Acara, ulang tahun perkumpulan pencinta kebudayaan. Tempat, di
suatu gedung mentereng di Jakarta. Hadir para anggota, umumnya
dari kalangan paling atas dan seorang tamu kehormatan.
Ketua perkumpulan menyampaikan pidato.
Saudara-saudara sekalian, good evening!
DALAM acara malam ini kita memperoleh kehormatan, dengan
kehadiran guest of honour, Bapak. Tidak perlu saya jelaskan lagi
jasa beliau dalam memelihara warisan kebudayaan nenek moyang.
Sesuai dengan rencana, secara speciaal sore ini kita ambil acara
appreciatie keris. Sebagai anggota associatie pencinta budaya,
saya yakin U sekalian faham de philosofie van deze Tosan Aji.
Yha, keris, seperti U tahu adalah simbul keluhuran status bangsa
kita. Functie keris sebagai senjata hendaknya tidak dikaburkan
dengan functie keris dalam tata hidup leluhur kita. Menurut saya
curigo atau keris, bisa dianggap identiek dengan taraf budaya
bangsa. Keris berperan sebagai salah satu di antara elementen
dari wisma, wanita, kukila (burung), dan turangga (kuda),
sebagai simbol dan idaman nenek moyang kita dalam membina rumah
tangga yang harmonisch. Keris adalah juga sebagai simbol status
dari pemiliknya. Tiap kali ada perkawinan anak pejabat, Jawa
khususnya, para tamu dan keluarga temanten mengenakan pakaian
adat. Sudah tentu keris tak ketinggalan. Walaupun harus menyewa
dari Panti Busana. Wij musti mulai menoleh pada identitas
sendiri. Tuan dan Nyonya yang sadar mulai sekali-sekali
mengenakan sinjang batik, belajar memilih dan mengenakan keris,
semuanya untuk mencerminkan status sosialnya.
Saudara-saudara sekalian,
Tetapi kini keris sudah menjadi buronan pedagang barang antiek.
Mereka membelinya dengan harga yang fantastisch. Apalagi kalau
si empunya bisa menempelkan label empu terkenal, Supo atau dapur
Nogososro. Sementara pasaran ramai, produksi nihil. Siapa musti
mengisi deze kekosongan? Ada sinjalement para pengagum keris,
bahwa seni pandai keris kita telah memudar. Karena kemajuan
technologie, kerja empu yang menandai keris dengan sidik jari
atau akeban bibir menjadi tidak relevant lagi.
Namun rasa cemas yang berbatasan dengan nostalgia itu akan
berobah menjadi harapan. Inilah hasil penemuan conectie kita
melalui associatie.
Di sebuah desa sepi, Jitar namanya, Kecamatan Mayudan, sebelah
barat Yogyakarta, dua orang kakak beradik bertahan meneruskan
proffessie van orang tuanya, pandai keris. Seorang dari
buitenland, Mynheer D, telah menemukan mereka. Mynheer D
memberikan bahan nikkel, besi dan baja dan upah mengerjakan
sebilah keris. Untuk menjajagi apakah kemampuan sang pandai
masih memadai, Mynheer D pun sering datang ke Museum
Radyapustaka di Sala.
Pertama-tama, besi, baja dan nikkel yang ditempa di Jitar selalu
pecah. Baru pada akhir tahun 1974 setelah hampir setahun
mencoba-coba di besalen (bengkel keris) Ki Yosopangarso deze
mynheer D memperlihatkan hatsil usahanya kepada Kangjeng Raden
Tumenggung Harjonagoro, ketua Museum Radyapustaka. Keris
berpamor itu ternyata dinilai bagus sekali!
Dear friends, (kini sang ketua menoleh ke anggota yang
bulebule). Terangsang oleh karya itu, museum Radyapustaka
berusaha mencari dana guna menghidupkan dan melestarikan seni
pandai keris ini. Sementara menanti persetujuan Ford Foundation,
datanglah sebuah permntonan dari seorang mahasiswa University
of Hawaii di Honolulu. Kiranya Radyapustaka bersedia membantu
mensponsori tulisan ilmiahnya di bidang perkerisan. Ini Mr. G.
dari Hawaii sudah dikenal betul oleh kalangan Boworoso Tosan
Aji, perkumpulan penggemar keris di Sala. Enam bulan Mr. G.
belajar dan berlatih dalam menempa keris berpamor di Jitar.
Dalam bulan Maret atau April 1977 keluarlah dari besalen yang
primitief milik Ki Yosopangarso tadi, sebilah keris berpamor,
berdapur tilam sari.
Dalam pada itu Ford Foundation memberi persetujuan bantuan dana.
Untuk membuat sebuah besalen yang representatief dan mendidik
cantrik baru untuk practicum di situ.
Pada bulan Juni 1977 sebilah keris dapur Jalak Sangu Tumpeng
berhasil diselesaikan di Desa Jitar. Setelah diberi warongko
oleh Raden Ngabei Probowir.ongko, mendak bikinan Demang Supo,
pendok oleh Ngabei Nyotopendoko, jejeran dan ukiran dikerjakan
di Desa Jejerpangukir di lereng Gunung Merapi, keseluruhannya
dilaras oleh Tumenggung Hardjopanglaras, maka keris ini siap
dipersembahkan kepada guest hounor kita malam ini Bapak sebagai
penghargaan associate atas jasa-jasa beliau.
Tepuk tangan setempak, panjang, teratur dan sangat sopan. Maka
pelayan pun serempak menyerbu dengan mengedarkan minuman dan
coktail kembali. Hadirin mulai bergerak menyebar, menggeser diri
dari kelompok satu ke kelompok yang lain. Beberapa masih memuji
dan mengagumi keris dengan penuh basa-basi.
Di Desa Jitar, para pandai keris sore itu sudah lama meringkuk
di bale bambu masing-masing. Dengus nafas tidurnya penuh irama
kecapekan. Seorang di antara mereka sedang bermimpi. Besalen
mereka ketumpahan sop jamur beremberember. Perapiannya yang
membara membakar hangus gumpalan daging berkilo-kilo, menyebar
bau yang menusuk. Segala macam saus bercampur dalam adonan
warangan yang ia siapkan hati-hati. Kendinya di pojok yang biasa
ia minum di kala kehausan, pecah, menumpahkan cairan berbusa
membanjiri lantai. Baunya merangsang tetapi pasti ia tak bisa
meminumnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini