KALAU Ibu Kartini yang mati muda bangkit dari kubur apakah yang
bergelimang dalam benaknya? Niscaya banyak yang mencengangkan
Ibu Kartini. Wanita Indonesia telah menduduki berlusin kedudukan
yang tidak bisa diimpikan tujuh puluh tahun yang lalu. Mereka
bekerja di perusahaan swasta dan kantor Pemerintah, dari
kedudukan pelayan kantin sampai menteri.
Wanita Indonesia begitu maju dalam bacaan, mencerminkan
kemajuan pendidikan. Mutu majalah wanita Indonesia dewasa ini
tidak kalah dari majalah Belanda, yang dibaca oleh keturunan
kawan-kawan Ibu Kartini.
***
"Di negara-negara yang sedang berkembang, apa lagi di Indonesia,
orang perlu hati-hati kalau mau omong tentang stalus wanita,"
demikian kata seorang rekan (sarjana Amerika) dengan serius.
"Sebagai contoh ambil wanita Jawa. Apakah status mereka
tergolong rendah?"
Sebagai isyarat tidak tahu, saya menggelengkan kepala. Dia pun
melanjutkan dengan bersemangat.
"Dengan membaca buku Hindred Geertz (The Javanese family, 1961)
dan skripsi Barbara Schiller (Women, work and status in rural
Java, 1978), saya punya kesan yang kuat bahwa status wanita
pedesaan Jawa cukup tinggi. Lebih tingi bila dibandingkan
dengan berbagai masyarakat lainnya di Asia."
Penjelasannya yang panjan lebar, dapat disillgia begini.
Pekerjaan wanita mengurus dapur dan anak sudah jelas. Namun
perlu diketahui bahwa pembagian pekerjaan antara pria dan wanita
cukup fleksibel. Adakalanya laki-laki juga membantu dalam
pekerjaan rumah tangga.
Wanita aktip dalam berbagai pekerjaan di luar rumah untuk
menunjang ekonomi rumah tangga. Mereka bertani, memburuh, jadi
pedagang kecil atau besar. Banyak jenis pekerjaan terbuka bagi
wanita. Tidak bisa dibilang mereka tergantung secara ekonomis
kepada suami. Mereka punya kesanggupan berotonomi. Dan itu
indikator status.
Dalam kehidupan sosial terdapat perbedaan. Status laki-laki
lebih menonjol dalam beberapa hal dan suami terdaftar sebagai
kepala rumah tangga. Tetapi aktivitas sosial wanita tidak bisa
dikatakan sepi dan jangan dinilai kwalitasnya lebih rendah.
Terkadang aktivitas mereka jelas terpisah tetapi terkadang
bertumpang tindih dengan aktivitas laki-laki. Isteri tunduk
secara formal kepada suami. Namun isteri mengambil pelbagai
keputusan yang penting di dalam dan di luar rumah tangga. Wanita
juga mempunyai hak penuh atas barang dan tanah. Kalau terjadi
perceraian, anak-anak cenderung ikut ibunya.
Dalam hubungan antar kerabat, perempuan mempunyai tarikan yang
luar biasa. Bila ada anggota tambahan dalam rumah tangga, atau
diambil anak angkat, biasanya dia dari pihak isteri. Kunjung
mengunjung, bantu membantu lebih intensip melalui jaringan
kerabat isteri. Kalau anak perempuan kawin, dia cenderung
bertempat tinggal dekat ibunya dan hwbungan mereka dekat. Sang
ibu ialah pusat kasih dan tanggung jawab.
Hildred Geertz menamakan sistem kekerabatan demikian matrifocal,
dalam sistem mana otoritas, pengaruh dan tanggung jawab wanita
lebih besar dari laki-laki. Sebaliknya, menurut Geertz, wanita
memperoleh limpahan kasih sayang dan loyalitas yang lebih besar.
Saya termangu. Apakah betul status wanita Jawa sudah mendingan?
Apakah mereka sudah lama bangkit, tangkas seperti Srikandi?
Modernisasi akan membawanya ke arah mana?
Dia mengakhiri pembicaraan dengan berkata secara meyakinkan:
"Dan di sini terletak masalah kami di Amerika. Masalah status
wanita dalam rumah tangga. Pekerjaan dalam rumah tangga,
fungsinya melahirkan dan merawat anak-anak amat kurang dihargai.
Sumber kehangatan dan kemesraan diremehkan. Sang ibu lebih suka
terlontar keluar, katanya bebas dari kurungan, keluar
mengembangkan diri. Si ibu kehilangan maknit. Sumber cinta
mengering, ikatan kasih sayang mengendor. Implikasinya luas.
Jelas ini tidak bisa ditambal dengan barang-barang konsumsi yang
mewah. Yah, tentu banyak yang tidak setuju dengan saya. Tapi
pendapat saya beginilah."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini