SAYA beruntung naik Garuda Indonesia pada 1 Januari 1989. Ketika melihat dari jauh beberapa orang mengenakan seragam biru turoise (biru kehijauan di bandara Changi, saya pikir mereka pramugari Tradewinds -- maskapai penerbangan Singapura kedua. Ternyata, merekalah yang menyambut kami di Garuda. "Selamat Tahun Baru, dan selamat berseragam baru," kata saya kepada mereka. Sayang sekali, mereka agaknya terlalu sibuk untuk membalas basa-basi saya. Saya suka warna seragam itu. Tapi anak saya berkomentar, "Tak cocok dengan warna beklid kursi yang oranye." Ah, itu kan beklid lama yang akan segera diganti. Kalau proses itu rampung nanti, pastilah warna-warna itu akan menjadi senada dan serasi. Saya memberi contoh: cat eksterior pesawat-pesawat SIA yang belum semua kuningnya diganti warna emas. MAS pun belum selesai mengganti cat luar pesawat-pesawatnya, dengan lambang dan logonya yang baru. Saya hanya tiba-tiba kehilangan jawaban, ketika di Bandara Soekarno-Hatta ternyata ada pesawat Garuda Indonesia yang dicat baru, tapi sama sekali berbeda dengan yang baru lainnya. Yang ini memakai setrip dua nada biru di sekujur badannya, dan sirip tegaknya berwarna putih, bukan biru. Sepanjang penerbangan pendek itu, saya mengamati seragam baru para awak kabin Garuda Indonesia. Pramugaranya juga tampil gagah. Kancing jasnya yang logam polos mungkin suatu waktu akan diganti kancing yang lebih bagus, dengan lambang Garuda Indonesia. Tetapi, ah ya, ada yang masih kurang pada seragam itu. Senyum! Garuda Indonesia mestinya membagi juga paket senyum instant, dalam jatah seragam baru yang dibagikan itu. Kalau tidak ada yang kalengan atau botolan, mungkin ada paket senyum yang bisa ditularkan. Maklum, di antara semua yang menular, senyum adalah yang paling tidak berbahaya. Ir. Cacuk Sudarijanto, ketika baru saja dilantik menjadi Direktur Utama Perumtel, langsung saja melancarkan kampanye "Operasi Senyum". Rupanya, Cacuk menyadari, karyawan Perumtel saat itu lebih banyak yang mukanya mengandung cuka. Tidak jelas apakah "Operasi Senyum" sudah berhasil memperbaiki citra Perumtel, tetapi jelaslah bahwa langkah awal itu bukan sekadar gimmick. Senyum lebih kongkret daripada semboyan-semboyan besar tentang pelayanan. Dan the power of senyum belum kita manaatkan secara penuh. Garuda Indonesia kini punya banyak alasan untuk tersenyum. Di bawah kemudi M. Soeparno, Garuda Indonesia telah melakukan perestroika alias restrukturisasi dalam anggarannya, sehingga menampakkan keuntungan Rp 100 milyar. Ini tak pelak lagi akan menjadi motivasi yang besar bagi setiap orang yang menyandang lambang Garuda Indonesia. Bekerja pada perusahaan besar yang untung, memberikan rasa percaya diri bagi para karyawannya. Kenyataan bahwa penerbang-penerbang Garuda Indonesia dikontrak oleh Korean Air Lines juga satu kebanggaan yang harus membesarkan jiwa dan keyakinan para karyawannya. Tetapi mengapa langkah-langkah mantap yang dilakukan M. Soeparno itu seperti tak tampak bekasnya pada front terdepan Garuda Indonesia? Pada suatu hari bulan lalu, penerbangan Garuda pukul 20.30 ke Eropa terlamba diberangkatkan. Hingga tepat pukul 20.30, belum juga ada pengumuman tentang pemberangkatan. Penumpang resah. Setiap orang menanyakan hal pemberangkatan. Tak ada jawaban resmi yang bisa melegakan penumpang yang menunggu. Padahal, pukul 20.45 datang petugas-petugas membagikan minuman dan snack. Lima menit setelah saya mendesak agar mereka membuat pengumuman resmi tentang penundaan keberangkatan, barulah maklumat itu diumumkan. Itu bukan hal kecil yang bisa diremehkan. Pada kasus keterlambatan itu, Garuda Indonesia telah menunjukkan concern-nya dengan memberikan minuman dan makanan ringan. Tetapi ada hal yang lebih dahulu harus dilakukan, yaitu: pengumuman penundaan keberangkatan itu, sambil menyampaikan maaf. Saya yakin, ada SOP (Standard Operating Procedure) untuk itu, tapi dianggap enteng oleh karyawan yang bertugas. Keteledoran-keteledoran semacam itu bagaikan cacat yang tidak bisa disembunyikan, kendati Garuda Indonesia sudah berusaha keras. Sejak tahun lalu, misalnya, di Bandara Soekarno-Hatta ditempatkan petugas-petugas khusus yang mengantarkan penumpang ke pesawat. Tak banyak pemakai jasa Garuda yang menyadari kehadiran mereka, karena memang peran mereka dalam memberi layanan kurang menonjol. Harus diakui bahwa ada semacam kompleks pada banyak insan Indonesia yang terdidik, untuk bekerja di sektor pelayanan. Mereka menganggap melayani adalah pekerjaan rendah. Dan itu mereka tampilkan dalam ekspresi dan sikap yang tidak kondusif bagi industri jasa pengibar bendera kita. Bila ada penumpang minta kopi, pramugari menjawab, "Entar." Padahal, ada jawaban lain yang lebih manis dan hangat. Mengherankan, memang, bangsa yang terkenal ramah-tamah ini masih harus belajar tersenyum dan belajar menyenangkan orang lain. Ekonomi kita kan tidak hanya ditopang oleh sektor industri manufaktur, tapi juga oleh industri jasa, yang banyak mengandalkan senyum. Bondan Winarno
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini