TAMATAN SMA sekarang seperti tak ada harganya. Boleh saja rajin
keluar masuk kantor untuk melamar, kalau tidak ada koneksi
jangan harap ijazah itu bisa bikin lubang. Supri (29 tahun),
tamat SMA pada 1971, selama 3 tahun mengembara cari kerja, ingin
jadi pegawai negeri. "Impian itu tidak pernah tercapai,"
ujarnya. Akhirnya ia jadi pelayan restorasi kereta api.
"Pramugara" -- sebutan keren dari pelayan di kereta api,
ternyata menjadi salah satu tempat pelarian pemilik ijazah SMA
yang ingin bekerja. Sekarang Supri sudah hampir lima tahun
bekerja dalam kereta api ekspres Gunung Jati yang melayani
trayek Cirebon-Jakarta. "Terus terang saya tidak bermimpi jadi
pelayan, tetapi barangkali sudah nasib saya begini," ujarnya.
Makan Hati
Perbedaan dari seorang pramugara dengan pelayan biasa agak
banyak. Seorang pramugara seperti Supri harus memiliki
ketrampilan berjalan membawa segala pesanan penumpang, sementara
kereta api terus meluncur dan bergoyang. Bila tangan kiri
menyandang baki berisi gelas dan botol, yang kanan pun harus
membawa baki dengan muatan nasi rames atau nasi goreng. Tak
jarang terjadi kecelakaan. Makanan tumpah dan botol atau gelas
pecah. "Kecelakaan semacam itu menjadi tanggungan pelayan. Tiap
akhir bulan kerusakan atau peralatan hilang harus diganti oleh
pelayan dengan cara potong gaji," kata Supri.
Tampaknya kejam, tapi begitulah bunyi peraturan dari perusahaan.
Sejak diadakannya kereta api ekspres Gunung Jati Cirebon -
Jakarta sejak Pebruari 1973, urusan restorasi diserahkan kepada
sebuah perusahaan swasta. Maka seluruh karyawannya juga tunduk
kepada majikan swasta, mereka bukan karyawan PJKA. Gajinya
berdasarkan "premi" -- artinya siapa yang aktif, siapa yang
paling banyak melayani penumpang, itulah yang bakalan berkantong
tebal pada akhir bulan. Demikianlah omzet penjualan setiap hari
sekaligus mempengaruhi ekonomi para pramugara dan pramugari.
Seorang pramugara seperti Supri atau rekannya Karyana yang sudah
bekerja selama lima tahun, di dalam satu bulan rata-rata
menerima gaji tak lebih dari Rp 30 ribu. Untuk Maret yang lalu
misalnya, Karyana (29 tahun) hanya menerima Rp 26.875. Dengan
perincian gaji pokok Rp 2.500, premi Rp 17.875 dan tunjangan
kerja Rp 6.500. Angka-angka leell ml kemudian harus dipotong
lagi Rp 2000 --untuk tabungan. Kemudian masih dipotong lagi Rp
1.500 -- lantaran ada barang yang hilang atawa pecah. Tak heran
kalau mereka berlomba-lomba menaikkan angka itu dengan
melejitkannya pada premi. Akibatnya perusahaan juga tertolong,
karena pelayan-pelayan itu jadi gencar menjajakan isi restorasi
kepada para penumpang.
Gunung Jati pertama berangkat dari stasiun Cirebon setiap pukul
05.30. Kalau seorang pramugara bertugas pagi, berarti dia sudah
harus terjaga pukul 04.00 subuh. Bagi yang tinggal dekat
stasiun, tak ada masalah. Siksaan besar bagi yang tinggal di
luar kota. Seorang juru masak bernama Buhari di atas kereta api
itu misalnya merasa dinas pagi adalah siksaan. Tapi mau apa
lagi, ini penghidupannya. Kalau ingin keluar, dengan senang hati
perusahaan akan mencari gantinya.
Gunung Jati kedua berangkat pukul 12 dan kemudian yang terakhir
pukul 15.30. Di dalam setiap trip ada sepuluh tenaga restorasi
yang terdiri dari satu kepala restorasi, dua pramugari, empat
pramugara, tiga juru masak dan seorang pembantu. Begitu kereta
api mendengus dari Cirebon, mereka segera operasi, menjajakan
minuman dan makanan. Di kelas utama, seorang pramugari akan
dilepas lebih dahulu untuk mencatat keinginan penumpang. Sesudah
itu baru sang pramugara muncul membawa baki-baki dengan pesanan
yang sudah dicatat.
Melewati stasiun Cikampek, selama satu jam, sebelum sampai di
Bekasi, awak restorasi ini memperoleh waktu istirahat. Di sana
biasanya mereka mulai ngobrol sambil menghitung-hitung nota
penjualan, memperkirakan berapa premi yang akan didapatnya.
Lewat stasiun Bekasi, para pramugara dikerahkan lagi menjelajahi
setiap gerbong untuk mengambil piring, gelas dan botol kembali.
Di stasiun Jatinegara, yang merupakan pintu gerbang Jakarta,
seluruhnya harus sudah rapih. Kalau seorang pramugara tidak
teliti, di sinilah ia akan kehilangan preminya. Jadi para
penumpang kereta Api Gunung Jati jangan coba-coba menyembunyikan
botol-botol kosong, kasihan pelayan-pelayan ini.
Menjadi pelayan meskipun dikasih nama "pramugara" sesungguhnya
sangat melelahkan. Tetapi Supri, orang yang gagal jadi pegawai
negeri itu mengaku banyak hal boleh dipungut sebagai segi-segi
yang menyenangkan. Misalnya -- menurut pengakuan Supri lho -- ia
jadi kenal bermacam-macam watak orang. Dan jangan lupa -- hmm --
tambah kenalan. "Begitu banyak penumpang. begitu banyak pula
tingkah mereka," kata Supri. Tak jarang ia makan hati kalau
ketemu penumpang yang rewel, bawel, atau pemarah.
Gadis
Demikianlah, pada suatu kali, dua orang pramugara absen. Sendiri
saja ia terpaksa melayani seluruh kereta yang terdiri dari 2
gerbong kelas utama dan gerbong kelas ekonomi. Ia terpaksa
kerja jatuh bangun, sambil tetap berhaati-hati jangan sampai
ada yang bisa mengurangi premi. "Yah, barangkali kerja ini bisa
juga sebagai tempat latihan kesabaran," ujarnya. Tapi ia sempat
lupa mencatat pesanan penumpang. Yang berkepentingan jadi naik
pitam. Supri terpaksa mengurut dada saja. "Saya harus sabar dan
nrimo, biar bagaimana pun mereka saya anggap raja," ujarnya.
Nunung, seorang pramugari rekan Supri, menceritakan kesulitan
yang lain. Yakni kalau menghadapi penumpang yang terlalu ramah
-- alias terlalu banyak omong. "Memang tangan mereka diam,
tetapi omongan mereka kadang-kadang kelewat batas. Buat mereka
terpaksa saya pasang muka cemberut, dan biasanya usaha itu
berhasil," ujarnya. Taktik ini rupanya merupakan cara umum para
pramugari kalau sudah kewalahan menghadapi penumpang yang
kadang-kadang tidak hanya ingin pesan makanan dari "pramugari"
tetapi butuh seorang "pramuria".
Nasib wanita di atas kereta api rupanya lebih baik. Meski pun
kadangkala harus menghadapi lelaki-lelaki bandot atau setengah
bandot. Mereka hanya ngobral senyum dan sapaan di kelas utama,
untuk menanyakan -- kalau perlu memancing supaya penumpang
memesan. Setelah itu kembali ke pos, menghitung nota pesanan,
kemudian setor kepada kepala. Tetapi ringan-ringan begitu,
syaratnya ternyata jauh lebih berat. Perusahaan menetapkan bahwa
pramugari harus berstatus "gadis". Kalau mau kawin -- silakan --
tetapi harus angkat kaki, berhenti sebagai pramugari.
Pramugara tidak diacuhkan masih perjaka atau sudah punya cucu.
Supri dan Karyana, meskipun masih muda-muda ternyata sudah punya
tanggungan. Karyana bahkan sudah punya anak. Tak jadi soal, asal
tetap rajin kerja dan siap tepat pada waktunya. Mereka ini
kadang-kadang harus tidur di gerbong restorasi, kalau kebetulan
dapat giliran trip trakhir. Habis perusahaan tidak menyediakan
mereka fasilitas penginapan.
Setiap kali giliran, yang menyebabkan mereka menginap di
Jakarta, Supri dan Karyana memanfaatkan sebaik-baiknya. Mereka
pun menghirup udara malam ibukota, meskipun kemudian harus
segera balik tidur di gerbong. Lalu sebelum matahari terbit,
cepat-cepat mengenakan seragam baju putih, celana biru, sepatu
hitam dan di leher sebuah dasi kupu-kupu yang lucu.
Lain dengan nasib Buhari yang bekerja sebagai juru masak. Lelaki
berusia 29 tahun ini terkurung dalam ruangan 2 x 4 meter. Di
ruangan yang sempit itu berdesak pula tiga orang koki, sementara
kompor gas terus membuat ruangan jadi apak dan panas.
Kalau pesanan rame, Buhari bisa tambah sumpek. Karena ruangan
itu berfungsi sebagai dapur, di sana pula dibersihkan
bekas-bekas makanan. Apa lagi Buhari terang-terangan mengaku,
tidak merasa punya darah masak. "Kerja juru masak ini adalah
ketimbang nganggur," ujarnya. Jadi tidak disertai oleh rasa
cinta. Sebelumnya ia tak pernah belajar memasak. "Saya bisa
masak sambil jalan, setelah tiga tahun di restorka Gunung Jati,"
ujarnya.
Tak Ada Pilihan
Bagi Buhari bekerja adalah tugas. Ia tidak bisa menjamin kalau
masakannya enak atau nomor satu -- sebagaimana juru masak pada
umumnya yang selalu punya kebanggaan itu. Sebelum memasak untuk
penumpang kereta api, Buhari -- ayah dari dua anak ini -- adalah
seorang pedagang kecil. Ia juga pernah memburuh di sebuah huller
(penggilingan padi) kecil di Cikampek. Pendidikannya hanya
Sekolah Dasar. "Jadi tak ada pilihan lain. Mau jadi pegawai
negeri tentu saja susah, sebab saya bukan orang pintar,"
ujarnya.
Meskipun tidak menghayati pekerjaannya, Buhari mengaku merasa
senang. Kenapa? Banyak alasannya. Pertama dengan bekerja di
kereta api ia banyak punya kawan. Kedua, tentu saja karena ada
penghasilan tetap sebagai pegangan. Meskipun penghasilan
totalnya juga hanya di sekitar Rp 26 ribu.
Cukupkah penghasilan orang-orang di restorasi ini? Jawabnya
mudah. Di mana ada orang mengaku penghasilannya cukup. Yang
jelas, baik Buhari, Supri ataupun Karyana, bertahan dalam
pekerjaan itu. Meskipun dengan beberapa keluhan. Misalnya jumlah
yang sudah disebutkan rasanya terlalu tipis untuk upah kalau
dikaitkan dengan jam kerja mereka. Paling tidak dalam satu hari
mereka bekerja sepuluh jam. Memang setiap kali tugas ada uang
transport Rp 250. "Tetapi itu tidak cukup, untuk sebungkus rokok
pun tidak cukup," kata Karyana. Tapi kemudian segera
ditambahnya: "Yah, biar bagaimana pun penghasilan itu kami
cukup-cukupkan buat hidup sebulan."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini