewat
lensa besar kekuasaan mempunyai ruang gerak yang hlas untuk
menafsirkan lingkup wewenang itu. Kekuasaan berhak membuat
"kebijaksanaan-kebijaksanaan." Baik kebijaksanaan yang lebih
restriktif maupun yang lebih longgar dari aturan formal.
Perlindungan hukun. keamanan, "kebijaksanaan" dari pemegang
kekuasaan dan solidaritas di masyarakat ini merupakan barang
dagangan yang ada harganya. Karena itu, barangkali ada baiknya
pengajar ilmu ekonomi merobah isi buku pedomannya.
Di sini, yang dimaksud dengan faktor produksi bukan hanya tanah,
tenaga kerja, modal, tatalaksana dan tehnologi. Tetapi juga
keamanan dan akses pada pemegang kendali kekuasaan.
Kewiraswastaan di negara-negara berkembang, harus pula
mengajarkan cara-cara memperoleh "izin masuk lewat pintu
belakang," cara-cara mengelak dari bekerjanya kekuatan kekuasaan
yang menggunakan kewenangan melebihi porsinya. Kelancaran usaha
ditentukan oleh pemahaman atas bekerjanya supra mekanisme
kekuasaan itu.
III
Seorang kepala direktorat suatu departemen pasrah. Ia yakin,
itulah akhir dari karirnya, biarpun ia muda, tanpa cacad, cakap
dan bersungguh-sungguh dalam menjalankan tugasnya. Katanya, ia
tahu diri. Berdasarkan aturan tertulis, masih ada satu jenjang
karir yang dapat ia capai. Jabatan eselon satu. Pernyataan
menterinya juga menegaskan, jabatan karir terbuka bagl pegawai
yang berprestasi untuk mencapai jenjang tertinggi pegawai sipil
itu.
Namun bila diamati secara empiris, sikap pasrah teman saya itu
beralasan. Ia mungkin masih beruntung, bila dibanding dengan
teman-temannya di Daerah, atau di departemen lain.
"Kebijaksanaan-kebijaksanaan" telah mentolerir praktek
penggunaan kekuasaan melampaui batas wewenang berdasarkan aturan
perundang-undangan. Beberapa waktu yang lahu nanakala seorang
direktur jenderal di depan DPR menegaskan tidak ada sistim
drop-dropan, jatah-jatahan dalam penunjukan kepala daerah ia
disambut dengan ger-geran oleh wakil-wakil rakyat itu.
Masyarakat tahu, selisih antara kebijaksanaan formal yang
diucapkan itu dengan praktek penggunaan kekuasaan untuk
menyimpang dari aturan formal.
Praktek-praktek ini melemahkan motivasi dan gairah kerja
birokrat yang cuma manusia itu.
IV
Dalam masyarakat membangun, kenyataan-kenyataan yang disinyalir
Riggs dalam teori "Prismatic Society"nya itu, harus dianggap
sebagai tantangan. Ketimpangan struktur sosial, mencengnya
penggunaan kekuasaan dari batas wewenang yang semustinya,
bobroknya tata nilai merupakan soal-soal yang harus dipecahkan
lewat upaya pembangunan dan pembaharuan.
Gejala kwalitatif ini harus diraba dan difahami dengan indera
kwalitatif juga Mawas diri. Dapatkah kita melihat arah
pembaharuan di Indonesia, memberi kesan bahwa masyarakat
Pancasila yang hendak diwujudkan adalah masyarakat yang kokoh
kredibilitasnya bukan tatanan di mana segala sesuatu bisa diatur
dengan tiwikramanya kekuasaan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini