Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Indonesia tak mengubah target menurunkan emisi yang diajukan dalam COP26 di Glasgow.
Menurunkan deforestasi tetap menjadi program utama seraya membiarkan sektor energi melambungkan jumlah emisi.
Kebijakan-kebijakan pemerintah inkonsisten dengan janji menurunkan emisi karbon untuk mencegah krisis iklim.
LEBIH dari 30 ribu delegasi dari hampir 200 negara bertemu di Scottish Event Campus di Glasgow, Skotlandia, pada 31 Oktober-12 November 2021. Mereka akan membahas problem genting dunia hari ini: krisis iklim. Konferensi Iklim Ke-26 atau Conference of the Parties (COP26) ini penting karena, untuk pertama kalinya, komitmen menurunkan emisi karbon seluruh dunia bakal dinilai dan dirundingkan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Janji menurunkan emisi karbon itu tertuang dalam dokumen nationally determined contribution (NDC) yang menjadi mandat pertemuan serupa di Paris pada 2015. Untuk mencegah kenaikan suhu bumi hingga 1,5 derajat Celsius pada 2050—dibanding masa praindustri 1800-1850—dunia harus menurunkan setidaknya 45 persen emisi tahunan sebanyak 51 miliar ton setara CO2, yang hampir separuhnya disumbang energi fosil.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dari 197 negara yang menyepakati Perjanjian Paris 2015, hanya 82 negara yang mengajukan dokumen NDC revisi ke Perserikatan Bangsa-Bangsa. Analisis terhadap semua proposal NDC oleh Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC)—badan ahli PBB yang memantau perubahan iklim—melaporkan komitmen semua negara hanya mencakup sepertiga target penurunan emisi global.
Melihat komitmen serendah itu, IPCC memprediksi puncak krisis iklim bakal tiba sepuluh tahun lebih cepat dari perkiraan 2018, yakni pada 2041. Jika itu terjadi, dunia akan menghadapi pelbagai bencana hidrometeorologi, seperti rob, topan, suhu ekstrem, badai, dan banjir, yang akan merugikan ekonomi serta mengganggu stabilitas politik tiap negara.
Indonesia turut serta dalam komitmen menurunkan emisi karbon itu. Dalam NDC revisi yang disetor ke PBB pada Juli lalu, Indonesia tak mengubah target menurunkan emisi sebanyak 29 persen dengan usaha sendiri dan 41 persen dengan bantuan internasional pada 2030. Prediksi emisi Indonesia pada tahun itu sebanyak 2,869 miliar ton setara CO2.
Fokus utama mitigasi krisis iklim Indonesia adalah mencegah deforestasi seraya membiarkan sektor energi memproduksi emisi 1,35 miliar ton, tiga kali lipat basis emisi 2010. Alih-alih segera berpindah ke sumber energi terbarukan—seperti ekspor listrik tenaga surya dari Batam baru-baru ini—pemerintah malah mempertahankan batu bara sebagai sumber energi dalam negeri, bahkan menggenjot penggunaannya dengan pelbagai insentif melalui Undang-Undang Cipta Kerja.
Di samping tingginya pemakaian batu bara, program lumbung pangan atau food estate adalah kebijakan lain yang bertolak belakang dengan janji menurunkan emisi. Hendak memakai 2,3 juta hektare lahan, food estate akan menambah pelepasan emisi menjadi gas rumah kaca karena sebagian besar areanya berupa kawasan hutan.
Deforestasi dan penggunaan batu bara adalah kombinasi maut yang mendorong krisis iklim sekaligus menunjukkan inkonsistensi pemerintah di hadapan komunitas internasional. Bila inkonsistensi ini kian tersingkap dalam COP26, Indonesia ada kemungkinan sulit mendapatkan bantuan internasional sebesar US$ 100 miliar per tahun yang dibahas dalam konferensi ini. Pemutusan kerja sama dalam mencegah deforestasi adalah tamparan keras betapa kebijakan-kebijakan pemerintah Indonesia tak dipercaya negara lain.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo