Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ketua Mahkamah Agung, Bagir Manan, akhirnya memutuskan mengganti majelis hakim kasasi yang menangani kasus Probosutedjo. Jumlahnya pun ditambah, dari tiga menjadi lima. Merekalah yang akan memeriksa kembali kasus Probo dari awal, apakah pengusaha ini akan masuk penjara atau bebas. Probo dihukum empat tahun penjara di pengadilan negeri karena kasus korupsi reboisasi hutan industri. Di pengadilan tinggi, hukuman berkurang menjadi dua tahun.
Ketika dugaan suap di MA dapat diungkap oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Bagir Manan berkeras tak akan merombak susunan majelis hakim yang diketuainya dan beranggotakan Parman Soeparman dan Usman Karim. Menurut Bagir, tak ada satu alasan pun untuk mengganti susunan hakim itu, karena tak ada bukti para anggota majelis hakim disuap.
Putusan mengganti majelis hakim diambil setelah KPK menggeledah ruang kerja ketiga hakim agung itu pada 27 Oktober lalu. Tak hanya mengubek-ubek dokumen, penyidik KPK juga memfotokopi ketiga pendapat hakim (adviesblad) atas kasus Probo yang sesungguhnya bersifat rahasia.
Tindakan KPK ini mengundang reaksi keras. Ketua Ikatan Hakim Indonesia, Abdul Kadir Mappong, menyebutkan KPK melanggar Pasal 33 KUHAP. Menurut Abdul Kadir, untuk tindakan seperti itu, harus ada izin dari ketua pengadilan negeri.
KPK juga dinilai melanggar Pasal 19 ayat 3 dan ayat 4 Undang-Undang No. 4/2004 tentang Kekuasaan Kehakiman. Menurut ayat 3, ”Rapat permusyawaratan hakim bersifat rahasia.” Adapun ayat 4 menyatakan pendapat hakim yang dinyatakan dalam rapat permusyawaratan itu adalah bagian tak terpisahkan dari putusan hakim.
Di sinilah pro-kontra itu muncul. KPK berkeras menyatakan tindakan mereka tak salah. Apalagi, sebelumnya Bagir Manan berkali-kali menyatakan membuka pintu lebar-lebar bagi KPK untuk memeriksa MA dalam kasus suap Probosutedjo, termasuk memeriksa hakim agung yang dicurigai menerima suap. Masalahnya, apakah dalam memeriksa hakim agung itu perlu menyita pendapat hakim yang masih bersifat rahasia, karena belum menjadi keputusan majelis.
KPK memang mempunyai kekuasaan besar untuk memeriksa dan menyidik siapa pun yang diindikasikan melakukan atau terlibat korupsi. Pasal 11 Undang-Undang KPK (UU No. 30/2002) memberi wewenang kepada KPK melakukan penyelidikan terhadap aparat hukum atau penyelenggara negara yang diduga terlibat tindak pidana korupsi. Mahkamah Agung adalah ”gudang” aparat hukum sekaligus bagian dari penyelenggara negara.
Persoalannya tentu pada adviesblad yang disita itu. Barangkali KPK ingin menyelidiki adakah tercium skandal di sana. Sepanjang dokumen itu tak dipublikasikan dan hanya dipakai KPK untuk kepentingan penyidikan, tentu tak ada yang salah dalam hal ini. Namun, KPK juga harus arif bahwa dokumen ini belum dimusyawarahkan, dalam arti bisa saja berubah setelah ketiga hakim agung bermusyawarah. Jadi, pendapat hakim itu sebenarnya bukan sesuatu yang final.
Adapun penggeledahan itu sendiri memang harus dilakukan KPK. Bahkan banyak orang menilai KPK terlambat—pelaku dugaan suap sudah ditangkap jauh-jauh hari, penggeledahan baru dilakukan. Apalagi masyarakat sudah lama diresahkan oleh adanya mafia peradilan dan apa yang disebut ”jual-beli perkara” di MA.
Masyarakat menaruh harapan besar pada langkah KPK ini. Memberantas korupsi memang tidak bisa setengah hati. Perlu keberanian mengambil tindakan menyerempet bahaya, vivere pericolose.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo