DI depan pool perusahaan bis Jakarta Transport di Klender
Jakarta Timur, banyak orang bergerombol Sabtu siang pekan lalu.
Mengenakan seragam merah tua dan oranye ada yang mengira mereka
itu rombongan sirkus. Tapi itulah seragam baru buat para supir
dan kondektur perusahaan bis swasta yang sejak 17 April lalu
diambil-alih oleh Pemerintah.
Tidak seperti sebelumnya, kini mereka banyak senyum dan
bercanda. Masuk akal, karena para awak bis itu tak lagi
diharuskan keliling kota ngebut selama sehari penuh. Kini
seharinya mereka cukup bekerja 8 jam, asal memenuhi 6 rit. Tak
perlu lagi mengejar target Rp 43.000 sehari untuk setoran
(lihat: Setoran, Ulah Penumpang, Dan Polsus).
Bagaimana rasanya setelah perusahaannya diambil-alih? John T.,
supir teladan yang ada di antara mereka, nyeletuk: "Seperti
pindah dari ibu tiri ke pangkuan ibu sendiri," katanya. Berbeda
dengan dulu, sekarang bis yang sedikit rewel jalannya boleh saja
masuk bengkel. Dulu seharinya paling banter hanya dua mobil yang
diderek, kini rata-rata ada 8 bis yang masuk bengkel. "Sekarang
supir-supir pada kolokan," kata John pula.
Tak demikian dengan para pengusaha. Sejak diambil-alihnya
menejemen 8 perusahaan bis kota swasta di Jakarta, mereka
umumnya merasa sakit. Banyak yang enggan bicara dan memasrahkan
nasibnya kepada tim pengendali angkutan kota/Jabotabek, yang
langsung diketuai oleh Dirjen Perhubungan Darat Nazar Nurdin.
Adalah tim itu yang sekarang mengurus menejemen sejumlah
perusahaan bis kota yang diambil alih.
Tapi ada juga yang mau bicara. M.H. Hutagalung, 50 tahun, Dir-Ut
PT Arion, menyatakan sudah 17 tahun berkecimpung di bidang
angkutan kota, sejak zaman bis Ikarus. Mendirikan PT Arion pada
1969, dengan jatah kredit pertama 50 bis Dodge, terakhir ia
tercatat memiliki 125 bis Dodge, di samping 15 bis Mercy dan 3
Hino yang masih baru. Kantornya sejak 1976 juga sudah pindah
dari Jl. Pemuda yang 8.000 mÿFD, ke Jl. Spoor Kelapa Gading yang
2 ha. Di sana ada bangunan garasi, bengkel reparasi dan rehabilitasi,
halaman pool yang cukup luas untuk orang bersepakbola dan taman
dengan pepohonan yang rindang.
Kepada TEMPO bekas sersan mayor itu juga membanggakan sudah
memetik hasil dari kebun karetnya yang puluhan hektar di
Sumatera Utara. "Tapi itu warisan keluarga," katanya cepat.
Alhasil, Dir-Ut PT Arion yang punya sekitar 500 karyawan itu
ingin mengesankan bahwa perusahaannya selama ini beres. "Tak ada
yang bengkok-bengkok di Arion ini," kata Hutagalung.
Lalu mengapa sampai diambil-alih? "Itulah, saya jadi sakit hati
kalau dianggap sengaja menunggak hutang, dituduh tak mengerti
menejemen dan tidak melakukan investasi kembali."
Itu memang yang ditudingkan pemerintah pusat terhadap ke 8
perusahaan bis kota yang seluruhnya masih berhutang Rp 2,3
milyar lebih sedikit. Hutang Arion sendiri, menurut catatan yang
ada pada tim menejemen mencapai sekitar Rp 208,4 juta per akhir
Pebruari lalu. Ini dengan catatan bahwa dari 125 bis Dodge asal
kredit dari Amerika Serikat melalui Bank Bumi Daya, yang
benar-benar beroperasi hanya 54 bis.
Pemerintah menetapkan PT Arion, bersama PT Saudaranta dan PT LL
Muri Asih dalam kelompok yang diperkirakan mampu melunsi
hutang-hutangnya selama 1 sampai 2 tahun. PT Saudaranta yang
berkantor di Jl. Ciputat Raya, Jakarta Selatan, tercatat
berhutang Rp 205 juta. Bis yang dimilikinya ada 175 buah, yang
dianggap bisa beroperasi sebanyak 150 buah, tapi nyatanya yang
jalan sewaktu diambil-alih sekitar 54 bis. Sedang LL Muri Asih,
pemilik 82 bis Dodge, menurut pemerintah masih berhutang sekitar
Rp 105 juta.
Tapi Dir-Ut Arion toh merasa keberatan kalau dia dan beberapa
rekannya dianggap tak mampu mencicil hutang. Dia tak mengelak
masih berhutang, sekalipun angka yang diperlihatkannya jatuh di
seputar Rp 182 juta. "Namun adanya sisa tunggakan itu bukan atas
kemauan kami, katanya. Menurut yang empunya cerita, ia boleh
menunggak hutang sebab adanya Instruksi Gubernur DKI Jaya yang
maksudnya ingin memberi keringanan kepada para pengusaha bis
kota.
Demikianlah, mengingat tarip yang Rp 30 rupanya dianggap
terlalu rendah waktu itu, maka Gubernur Ali Sadikin memang
mengeluarkan ketentuan begini terhitung 1 Juni 1976 sampai ada
ketetapan lebih lanjut pengusaha bis kota dibolehkan menunda
pembayaran wajib setor hariannya. Instruksi gubernur kepada Bank
Pembangunan Daerah DKI Jaya -- yang tugasnya mengumpulkan jumlah
setoran untuk BBD -- berakhir ketika tarif bis kota jauh dekat
sudah dinaikkan menjadi Rp 50, pertengahan Juli 1977.
Bisa dimengerti bila Hutagalung dan kedua rekannya itu merasa
siap untuk seriap waktu melunasi seluruh hutangnya. Kontan saja
pengusaha bis yang bukan kemarin sore itu menunjuk pada bis
Mercedes miliknya yang ia beli dengan Rp 15 juta sebuah. "Kalau
perlu saya berikan semua daripada harus menanggung malu,"
katanya. Rupanya dia dan isterinya sejak tanggal yang baginya
naas itu tak lagi berani muncul di pesta-pesta. Bahkan menengok
poolnya pun tak pernah dia lakukan sejak pengambil-alihan itu.
"Ah, saya sudah kapok. lebih baik pindah usaha saja," katanya.
Seorang pengusaha bis yang bernasib sama juga merasa keberatan
untuk melanjutkan usahanya, sekalipun nanti sudah bisa melunasi
hutang-hutangnya. Apa sebabnya? "Yah, sulit kalau kami diminta
harus mengikuti peraturan-peraturan yang seperti dalam buku-buku
itu," katanya. Dengan kata lain, mereka beranggapan dalam
kondisi yang seperti sekarang, adalah sistem setoran yang paling
tepat. Juga mereka merasa tak mungkin kalau harus melakukan
investasi kembali. Dengan sebagian kendaraan yang sudah berusia
10 tahun, seorang pengusaha merasa "sudah bagus kalau bisa
mengoperasikan 60% dari bis."
Arion sendiri yang harus mengoperasikan 90 bis Dodge-nya, hanya
mampu mengoperasikan sekitar 60% itulah. Dan bagian dari
perusahaan yang oleh Hutagalung dianggap mampu menekan biaya
adalah bengkel rehabilitasinya. "Yang bisa kita lakukan adalah
merehabilitasikan bis-bis yang lama itu," katanya.
PENDAPAT Hutagalung seperti itu didukung oleh A. Soetisna,
direktur PT Mayasari Bhakti. Perusahaan bis ini termasuk yang
jempolam Pemerintah mencatat jumlah bis yang dimiliki Mayasari
ada 15 buah, dan yang dianggap bisa beroperasi juga sejumlah
yang sama. Dalam praktek perusahaan yang cuma berhutang Rp 78,2
juta itu sanggup meluncurkan 117 armadanya, atau sekitar 80%
lebih. Persentase tersebut memang tergolong paling top, melebihi
PT Gamadi yang 72%, PT Pelita Mas Jaya dengan 67% dan PT SMS,
68%. Tapi menurut Soetisna kepada TEMPO, "biaya penyusutan yang
ditetapkan 20% setahun itu hanya ada dalam buku." Maksudnya? "Ya
tidak bisa kami lakukan untuk membeli bis yang baru, tapi untuk
meremajakan yang sudah tua."
Tapi bagaimana bisa meremajakan kalau biaya penyusutan itu
hanya angka saja? "Itukah lingkaran yang kita hadapi," kata
Soetisna. "Sampai kapan saya bisa mempertahankannya, artinya
jalan seperti sekarang, entahlah."
Seorang pengusaha lain yang kena jaring tim menejemen
beranggapan adalah "hebat" bila bis-bis yang berumur 10 tahun
masih bisa menggelinding di tengah jalan. Perhitungannya begini:
Sebuah bis beroperasi 16 jam sehari, dengan dua shift,
menghabiskan rata-rata 400 sampai 500 karcis. Kalau supirnya
tidak ugal-ugalan, dalam sebulan bis biasa mendekam di bengkel
selama 5 hari.
Nah, dengan cara menejemen yang oleh Pangkopkamtib dianggap
sebagai bergaya "dokar", orang memang masih bisa melihat bis
keluaran 1969 digunakan PT Merantama dan Jakarta Transport.
Kedua perusahaan itu dianggap masuk kotak benar karena
dipandang tak mampu melaksanakan pelunasan hutang dalam dua
tahun. Hutang PT Jakarta Transport per akhir Pebruari lalu
disebut mencapai hampir Rp 457 juta. Memiliki 175 bis, tapi
harus mengoperasikan 110, realisasinya cukup lumayan: 126 bis
alias 71% dari yang harus beroperasi. Sedang Merantama yang
mengoperasikan 119 bis dari 205 (58%), mencatat hutang Rp 285,3
juta. Suatu jumlah yang tak besar, kalau saja diingat jumlah
armadanya dan karyawannya yang pada akhir Juli dua tahun lalu
sudah mencapai 1527 orang.
Barangkali yang mencemaskan pemerintah adaah hutang PT Medal
Sekarwangi. Perusahaan punya Atang Soebandi itu, oleh pemerintah
dicatat memiliki 292 bis merek Dodge. Diperhitungkan yang harus
dioperasikan adalah 180, tapi yang jalan 128 buah. Realisasi
yang sekitar 71% itu lumayan buat perusahaan yang mempekerjakan
1.000 orang lebih. Tapi hutangnya juga lumayan besarnya nyaris
Rp 902 juta.
Hutang segede itu pasti ada sebabnya. Tapi sayang tak seorang
pun di perusahaan itu yang bersedia memberi keterangan. "Direksi
sudah sepakat untuk tidak memberikan pernyataan apapun," kata
Direktur Operasinya Soepandi Wiriadinata. Tapi seorang anggota
tim setuju itulah perusahaan bis kota yang paling gawat
hutangnya.
Di antara 8 perusahaan yang diambil-alih itu, masih ada yang
bernama PT Ajiwirya dan Solo Bone Agung, masing-masing berhutang
Rp 393,8 juta dan Rp 328,5 juta. Tapi yang menarik adalah PT
MDT, yang oleh tim menejemen sebenarnya juga diambil-alih, tapi
tak dlmasukkan dalam kategori yang 8 itu.
Adalah MDT yang kabarnya didirikan oleh orang-orang PPD, jadi
semacam anak perusahaan mereka. Sama halnya dengan Ajiwirya,
akarta Transport, Medal, Merantama dan SBA, maka MDT juga
dianggap oleh pemerintah sebagai tak mampu melunasi hutangnya
yang Rp 482,3 juta dalam waktu dua tahun. Memiliki 95 bis, anak
perusahaan PPD itu dianggap bisa mengoperasikan 77 buah,
sekalipun yang berjalan 47 bis (61%). Konon sebagian bis MDT
dibeli perusahaan swasta lainnya seperti Merantama.
Alhasil, seluruh hutang 13 perusahaan bis swasta yang terbagi
dalam tiga kelompok -- kurang dari setahun, 1-2 tahun, dan
kurang dari 2 tahun kemampuan melunasi hutangnya -- berputar di
sekitar Rp 3,7 milyar. Gamadi yang hanya berhutang Rp 2,8 juta
sudah melunasinya Maret lalu, sedang Pelita Mas Jaya, April
kemarin juga sudah menyelesaikan hutangnya yang Rp 9,7 juta.
Adapun Mayasari dan SMS diperkirakan bisa melunasinya dalam
tempo 6 dan 7 bulan, sejak akhir Pebruari lalu.
Tapi dihitung-hitung, hutang ke 13 perusahaan bis swasta yang
memiliki 2048 bis itu belum apa-apa bila dibandingkan dengan
hutang PN Perusahaan Pengangkutan Djakarta (PPD). Sekalipun dari
dulu menggunakan sistem karcis, hutang PPD itu terus saja
menaik dari tahun ke tahun. Dengan jumlah kendaraan yang jauh
lebih kecil, sekitar 880 buah, antara lain merek Mercedez Benz
bantuan pemerintah Jerman Barat dan Leyland bantuan dari
pemerintah Inggeris, posisi hutang PPD menggapai sampai Rp 11,6
milyar.
Mampukah PPD membayar kembali? Sukotjo, sekretaris tim menejemen
itu cepat mengelak ketika ditanya soal yang pelik itu. "Saya tak
tahu, itu urusan atasan," katanya. Tapi menurut ekonom itu,
terlepas dari soal hutangnya yang besar, operasi PPD tergolong
baik, kalau ditinjau dari segi motivasinya melayani masyarakat.
Syukurlah kalau begitu. Tapi omong-omong sampai kapan perusahaan
yang memang tak mengejar untung itu setidaknya mampu untuk
menutup ongkosnya?
Pihak tim sendiri tampaknya tidak optimis PPD akan bisa melunasi
hutangnya dalam beberapa tahun. Menurut teorinya, dengan
pencicilan sehari yang Rp 10 ribu per bis dan pengoperasian yang
75% dari jumlah bis yang dimilikinya, hutang baru akan lunas
dalam waktu kurang lebih 6 tahun. Tapi menurut sebuah sumber
yang mengetahui, hutang itu mungkin baru bisa lunas dalam waktu
sekitar 30 tahun. "Ini kalau kita memperhitungkan posisi PPD
selama dua tahun belakangan," katanya.
Sungguh suatu tindakan yang tak kepalang tanggung dari
pemerintah untuk main ambil-alih perusahaan bis swasta, sedang
PPD-nya sendiri tidak karuan. Dengan usia kendaraan yang umumnya
di atas 5 tahun dan biaya eksploitasi yang semakin meningkat
setelah naiknya harga BBM, sulitlah dibayangkan bagaimana mereka
bisa menutup kebutuhannya dengan tarip penumpang yang bertahan
Rp 50 jauh dekat. Sebuah sumber di Departemen Perhubungan
kuatir, keadaan dalam tubuh PPD itu sudah matang untuk
diserahkan kepada Badan Urusan Piutang Negara (BUPN). Artinya,
"perusahaan itu sudah harus berkemas-kemas untuk suatu saat
melelang kekayaannya," kata sumber itu.
Tidak begitu jelas apakah pemerintah akan membentuk tim
menejemen yang lain untuk mengasuh PPD yang tidak sehat itu.
Tapi di luaran orang sudah bertanya-tanya: Apa jadinya dengan ke
8 perusahaan yang kini diurus para menejer pemerintah itu?
Sampai sekarang tampaknya baik-baik saja. Pelan-pelan jumlah
kendaraan yang dioperasikan sudah mulai bertambah, antara 8-10
buah.
Mereka juga kerja keras sampai malam. Di kantor Sukotjo, di Jl.
Jenderal Sudirman depan kantor KONI, lampu kamarnya selalu
menyala sampai lewat tengah malam. Lewat jam itu ada piket,
sehingga praktis kantor yang kini mengeluarkan karcis bis itu,
buka 2 jam.
Mudah-mudahan lampu itu akan menyala terus. Tapi seandainya
tidak sebanyak itu bis yang diambil-alih, pasti kerja tim tak
akan seletih sekarang. Melihat posisi hutang beberapa
perusahaan bis yang diambil-alih itu masih dalam batas-batas
yang masuk akal, mengapa jadi pemerintah sampai menempuh
tindakan yang sedrastis itu. Suatu tindakan yang oleh beberapa
pengamat dianggap sebagai "tak menguntungkan swasta." Jawabnya
barangkali pada keterangan Gubernur DKI Jaya Tjokropranolo di
depan DPRD DKI pekan lalu. Penciutan itu "dikaitkan dengan
kebijaksanaan pemerintah pusat, bahwa sebaiknya jumlah
perusahaan bis kota hanya empat saja, terdiri dari swasta dan
pemerintah."
Bukan mustahil kalau pemerintah nanti juga meminta agar 4
perusahaan bis swasta yang luput dari pengambilalihan itu untuk
melakukan merger. Tapi, seperti kata Direktur PT Mayasari
Soetisna, "kalau pemerintah punya mau itu memang susah ditolak."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini