Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendidikan

Bila Terumbu Karang Masuk Kurikulum

Pelajaran muatan lokal di Kepulauan Seribu berdasarkan masalah keseharian. Contoh kurikulum yang menyenangkan dan manfaatnya segera terlihat.

24 Maret 2008 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bel tanda pulang sekolah belum lagi berbunyi. Tapi lihatlah, 30 siswa kelas enam SD Negeri 02 Pulau Kelapa di Kepulauan Seribu itu sudah berhamburan menuju pantai, yang hanya seratus meter dari ruang kelas mereka. Sepuluh orang di antaranya membuka seragam dan masuk ke laut hingga seluruh kakinya terendam. Teriakan riang terdengar di sela deru ombak Laut Jawa.

Mereka mengambil rangkaian pipa paralon berbentuk seperti meja dari dasar laut. Di atasnya terdapat anyaman kawat dengan sejumlah terumbu karang. Sebuah rumpon, tempat tumbuh terumbu karang. Ya, pada Rabu siang pekan lalu anak-anak sekolah dasar itu tidak lagi iseng mengisi waktu karena gurunya rapat. Mereka sedang mempraktekkan mata pelajaran lingkungan, yang pada semester ini membahas terumbu karang.

”Ini adalah hasil pembiakan karang yang dilakukan dari minggu kemarin,” kata Mukhlis, 34 tahun, guru kelas enam A, yang mendampingi muridnya sampai ke pinggir laut.

Kegiatan belajar mengenal lingkungan laut sambil bermain ini ada di semua SD negeri di wilayah Kabupaten Kepulauan Seribu, DKI Jakarta. Kurikulum dan bahan pelajaran ini memang dibuat khusus untuk mereka dan menjadi muatan lokal dalam pendidikan lingkungan dan kebudayaan Jakarta.

Penyusunan buku pelajaran ini diawali dengan kegiatan sejumlah anggota Kelompok Indonesia Hijau (KIH), Jakarta, di Kepulauan Seribu, pada 1997. Mereka menggelar kegiatan setiap hari Minggu untuk murid-murid kelas lima dan enam agar lebih memahami dan mencintai lingkungan.

Semula, aktivitas ini digagas sebagai jawaban atas kondisi lingkungan yang terus memburuk di kawasan Kepulauan Seribu. Serbuan sampah dari Jakarta tidak henti-hentinya. Warga juga turut andil memperparah kerusakan lingkungan dengan menebang pohon bakau dan merusak terumbu karang karena menggunakan bom untuk mencari ikan.

Murid kelas lima dan enam dijadikan sasaran karena penyadaran sejak dini dianggap sangat efektif untuk menghentikan kebiasaan buruk ini. Sejumlah guru merasa tertarik dan ingin dilibatkan dalam kegiatan. Oleh KIH, para pendidik ini diajak menyusun modul. Setelah berkutat hampir lima tahun, akhirnya lahir lima materi, di antaranya tentang sampah, pohon bakau, terumbu karang, dan penyusupan air laut. Bahan ini disesuaikan dengan kondisi di wilayah utara Jakarta itu.

Menurut N.M. Rulliandy, koordinator KIH, timnya sempat kesulitan mencari sponsor. ”Umumnya orang mau membantu pendidikan dengan memberikan beasiswa atau membangun gedung sekolah. Padahal masalah pendidikan kita yang paling berat kan kurikulum,” katanya. Bantuan akhirnya datang dari LSM Kehati (Keanekaragaman Hayati), Coca-Cola, dan Ford Foundation. Langkah para guru dan anggota KIH makin mantap dengan munculnya dukungan pemerintah, yang menjadikannya kurikulum resmi untuk murid kelas lima dan enam di Kepulauan Seribu sejak 2007.

Sayang, belum semua sekolah mengaplikasikannya. Penyebab utama adalah soal dana. Masalah serupa sebenarnya juga dialami oleh SDN 02 Pulau Kelapa, tapi mereka maju terus. ”Karena ada bantuan dari pemerintah dan dukungan orang tua,” kata Solikin, Kepala SDN 02 Pulau Kelapa.

Materi yang unik ini tidak dirasakan sebagai beban oleh sejumlah guru. Selain terlibat menyusunnya, bahan yang diajarkan adalah masalah sehari-hari mereka. ”Ini kan lingkungan sekitar kami juga, jadi kami sudah mengetahui apa itu mangrove atau terumbu karang,” ujar Nurul Huda, guru SD 02 Pulau Kelapa.

Materi pelajaran memang dipilih hal-hal yang menjadi keseharian warga dan sangat penting bagi lingkungan Kepulauan Seribu. Soal lingkungan yang jarang mereka rasakan, misalnya pencemaran udara akibat asap kendaraan, tak dibahas.

Selain membumi, bahan pelajaran ini juga disajikan secara menarik. Buku tentang terumbu karang, misalnya, berisi cerita tentang petualangan lima anak di Tanjung Kelapa. Di sana mereka bertemu penyu, yang kemudian mengajak mereka ke tempat asalnya di Kampung Terumbu Karang. Dari sini, pesan tentang apa itu terumbu karang, manfaat, dan bahayanya bila rusak, dibahas.

Pada buku tentang manfaat bakau, pelajaran dibuka dengan mengajak murid mengamati bagian-bagian dari pohon penahan gelombang laut itu, lalu mendiskusikannya. Buku ini ditutup dengan cara mengembangbiakkan bakau.

Semua buku Kepulauan Seribu ini dilengkapi gambar-gambar kartun lucu, permainan, dan arti beberapa istilah penting seperti kompas, tanjung, atau teluk. Setiap materi dijelaskan secara ringkas, sehingga halaman didominasi gambar. Bahkan pada buku Penyusupan Air Laut, materi seluruhnya disajikan dalam bentuk komik 18 halaman.

Teori yang diberikan diimbangi dengan praktek di lapangan. Murid SD Pulau Kelapa itu, sebelum diizinkan mencebur ke laut, mendapat materi di dalam kelas. Pelajaran diberikan dengan menggunakan slide dari program Powerpoint di laptop pak guru.

Pelajaran sengaja diberikan pada akhir jam sekolah, karena harus praktek di pantai, hutan bakau, atau kampung sekitar. Seperti siang itu, murid-murid sedang terlihat sibuk belajar pengembangbiakan terumbu karang. Mereka terlihat terampil memotong karang untuk kemudian ditanam ke dalam lingkaran yang berada di meja pipa paralon tadi.

Lain lagi pelajaran yang diberikan kepada murid kelas enam B. Untuk mengetahui intrusi air laut, mereka berkeliling di sekitar sekolah guna mewawancarai warga tentang air sumur di rumah masing-masing. Tidak hanya bertanya, mereka juga mencicipi rasa air itu. Anak-anak ini rupanya sedang meneliti pengaruh pepohonan bakau terhadap penyusupan air laut ke darat. Setelah survei kecil-kecilan itu, mereka mempresentasikan dan mendiskusikannya di kelas.

Suasana kelas riuh-rendah. Masing-masing kelompok memberikan argumen, kenapa air sumur warga di daerah yang pantainya tidak memiliki bakau dan tanaman terasa asin. ”Saya jadi tahu bahwa air hujan lebih banyak diserap oleh tanah yang banyak pepohonan. Jadi, kalau nggak ada pepohonan, air tawar jadi sedikit dan akan lebih banyak air laut,” kata Dian Putri Nitami, 12 tahun, murid kelas enam yang baru mempresentasikan temuan kelompoknya.

Pelajaran lingkungan ini sangat ditunggu para murid. ”Asyik, karena bisa sambil bermain dan berenang,” kata Mahfud Alfaridh, yang memilih jadi relawan untuk mencebur ke laut mengambil hasil percobaan penanaman terumbu karang.

Sebagai anak pantai, mereka telah mengenal semua materi yang diberikan dalam pelajaran. Tapi, dari pelajaran ini, mereka mendapat pengetahuan baru, dan ini membuat anak-anak bersemangat. ”Bagi mereka, asalkan bisa bermain dan bersenang-senang. Tapi saya rasa bermain juga bagian dari proses belajar,” ujar Mukhlis. Karena itu, pelajaran ini diberikan pada akhir jam sekolah. Jadi mereka bisa sekaligus basah-basahan dan langsung pulang.

Nyatanya, para murid tidak sekadar menikmati permainan. Ada perubahan sikap setelah mengikuti pelajaran lingkungan ini. ”Mereka jadi lebih peduli, misalnya dalam membuang sampah. Tapi mereka belum punya keberanian untuk menegur orang lain, misalnya ketika ada orang yang merusak mangrove,” kata Bu Guru Nurul Huda.

Kisah sukses di Kepulauan Seribu ini patut ditiru: bagaimana menghasilkan bahan pelajaran yang membumi, menyenangkan, bisa dipraktekkan dengan mudah, dan manfaatnya langsung terasa.

Yudono Yanuar, Bayu Galih (Kepulauan Seribu)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus