Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Hutang Ratusan Juta, Belasan ...

Manajemen 8 perusahaan bis kota swasta di Jakarta, diambil alih pemerintah karena dianggap tidak dapat melunasi hutangnya. Sedang PPD juga dihimpit hutang. Nasib ke-8 perusahaan bis itu diserahkan kepada gubernur. (eb)

12 Mei 1979 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DI depan pool perusahaan bis Jakarta Transport di Klender Jakarta Timur, banyak orang bergerombol Sabtu siang pekan lalu. Mengenakan seragam merah tua dan oranye ada yang mengira mereka itu rombongan sirkus. Tapi itulah seragam baru buat para supir dan kondektur perusahaan bis swasta yang sejak 17 April lalu diambil-alih oleh Pemerintah. Tidak seperti sebelumnya, kini mereka banyak senyum dan bercanda. Masuk akal, karena para awak bis itu tak lagi diharuskan keliling kota ngebut selama sehari penuh. Kini seharinya mereka cukup bekerja 8 jam, asal memenuhi 6 rit. Tak perlu lagi mengejar target Rp 43.000 sehari untuk setoran (lihat: Setoran, Ulah Penumpang, Dan Polsus). Bagaimana rasanya setelah perusahaannya diambil-alih? John T., supir teladan yang ada di antara mereka, nyeletuk: "Seperti pindah dari ibu tiri ke pangkuan ibu sendiri," katanya. Berbeda dengan dulu, sekarang bis yang sedikit rewel jalannya boleh saja masuk bengkel. Dulu seharinya paling banter hanya dua mobil yang diderek, kini rata-rata ada 8 bis yang masuk bengkel. "Sekarang supir-supir pada kolokan," kata John pula. Tak demikian dengan para pengusaha. Sejak diambil-alihnya menejemen 8 perusahaan bis kota swasta di Jakarta, mereka umumnya merasa sakit. Banyak yang enggan bicara dan memasrahkan nasibnya kepada tim pengendali angkutan kota/Jabotabek, yang langsung diketuai oleh Dirjen Perhubungan Darat Nazar Nurdin. Adalah tim itu yang sekarang mengurus menejemen sejumlah perusahaan bis kota yang diambil alih. Tapi ada juga yang mau bicara. M.H. Hutagalung, 50 tahun, Dir-Ut PT Arion, menyatakan sudah 17 tahun berkecimpung di bidang angkutan kota, sejak zaman bis Ikarus. Mendirikan PT Arion pada 1969, dengan jatah kredit pertama 50 bis Dodge, terakhir ia tercatat memiliki 125 bis Dodge, di samping 15 bis Mercy dan 3 Hino yang masih baru. Kantornya sejak 1976 juga sudah pindah dari Jl. Pemuda yang 8.000 mÿFD, ke Jl. Spoor Kelapa Gading yang 2 ha. Di sana ada bangunan garasi, bengkel reparasi dan rehabilitasi, halaman pool yang cukup luas untuk orang bersepakbola dan taman dengan pepohonan yang rindang. Kepada TEMPO bekas sersan mayor itu juga membanggakan sudah memetik hasil dari kebun karetnya yang puluhan hektar di Sumatera Utara. "Tapi itu warisan keluarga," katanya cepat. Alhasil, Dir-Ut PT Arion yang punya sekitar 500 karyawan itu ingin mengesankan bahwa perusahaannya selama ini beres. "Tak ada yang bengkok-bengkok di Arion ini," kata Hutagalung. Lalu mengapa sampai diambil-alih? "Itulah, saya jadi sakit hati kalau dianggap sengaja menunggak hutang, dituduh tak mengerti menejemen dan tidak melakukan investasi kembali." Itu memang yang ditudingkan pemerintah pusat terhadap ke 8 perusahaan bis kota yang seluruhnya masih berhutang Rp 2,3 milyar lebih sedikit. Hutang Arion sendiri, menurut catatan yang ada pada tim menejemen mencapai sekitar Rp 208,4 juta per akhir Pebruari lalu. Ini dengan catatan bahwa dari 125 bis Dodge asal kredit dari Amerika Serikat melalui Bank Bumi Daya, yang benar-benar beroperasi hanya 54 bis. Pemerintah menetapkan PT Arion, bersama PT Saudaranta dan PT LL Muri Asih dalam kelompok yang diperkirakan mampu melunsi hutang-hutangnya selama 1 sampai 2 tahun. PT Saudaranta yang berkantor di Jl. Ciputat Raya, Jakarta Selatan, tercatat berhutang Rp 205 juta. Bis yang dimilikinya ada 175 buah, yang dianggap bisa beroperasi sebanyak 150 buah, tapi nyatanya yang jalan sewaktu diambil-alih sekitar 54 bis. Sedang LL Muri Asih, pemilik 82 bis Dodge, menurut pemerintah masih berhutang sekitar Rp 105 juta. Tapi Dir-Ut Arion toh merasa keberatan kalau dia dan beberapa rekannya dianggap tak mampu mencicil hutang. Dia tak mengelak masih berhutang, sekalipun angka yang diperlihatkannya jatuh di seputar Rp 182 juta. "Namun adanya sisa tunggakan itu bukan atas kemauan kami, katanya. Menurut yang empunya cerita, ia boleh menunggak hutang sebab adanya Instruksi Gubernur DKI Jaya yang maksudnya ingin memberi keringanan kepada para pengusaha bis kota. Demikianlah, mengingat tarip yang Rp 30 rupanya dianggap terlalu rendah waktu itu, maka Gubernur Ali Sadikin memang mengeluarkan ketentuan begini terhitung 1 Juni 1976 sampai ada ketetapan lebih lanjut pengusaha bis kota dibolehkan menunda pembayaran wajib setor hariannya. Instruksi gubernur kepada Bank Pembangunan Daerah DKI Jaya -- yang tugasnya mengumpulkan jumlah setoran untuk BBD -- berakhir ketika tarif bis kota jauh dekat sudah dinaikkan menjadi Rp 50, pertengahan Juli 1977. Bisa dimengerti bila Hutagalung dan kedua rekannya itu merasa siap untuk seriap waktu melunasi seluruh hutangnya. Kontan saja pengusaha bis yang bukan kemarin sore itu menunjuk pada bis Mercedes miliknya yang ia beli dengan Rp 15 juta sebuah. "Kalau perlu saya berikan semua daripada harus menanggung malu," katanya. Rupanya dia dan isterinya sejak tanggal yang baginya naas itu tak lagi berani muncul di pesta-pesta. Bahkan menengok poolnya pun tak pernah dia lakukan sejak pengambil-alihan itu. "Ah, saya sudah kapok. lebih baik pindah usaha saja," katanya. Seorang pengusaha bis yang bernasib sama juga merasa keberatan untuk melanjutkan usahanya, sekalipun nanti sudah bisa melunasi hutang-hutangnya. Apa sebabnya? "Yah, sulit kalau kami diminta harus mengikuti peraturan-peraturan yang seperti dalam buku-buku itu," katanya. Dengan kata lain, mereka beranggapan dalam kondisi yang seperti sekarang, adalah sistem setoran yang paling tepat. Juga mereka merasa tak mungkin kalau harus melakukan investasi kembali. Dengan sebagian kendaraan yang sudah berusia 10 tahun, seorang pengusaha merasa "sudah bagus kalau bisa mengoperasikan 60% dari bis." Arion sendiri yang harus mengoperasikan 90 bis Dodge-nya, hanya mampu mengoperasikan sekitar 60% itulah. Dan bagian dari perusahaan yang oleh Hutagalung dianggap mampu menekan biaya adalah bengkel rehabilitasinya. "Yang bisa kita lakukan adalah merehabilitasikan bis-bis yang lama itu," katanya. PENDAPAT Hutagalung seperti itu didukung oleh A. Soetisna, direktur PT Mayasari Bhakti. Perusahaan bis ini termasuk yang jempolam Pemerintah mencatat jumlah bis yang dimiliki Mayasari ada 15 buah, dan yang dianggap bisa beroperasi juga sejumlah yang sama. Dalam praktek perusahaan yang cuma berhutang Rp 78,2 juta itu sanggup meluncurkan 117 armadanya, atau sekitar 80% lebih. Persentase tersebut memang tergolong paling top, melebihi PT Gamadi yang 72%, PT Pelita Mas Jaya dengan 67% dan PT SMS, 68%. Tapi menurut Soetisna kepada TEMPO, "biaya penyusutan yang ditetapkan 20% setahun itu hanya ada dalam buku." Maksudnya? "Ya tidak bisa kami lakukan untuk membeli bis yang baru, tapi untuk meremajakan yang sudah tua." Tapi bagaimana bisa meremajakan kalau biaya penyusutan itu hanya angka saja? "Itukah lingkaran yang kita hadapi," kata Soetisna. "Sampai kapan saya bisa mempertahankannya, artinya jalan seperti sekarang, entahlah." Seorang pengusaha lain yang kena jaring tim menejemen beranggapan adalah "hebat" bila bis-bis yang berumur 10 tahun masih bisa menggelinding di tengah jalan. Perhitungannya begini: Sebuah bis beroperasi 16 jam sehari, dengan dua shift, menghabiskan rata-rata 400 sampai 500 karcis. Kalau supirnya tidak ugal-ugalan, dalam sebulan bis biasa mendekam di bengkel selama 5 hari. Nah, dengan cara menejemen yang oleh Pangkopkamtib dianggap sebagai bergaya "dokar", orang memang masih bisa melihat bis keluaran 1969 digunakan PT Merantama dan Jakarta Transport. Kedua perusahaan itu dianggap masuk kotak benar karena dipandang tak mampu melaksanakan pelunasan hutang dalam dua tahun. Hutang PT Jakarta Transport per akhir Pebruari lalu disebut mencapai hampir Rp 457 juta. Memiliki 175 bis, tapi harus mengoperasikan 110, realisasinya cukup lumayan: 126 bis alias 71% dari yang harus beroperasi. Sedang Merantama yang mengoperasikan 119 bis dari 205 (58%), mencatat hutang Rp 285,3 juta. Suatu jumlah yang tak besar, kalau saja diingat jumlah armadanya dan karyawannya yang pada akhir Juli dua tahun lalu sudah mencapai 1527 orang. Barangkali yang mencemaskan pemerintah adaah hutang PT Medal Sekarwangi. Perusahaan punya Atang Soebandi itu, oleh pemerintah dicatat memiliki 292 bis merek Dodge. Diperhitungkan yang harus dioperasikan adalah 180, tapi yang jalan 128 buah. Realisasi yang sekitar 71% itu lumayan buat perusahaan yang mempekerjakan 1.000 orang lebih. Tapi hutangnya juga lumayan besarnya nyaris Rp 902 juta. Hutang segede itu pasti ada sebabnya. Tapi sayang tak seorang pun di perusahaan itu yang bersedia memberi keterangan. "Direksi sudah sepakat untuk tidak memberikan pernyataan apapun," kata Direktur Operasinya Soepandi Wiriadinata. Tapi seorang anggota tim setuju itulah perusahaan bis kota yang paling gawat hutangnya. Di antara 8 perusahaan yang diambil-alih itu, masih ada yang bernama PT Ajiwirya dan Solo Bone Agung, masing-masing berhutang Rp 393,8 juta dan Rp 328,5 juta. Tapi yang menarik adalah PT MDT, yang oleh tim menejemen sebenarnya juga diambil-alih, tapi tak dlmasukkan dalam kategori yang 8 itu. Adalah MDT yang kabarnya didirikan oleh orang-orang PPD, jadi semacam anak perusahaan mereka. Sama halnya dengan Ajiwirya, akarta Transport, Medal, Merantama dan SBA, maka MDT juga dianggap oleh pemerintah sebagai tak mampu melunasi hutangnya yang Rp 482,3 juta dalam waktu dua tahun. Memiliki 95 bis, anak perusahaan PPD itu dianggap bisa mengoperasikan 77 buah, sekalipun yang berjalan 47 bis (61%). Konon sebagian bis MDT dibeli perusahaan swasta lainnya seperti Merantama. Alhasil, seluruh hutang 13 perusahaan bis swasta yang terbagi dalam tiga kelompok -- kurang dari setahun, 1-2 tahun, dan kurang dari 2 tahun kemampuan melunasi hutangnya -- berputar di sekitar Rp 3,7 milyar. Gamadi yang hanya berhutang Rp 2,8 juta sudah melunasinya Maret lalu, sedang Pelita Mas Jaya, April kemarin juga sudah menyelesaikan hutangnya yang Rp 9,7 juta. Adapun Mayasari dan SMS diperkirakan bisa melunasinya dalam tempo 6 dan 7 bulan, sejak akhir Pebruari lalu. Tapi dihitung-hitung, hutang ke 13 perusahaan bis swasta yang memiliki 2048 bis itu belum apa-apa bila dibandingkan dengan hutang PN Perusahaan Pengangkutan Djakarta (PPD). Sekalipun dari dulu menggunakan sistem karcis, hutang PPD itu terus saja menaik dari tahun ke tahun. Dengan jumlah kendaraan yang jauh lebih kecil, sekitar 880 buah, antara lain merek Mercedez Benz bantuan pemerintah Jerman Barat dan Leyland bantuan dari pemerintah Inggeris, posisi hutang PPD menggapai sampai Rp 11,6 milyar. Mampukah PPD membayar kembali? Sukotjo, sekretaris tim menejemen itu cepat mengelak ketika ditanya soal yang pelik itu. "Saya tak tahu, itu urusan atasan," katanya. Tapi menurut ekonom itu, terlepas dari soal hutangnya yang besar, operasi PPD tergolong baik, kalau ditinjau dari segi motivasinya melayani masyarakat. Syukurlah kalau begitu. Tapi omong-omong sampai kapan perusahaan yang memang tak mengejar untung itu setidaknya mampu untuk menutup ongkosnya? Pihak tim sendiri tampaknya tidak optimis PPD akan bisa melunasi hutangnya dalam beberapa tahun. Menurut teorinya, dengan pencicilan sehari yang Rp 10 ribu per bis dan pengoperasian yang 75% dari jumlah bis yang dimilikinya, hutang baru akan lunas dalam waktu kurang lebih 6 tahun. Tapi menurut sebuah sumber yang mengetahui, hutang itu mungkin baru bisa lunas dalam waktu sekitar 30 tahun. "Ini kalau kita memperhitungkan posisi PPD selama dua tahun belakangan," katanya. Sungguh suatu tindakan yang tak kepalang tanggung dari pemerintah untuk main ambil-alih perusahaan bis swasta, sedang PPD-nya sendiri tidak karuan. Dengan usia kendaraan yang umumnya di atas 5 tahun dan biaya eksploitasi yang semakin meningkat setelah naiknya harga BBM, sulitlah dibayangkan bagaimana mereka bisa menutup kebutuhannya dengan tarip penumpang yang bertahan Rp 50 jauh dekat. Sebuah sumber di Departemen Perhubungan kuatir, keadaan dalam tubuh PPD itu sudah matang untuk diserahkan kepada Badan Urusan Piutang Negara (BUPN). Artinya, "perusahaan itu sudah harus berkemas-kemas untuk suatu saat melelang kekayaannya," kata sumber itu. Tidak begitu jelas apakah pemerintah akan membentuk tim menejemen yang lain untuk mengasuh PPD yang tidak sehat itu. Tapi di luaran orang sudah bertanya-tanya: Apa jadinya dengan ke 8 perusahaan yang kini diurus para menejer pemerintah itu? Sampai sekarang tampaknya baik-baik saja. Pelan-pelan jumlah kendaraan yang dioperasikan sudah mulai bertambah, antara 8-10 buah. Mereka juga kerja keras sampai malam. Di kantor Sukotjo, di Jl. Jenderal Sudirman depan kantor KONI, lampu kamarnya selalu menyala sampai lewat tengah malam. Lewat jam itu ada piket, sehingga praktis kantor yang kini mengeluarkan karcis bis itu, buka 2 jam. Mudah-mudahan lampu itu akan menyala terus. Tapi seandainya tidak sebanyak itu bis yang diambil-alih, pasti kerja tim tak akan seletih sekarang. Melihat posisi hutang beberapa perusahaan bis yang diambil-alih itu masih dalam batas-batas yang masuk akal, mengapa jadi pemerintah sampai menempuh tindakan yang sedrastis itu. Suatu tindakan yang oleh beberapa pengamat dianggap sebagai "tak menguntungkan swasta." Jawabnya barangkali pada keterangan Gubernur DKI Jaya Tjokropranolo di depan DPRD DKI pekan lalu. Penciutan itu "dikaitkan dengan kebijaksanaan pemerintah pusat, bahwa sebaiknya jumlah perusahaan bis kota hanya empat saja, terdiri dari swasta dan pemerintah." Bukan mustahil kalau pemerintah nanti juga meminta agar 4 perusahaan bis swasta yang luput dari pengambilalihan itu untuk melakukan merger. Tapi, seperti kata Direktur PT Mayasari Soetisna, "kalau pemerintah punya mau itu memang susah ditolak."

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus