Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
BAGI Australia, maaf semestinya bukan kata yang berat diucapkan. Sayang, setelah upaya penyadapannya terbongkar, Perdana Menteri Tony Abbott memilih jalan keluar yang memperumit masalah. Alih-alih meminta maaf, ia hanya mengatakan "penyesalan yang dalam dan tulus atas malu yang dirasakan Presiden Yudhoyono".
Abbott boleh saja membela diri dengan mengatakan kegiatan itu dijalankan semata untuk melindungi negaranya. Bukan cuma Australia, banyak negara—Amerika Serikat, Israel, dan Inggris, untuk menyebut beberapa—melakukan aksi serupa dalam pelbagai kesempatan. Alasan yang umumnya dipakai adalah kepentingan nasional: melindungi diri dari ancaman teroris atau membaca gerak "lawan" dalam negosiasi dagang atau politik. Untuk itulah Konvensi Wina dibuat: kepentingan nasional suatu negara tidak boleh menabrak kepentingan nasional negara lain.
Menyadap percakapan telepon Presiden Yudhoyono, Ibu Negara, serta sejumlah menteri jelas sulit dipahami. Apalagi jika alasannya untuk, misalnya, mengantisipasi terorisme. Sebulan sebelum periode sadap tersebut, bom memang meledak di Hotel JW Marriott, tak jauh dari Kedutaan Australia. Tapi, alih-alih menyadap Presiden—dengan risiko yang tak kecil terhadap hubungan baik kedua negara—Australia semestinya memperkuat kerja sama keamanan kedua negara.
Karena itu, kemarahan akibat operasi spionase terhadap Indonesia bukanlah respons mengada-ada. Presiden Yudhoyono, yang kecewa oleh sikap Abbott, telah memanggil pulang Duta Besar Indonesia untuk Australia. Ini masih ditambah dengan pembekuan kerja sama militer, yang meliputi operasi menangkal penyelundupan imigran gelap, latihan militer gabungan, dan pertukaran data intelijen. Kemesraan kedua negara sebelumnya terganggu akibat niat Australia mengembalikan imigran gelap yang memasuki negara itu ke Indonesia.
Hubungan buruk itu semestinya segera diakhiri. Mempertahankan permusuhan hanya menghabiskan energi. Dilihat dari sudut mana pun, jauh lebih bagus mencurahkan tenaga untuk meningkatkan kerja sama kedua negara ketimbang mengatur strategi untuk saling menyakiti. Indonesia membutuhkan Australia—misalnya dalam pengadaan sapi dan kerja sama pertahanan—dan Australia membutuhkan Indonesia sebagai mitra dalam menghalau imigran gelap dan mengantisipasi terorisme. Tanpa itu semua, kedua negara akan kehilangan tetangga dekat yang semestinya bisa saling menolong.
Tak ada pilihan bagi Abbott selain mencontoh Presiden Amerika Serikat Barack Obama. Segera setelah timbul kegaduhan akibat pemberitaan bahwa selama sepuluh tahun lebih Amerika menyadap telepon Kanselir Jerman Angela Merkel, Obama secara khusus meminta maaf dalam komunikasi pribadinya dengan Merkel. Dia mengatakan penyadapan itu sudah tak terjadi dan tak akan terulang lagi.
Abbott sebetulnya tak punya beban untuk berkilah: penyadapan dilakukan jauh sebelum ia memimpin negara kanguru itu. Liputan media menyebutkan masyarakat Australia ingin Abbott minta maaf. Permintaan maaf kepada Indonesia sebetulnya merupakan solusi "manis": memperbaiki hubungan kedua negara seraya merangkul publik Australia untuk mendukung sang perdana menteri baru.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo