Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Gaya Hidup

Di atas kereta, dicukup-cukupkan

Tamatan SMA, dari pada menganggur lebih baik jadi Pramugara kereta api, walaupun harus makan hati, gaji dicukup-cukupkan karena tidak ada pilihan lain. Untuk menjadi pramugari status harus gadis. (sd)

12 Mei 1979 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TAMATAN SMA sekarang seperti tak ada harganya. Boleh saja rajin keluar masuk kantor untuk melamar, kalau tidak ada koneksi jangan harap ijazah itu bisa bikin lubang. Supri (29 tahun), tamat SMA pada 1971, selama 3 tahun mengembara cari kerja, ingin jadi pegawai negeri. "Impian itu tidak pernah tercapai," ujarnya. Akhirnya ia jadi pelayan restorasi kereta api. "Pramugara" -- sebutan keren dari pelayan di kereta api, ternyata menjadi salah satu tempat pelarian pemilik ijazah SMA yang ingin bekerja. Sekarang Supri sudah hampir lima tahun bekerja dalam kereta api ekspres Gunung Jati yang melayani trayek Cirebon-Jakarta. "Terus terang saya tidak bermimpi jadi pelayan, tetapi barangkali sudah nasib saya begini," ujarnya. Makan Hati Perbedaan dari seorang pramugara dengan pelayan biasa agak banyak. Seorang pramugara seperti Supri harus memiliki ketrampilan berjalan membawa segala pesanan penumpang, sementara kereta api terus meluncur dan bergoyang. Bila tangan kiri menyandang baki berisi gelas dan botol, yang kanan pun harus membawa baki dengan muatan nasi rames atau nasi goreng. Tak jarang terjadi kecelakaan. Makanan tumpah dan botol atau gelas pecah. "Kecelakaan semacam itu menjadi tanggungan pelayan. Tiap akhir bulan kerusakan atau peralatan hilang harus diganti oleh pelayan dengan cara potong gaji," kata Supri. Tampaknya kejam, tapi begitulah bunyi peraturan dari perusahaan. Sejak diadakannya kereta api ekspres Gunung Jati Cirebon - Jakarta sejak Pebruari 1973, urusan restorasi diserahkan kepada sebuah perusahaan swasta. Maka seluruh karyawannya juga tunduk kepada majikan swasta, mereka bukan karyawan PJKA. Gajinya berdasarkan "premi" -- artinya siapa yang aktif, siapa yang paling banyak melayani penumpang, itulah yang bakalan berkantong tebal pada akhir bulan. Demikianlah omzet penjualan setiap hari sekaligus mempengaruhi ekonomi para pramugara dan pramugari. Seorang pramugara seperti Supri atau rekannya Karyana yang sudah bekerja selama lima tahun, di dalam satu bulan rata-rata menerima gaji tak lebih dari Rp 30 ribu. Untuk Maret yang lalu misalnya, Karyana (29 tahun) hanya menerima Rp 26.875. Dengan perincian gaji pokok Rp 2.500, premi Rp 17.875 dan tunjangan kerja Rp 6.500. Angka-angka leell ml kemudian harus dipotong lagi Rp 2000 --untuk tabungan. Kemudian masih dipotong lagi Rp 1.500 -- lantaran ada barang yang hilang atawa pecah. Tak heran kalau mereka berlomba-lomba menaikkan angka itu dengan melejitkannya pada premi. Akibatnya perusahaan juga tertolong, karena pelayan-pelayan itu jadi gencar menjajakan isi restorasi kepada para penumpang. Gunung Jati pertama berangkat dari stasiun Cirebon setiap pukul 05.30. Kalau seorang pramugara bertugas pagi, berarti dia sudah harus terjaga pukul 04.00 subuh. Bagi yang tinggal dekat stasiun, tak ada masalah. Siksaan besar bagi yang tinggal di luar kota. Seorang juru masak bernama Buhari di atas kereta api itu misalnya merasa dinas pagi adalah siksaan. Tapi mau apa lagi, ini penghidupannya. Kalau ingin keluar, dengan senang hati perusahaan akan mencari gantinya. Gunung Jati kedua berangkat pukul 12 dan kemudian yang terakhir pukul 15.30. Di dalam setiap trip ada sepuluh tenaga restorasi yang terdiri dari satu kepala restorasi, dua pramugari, empat pramugara, tiga juru masak dan seorang pembantu. Begitu kereta api mendengus dari Cirebon, mereka segera operasi, menjajakan minuman dan makanan. Di kelas utama, seorang pramugari akan dilepas lebih dahulu untuk mencatat keinginan penumpang. Sesudah itu baru sang pramugara muncul membawa baki-baki dengan pesanan yang sudah dicatat. Melewati stasiun Cikampek, selama satu jam, sebelum sampai di Bekasi, awak restorasi ini memperoleh waktu istirahat. Di sana biasanya mereka mulai ngobrol sambil menghitung-hitung nota penjualan, memperkirakan berapa premi yang akan didapatnya. Lewat stasiun Bekasi, para pramugara dikerahkan lagi menjelajahi setiap gerbong untuk mengambil piring, gelas dan botol kembali. Di stasiun Jatinegara, yang merupakan pintu gerbang Jakarta, seluruhnya harus sudah rapih. Kalau seorang pramugara tidak teliti, di sinilah ia akan kehilangan preminya. Jadi para penumpang kereta Api Gunung Jati jangan coba-coba menyembunyikan botol-botol kosong, kasihan pelayan-pelayan ini. Menjadi pelayan meskipun dikasih nama "pramugara" sesungguhnya sangat melelahkan. Tetapi Supri, orang yang gagal jadi pegawai negeri itu mengaku banyak hal boleh dipungut sebagai segi-segi yang menyenangkan. Misalnya -- menurut pengakuan Supri lho -- ia jadi kenal bermacam-macam watak orang. Dan jangan lupa -- hmm -- tambah kenalan. "Begitu banyak penumpang. begitu banyak pula tingkah mereka," kata Supri. Tak jarang ia makan hati kalau ketemu penumpang yang rewel, bawel, atau pemarah. Gadis Demikianlah, pada suatu kali, dua orang pramugara absen. Sendiri saja ia terpaksa melayani seluruh kereta yang terdiri dari 2 gerbong kelas utama dan gerbong kelas ekonomi. Ia terpaksa kerja jatuh bangun, sambil tetap berhaati-hati jangan sampai ada yang bisa mengurangi premi. "Yah, barangkali kerja ini bisa juga sebagai tempat latihan kesabaran," ujarnya. Tapi ia sempat lupa mencatat pesanan penumpang. Yang berkepentingan jadi naik pitam. Supri terpaksa mengurut dada saja. "Saya harus sabar dan nrimo, biar bagaimana pun mereka saya anggap raja," ujarnya. Nunung, seorang pramugari rekan Supri, menceritakan kesulitan yang lain. Yakni kalau menghadapi penumpang yang terlalu ramah -- alias terlalu banyak omong. "Memang tangan mereka diam, tetapi omongan mereka kadang-kadang kelewat batas. Buat mereka terpaksa saya pasang muka cemberut, dan biasanya usaha itu berhasil," ujarnya. Taktik ini rupanya merupakan cara umum para pramugari kalau sudah kewalahan menghadapi penumpang yang kadang-kadang tidak hanya ingin pesan makanan dari "pramugari" tetapi butuh seorang "pramuria". Nasib wanita di atas kereta api rupanya lebih baik. Meski pun kadangkala harus menghadapi lelaki-lelaki bandot atau setengah bandot. Mereka hanya ngobral senyum dan sapaan di kelas utama, untuk menanyakan -- kalau perlu memancing supaya penumpang memesan. Setelah itu kembali ke pos, menghitung nota pesanan, kemudian setor kepada kepala. Tetapi ringan-ringan begitu, syaratnya ternyata jauh lebih berat. Perusahaan menetapkan bahwa pramugari harus berstatus "gadis". Kalau mau kawin -- silakan -- tetapi harus angkat kaki, berhenti sebagai pramugari. Pramugara tidak diacuhkan masih perjaka atau sudah punya cucu. Supri dan Karyana, meskipun masih muda-muda ternyata sudah punya tanggungan. Karyana bahkan sudah punya anak. Tak jadi soal, asal tetap rajin kerja dan siap tepat pada waktunya. Mereka ini kadang-kadang harus tidur di gerbong restorasi, kalau kebetulan dapat giliran trip trakhir. Habis perusahaan tidak menyediakan mereka fasilitas penginapan. Setiap kali giliran, yang menyebabkan mereka menginap di Jakarta, Supri dan Karyana memanfaatkan sebaik-baiknya. Mereka pun menghirup udara malam ibukota, meskipun kemudian harus segera balik tidur di gerbong. Lalu sebelum matahari terbit, cepat-cepat mengenakan seragam baju putih, celana biru, sepatu hitam dan di leher sebuah dasi kupu-kupu yang lucu. Lain dengan nasib Buhari yang bekerja sebagai juru masak. Lelaki berusia 29 tahun ini terkurung dalam ruangan 2 x 4 meter. Di ruangan yang sempit itu berdesak pula tiga orang koki, sementara kompor gas terus membuat ruangan jadi apak dan panas. Kalau pesanan rame, Buhari bisa tambah sumpek. Karena ruangan itu berfungsi sebagai dapur, di sana pula dibersihkan bekas-bekas makanan. Apa lagi Buhari terang-terangan mengaku, tidak merasa punya darah masak. "Kerja juru masak ini adalah ketimbang nganggur," ujarnya. Jadi tidak disertai oleh rasa cinta. Sebelumnya ia tak pernah belajar memasak. "Saya bisa masak sambil jalan, setelah tiga tahun di restorka Gunung Jati," ujarnya. Tak Ada Pilihan Bagi Buhari bekerja adalah tugas. Ia tidak bisa menjamin kalau masakannya enak atau nomor satu -- sebagaimana juru masak pada umumnya yang selalu punya kebanggaan itu. Sebelum memasak untuk penumpang kereta api, Buhari -- ayah dari dua anak ini -- adalah seorang pedagang kecil. Ia juga pernah memburuh di sebuah huller (penggilingan padi) kecil di Cikampek. Pendidikannya hanya Sekolah Dasar. "Jadi tak ada pilihan lain. Mau jadi pegawai negeri tentu saja susah, sebab saya bukan orang pintar," ujarnya. Meskipun tidak menghayati pekerjaannya, Buhari mengaku merasa senang. Kenapa? Banyak alasannya. Pertama dengan bekerja di kereta api ia banyak punya kawan. Kedua, tentu saja karena ada penghasilan tetap sebagai pegangan. Meskipun penghasilan totalnya juga hanya di sekitar Rp 26 ribu. Cukupkah penghasilan orang-orang di restorasi ini? Jawabnya mudah. Di mana ada orang mengaku penghasilannya cukup. Yang jelas, baik Buhari, Supri ataupun Karyana, bertahan dalam pekerjaan itu. Meskipun dengan beberapa keluhan. Misalnya jumlah yang sudah disebutkan rasanya terlalu tipis untuk upah kalau dikaitkan dengan jam kerja mereka. Paling tidak dalam satu hari mereka bekerja sepuluh jam. Memang setiap kali tugas ada uang transport Rp 250. "Tetapi itu tidak cukup, untuk sebungkus rokok pun tidak cukup," kata Karyana. Tapi kemudian segera ditambahnya: "Yah, biar bagaimana pun penghasilan itu kami cukup-cukupkan buat hidup sebulan."

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus