Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Inflasi bulan Oktober saja 8,7 persen dan dalam sepuluh bulan tahun 2005 mencapai 15,65 persen. Tidak pernah ada orang yang sengaja merencanakan atau menyukai inflasi yang tinggi, kecuali jika akalnya sudah tak berada di tempat yang benar. Itu akan sama artinya dengan mengikis nilai kekayaan dan mengurangi penghasilan nyata. Memang inflasi tak selalu bisa dihindari, bahkan pada tingkat tertentu terpaksa diterima sebagai biaya peningkatan kegiatan ekonomi, misalnya, dan mencegah menciutnya kesempatan kerja.
Yang penting ialah agar inflasi selalu dalam batas yang bisa diperkirakan sebelumnya dan dijaga di tingkat yang rendah. Tugas itu adalah tanggung jawab pemerintah bersama otoritas moneter, seperti Bank Indonesia. Kalau tiba-tiba inflasi melonjak di luar perhitungan, maka ada yang kurang beres dalam melaksanakan tugasnya. Dengan mengagetkan, dua hari sebelum Lebaran, Badan Pusat Statistik (BPS) mengumumkan angka inflasi yang tertinggi sejak pulih dari krisis keuangan enam tahun lalu. Rekor yang tidak membanggakan kalau bukan memalukan pemerintah sekarang ini.
Kebijakan pemerintah yang salah, atau pelaksanaan kebijakannya yang tidak becus. Rasanya, masalah lebih terletak pada manajemen pelaksanaan. Inflasi kali ini dipicu oleh kenaikan harga BBM yang tinggi. Ditambah lagi faktor hari raya yang mempengaruhi kenaikan harga umumnya. Kenaikan harga BBM adalah akibat perlunya mengurangi subsidi yang membebani anggaran negara, yang tak mungkin dihindari lagi. Tapi pelaksanaan keputusan yang ditunda-tunda, rencana besarnya kenaikan yang berubah-ubah, simpang-siurnya pernyataan pejabat pemerintah, beruntun-runtun membuahkan ekspektasi yang negatif efeknya bagi tingkat inflasi.
Kalau ada kesalahan, tentu ada yang bersalah atau harus disalahkan. Semua sudah maklum apa akibat inflasi pada distorsi harga, daya beli yang melemah, potensi kredit macet, turunnya pertumbuhan ekonomi, meningkatnya pengangguran. Yang bersalah harus bertanggung jawab. Tidak cukup hanya menyatakan bahwa inflasi tinggi ini hanya bersifat satu kali terjadi, lalu akan normal kembali, malahan akan terjadi deflasi pada satu-dua bulan mendatang. Kemungkinan itu bukan tidak ada, tapi bagaimana kalau prediksi tadi meleset lagi? Keliru membuat perhitungan, memberi gambaran sembarangan, juga merupakan kesalahan serius.
Sudah sejak semula pemerintah harus memperhitungkan dampak kenaikan harga BBM dan hari raya Lebaran—yang bukan timbul sekonyong-konyong—bagi tingkat inflasi. Ketika Bank Indonesia pada akhir Oktober membuat proyeksi inflasi 2005 mencapai 14 persen, dengan inflasi bulan Oktober saja 5 persen, Menko Ekuin Aburizal Bakrie menyanggah dengan respons yang hampir kategoris bahwa ramalan itu terlalu pesimistis. Pemerintah, katanya, memperkirakan inflasi 2005 hanya 12 persen.
Ternyata itu meleset jauh, karena hasil survei indeks harga konsumen BPS untuk sepuluh bulan saja telah menunjukkan inflasi 15,65 persen. Sekarang Aburizal berkata bahwa inflasi 2005 akan mencapai 17 persen. Apakah itu berdasarkan perhitungan dengan cara yang sama seperti dipakai staf ahli ekonominya ketika memperkirakan inflasi 12 persen dulu? Bagaimana kalau ternyata mencapai 18 persen atau lebih seperti diperkirakan cukup banyak pihak lainnya?
Tidak berlebihan kalau diharapkan Menko Ekuin mau memikul konsekuensi sikap dan pernyataannya. Sepantasnya—mengingat harga diri dan untuk memberi teladan sosial—bila Aburizal mengakui kegagalan dengan mengundurkan diri dari jabatannya. Atau, bila reshuffle memang jadi dilakukan Presiden SBY, dia jadi prioritas pertama untuk dicarikan gantinya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo