Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Sistem keamanan penjara rapuh atau sengaja dibuat rapuh sehingga tahanan gampang kabur.
Selain korupsi, sistem keamanan penjara menjadi rapuh karena penghuni melebihi kapasitas.
Pengguna narkoba tak perlu masuk penjara, namun cukup rehabilitasi karena itu yang mereka perlukan.
KABURNYA tujuh tahanan dari Rumah Tahanan Negara Salemba, Jakarta Pusat, bukan berita mengagetkan di tengah amburadulnya penjara kita. Tahanan yang melarikan diri hanya satu dari sederet kekisruhan di penjara, dari kerusuhan di dalam lembaga pemasyarakatan, pungutan liar oleh sipir, hingga peredaran narkotik yang dikendalikan dari balik jeruji.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pemerintah tak pernah sungguh-sungguh memperbaiki tata kelola penjara sehingga kejadian tahanan kabur atau kekacauan serupa di bui terus berulang. Dalam catatan Tempo, setidaknya ada 11 huru-hara dan peristiwa tahanan yang melarikan diri dalam lima tahun terakhir, termasuk di Salemba. Yang terparah adalah kaburnya 53 narapidana dari Lembaga Pemasyarakatan Sorong, Papua Barat Daya, pada Januari 2024. Sesaat sebelumnya, puluhan narapidana itu membuat kerusuhan dengan mengancam penjaga dan melemparkan petasan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Salah satu akar persoalan kusutnya tata kelola penjara kita adalah kelebihan penghuni. Data Kementerian Imigrasi dan Pemasyarakatan pada 2024 menunjukkan jumlah tahanan dan narapidana lebih dari 270 ribu orang, sementara kapasitas penjara hanya sekitar 145 ribu orang. Kelebihan penghuni menyebabkan kondisi psikologis narapidana kacau. Akibatnya, mereka mudah tersulut emosi dan memicu konflik, nekat kabur, serta berbuat onar.
Kelebihan penghuni penjara disebabkan oleh paradigma penegak hukum yang masih berorientasi pada pemenjaraan dalam menangani kasus. Mereka punya persepsi bahwa keberhasilan penanganan sebuah kasus diukur dari kemampuan menjebloskan pelaku ke sel tahanan.
Karena itu, penegak hukum mengabaikan fakta bahwa ada upaya lain untuk memperbaiki pelaku. Contohnya pengguna narkotik yang lebih baik dibawa ke pusat rehabilitasi ketimbang diterungku. Narapidana dan tahanan narkotik menjadi penyebab penjara sesak lantaran jumlahnya lebih dari 120 ribu orang atau hampir separuh dari total penghuni penjara di seluruh Indonesia.
Orientasi pemenjaraan ini juga belum tentu sukses memotong rantai kejahatan. Dikurung di sel, pelaku kejahatan awalnya diharapkan memperbaiki diri dan merasa kapok. Makin lama hukuman yang diberikan, efek jera yang dirasakan pelaku dianggap makin besar. Kenyataannya, penjara yang semestinya menjadi tempat pembinaan justru menjadi arena berlatih menjadi penjahat kelas kakap. Dalam banyak kasus narkotik, seseorang yang awalnya masuk sebagai pemadat lantas ikut mengendalikan jaringan bisnis narkotik karena bergaul dengan bandar.
Perubahan orientasi pemidanaan yang selama ini cenderung mengirim orang ke sel mesti dilakukan untuk membereskan centang perenang kondisi penjara. Penegak hukum dan lembaga peradilan jangan terlalu mudah mengirimkan pelaku kejahatan ringan serta pencandu ke penjara. Mereka harus berani merekomendasikan pengguna narkotik menjalani rehabilitasi atau menjatuhkan hukuman kerja sosial dalam kasus tindak pidana ringan.
Kesemrawutan tata kelola penjara yang dibiarkan tanpa perbaikan sama saja membuka kemungkinan terulangnya insiden serupa. Kerusuhan di dalam penjara atau cerita tahanan kabur hanya tinggal menunggu waktu.