Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Pemerintah menerapkan syarat tes PCR bagi penumpang pesawat.
Ada kepentingan bisnis di balik tes PCR.
Inkonsistensi kebijakan penanganan pandemi.
KEPUTUSAN pemerintah yang mewajibkan tes reaksi berantai polimerase atau PCR untuk penumpang pesawat terbang di Jawa dan Bali mengandung sejumlah kekeliruan. Tak hanya mengandung konflik kepentingan, peraturan itu juga mengindikasikan kebijakan penanganan pandemi yang setengah hati dan tidak berorientasi pada kemaslahatan khalayak ramai.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pangkal soalnya adalah Instruksi Menteri Dalam Negeri Nomor 53 Tahun 2021 tentang Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat Level 3, Level 2, dan Level 1 Covid-19 di Wilayah Jawa dan Bali. Dalam keputusan yang diumumkan akhir Oktober itu, penumpang pesawat yang semula cukup berbekal sertifikat dua kali vaksin dan hasil negatif tes antigen kini harus pula lolos tes PCR. Pemerintah berdalih aturan baru ini penting agar pandemi Covid-19 tetap terkendali.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sejak awal pemerintah seharusnya menyadari bahwa pelaksanaan testing yang kredibel, secara masif dan terarah, adalah salah satu kunci penanganan pandemi Covid-19. Apalagi Badan Kesehatan Dunia (WHO) masih merekomendasikan tes PCR sebagai standar tertinggi dalam deteksi virus corona.
Karena itu, urusan pengadaan dan pelaksanaan tes PCR tak boleh sepenuhnya diserahkan kepada swasta. Jika pemerintah menerbitkan regulasi yang memaksa warga mengakses layanan tertentu, sudah seharusnya harga layanan itu dibuat terjangkau, murah, bahkan gratis. Keuntungan tak wajar yang dinikmati pelaku bisnis dari regulasi yang dibuat pejabat jelas berpotensi korupsi.
Apalagi penelusuran majalah ini menemukan nama sejumlah tokoh elite politik dan pengusaha kakap dalam bisnis pengadaan dan pelaksanaan tes PCR. Ada GSI Lab, sebuah kewirausahaan sosial yang disokong antara lain oleh perusahaan milik Menteri Koordinator Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan, konglomerat yang juga kakak Menteri Badan Usaha Milik Negara Boy Thohir, serta Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri Indonesia Arsjad Rasjid. Ada juga Intibios, laboratorium PCR yang digawangi politikus NasDem, Enggartiasto Lukito.
Para pengusaha itu dikenal dekat dengan lingkaran kekuasaan. Keberadaan mereka di bisnis tes PCR membuka potensi konflik kepentingan. Apalagi jika benar total impor alat kesehatan kita didominasi reagen dan alat tes PCR. Harga tes PCR yang pernah mencapai Rp 2 juta per tes, jauh di atas harga pokok produksinya, tentu mengindikasikan pencapaian profit yang di atas rata-rata.
Di seluruh dunia, para pebisnis kesehatan memang untung besar di kala pandemi. Produk mereka dicari orang dan harganya pun terkerek naik. Tak ada yang salah dari praktik bisnis itu, selama tak ada kongkalikong dengan penguasa. Karena itulah setiap regulasi yang berpotensi memberikan keuntungan tak wajar untuk pebisnis di masa pagebluk ini patut dicurigai.
Selain itu, regulasi ini patut dipersoalkan karena amat Jakarta-sentris. Sebagian besar laboratorium yang bisa memproses tes PCR dalam waktu singkat ada di Ibu Kota. Di kota dan kabupaten di luar Jakarta, apalagi di luar Jawa, tak mudah menemukan laboratorium dengan standar serupa. Jelas ada nuansa diskriminatif dari aturan ini. Penumpang yang bepergian ke luar Jawa, misalnya, bisa terkatung-katung menunggu hasil tes PCR-nya yang tak segera terbit.
Instruksi Presiden Joko Widodo untuk menurunkan harga tes PCR sampai Rp 300 ribu dan memperpanjang masa berlakunya menjadi 3 x 24 jam bisa jadi solusi sementara. Namun sesat pikir mendasar dalam kebijakan tes PCR ini lebih penting untuk dikoreksi. Jika pemerintah ingin mencegah gelombang ketiga pandemi Covid-19—yang diprediksi terjadi setelah masa liburan akhir tahun nanti—kuncinya adalah pembatasan mobilitas tanpa terkecuali, bukan kebijakan parsial yang justru lebih menguntungkan pebisnis kesehatan, maskapai penerbangan, atau pengusaha pariwisata.
Makin turunnya angka penularan Covid-19 dalam dua bulan terakhir ini memang patut diapresiasi. Kombinasi gerakan vaksinasi massal dan pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat berhasil menekan laju penyebaran penyakit mematikan ini. Namun pandemi belum berlalu. Jika ingin selamat, penerapan protokol kesehatan harus benar-benar menjadi bagian dari normal baru kita.
Pelajaran dari sejumlah negara tetangga menunjukkan pelonggaran protokol kesehatan, seperti masker yang tak lagi dipakai dan kerumunan yang kembali marak, justru membuat tren penularan Covid-19 melonjak lagi. Dengan kata lain, rumus gas dan rem untuk menyeimbangkan kehidupan bisnis dan kesehatan terbukti salah kaprah. Yang kita butuhkan saat ini adalah tata kehidupan baru, yang memungkinkan manusia hidup berdampingan dengan virus corona.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo