Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SISTEM proporsional terbuka atau tertutup bukan persoalan asalkan partai politik tak dikuasai elite, pola penjaringan dan kaderisasi diperkuat, serta penyelenggaraan pemilihan umum bisa bebas dari politik uang. Namun problem akut demokrasi Indonesia yang masih diselimuti klientelisme, kartel, dan politik uang membuat sistem proporsional terbuka lebih transparan dan akuntabel pada saat ini.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Mahkamah Konstitusi sedang menyidangkan uji materi Pasal 168 Undang-Undang Pemilihan Umum yang mengatur sistem proporsional terbuka. Para penggugat, di antaranya kader PDI Perjuangan, menilai proporsional terbuka mendorong praktik politik uang dan dimanfaatkan calon anggota legislatif pragmatis yang cuma bermodal popularitas.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Partai politik belakangan ini memakai gugatan sistem proporsional terbuka di Mahkamah Konstitusi sebagai salah satu dalih menunda penyusunan daftar calon anggota legislatif. Alasannya, para calon anggota legislatif memilih menunggu atau mengundurkan diri karena sistem pemilu tak menentu.
Keengganan politikus untuk segera ditetapkan sebagai calon anggota legislatif sangat mungkin berkaitan dengan biaya politik yang tinggi. Para politikus itu menghabiskan hingga miliaran rupiah untuk menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat. Mereka tak mau jorjoran berkampanye lebih awal karena ada peluang sistem pemilu berubah dari mencoblos nama calon menjadi lambang partai saja.
PDI Perjuangan sejauh ini menjadi satu-satunya partai di DPR yang mendukung proporsional tertutup. Partai banteng berdalih proporsional tertutup akan mendorong partai menerapkan kaderisasi dan tak merekrut calon yang sekadar populer. Mereka pun menuding sistem terbuka berpotensi memicu nepotisme.
Argumen PDI Perjuangan itu tampaknya terlihat manis. Kenyataannya, partai ini pun menggaet para pesohor untuk menjadi calon anggota Dewan. Sebut saja penyanyi Krisdayanti dan Harvey Malaiholo yang kini menjadi anggota DPR. Mereka direkrut untuk mendulang suara partai, bukan untuk menjalani kaderisasi. Langkah pragmatis serupa dilakukan semua partai lain, yang kini memiliki kursi di Senayan.
Contoh nepotisme juga ada di PDI Perjuangan karena partai ini membangun dinasti politik. Anggota DPR seperti Puan Maharani, Guruh Sukarno Putra, dan Puti Guntur Soekarno adalah kerabat Ketua Umum Megawati Soekarnoputri. Di level kepala daerah, partai ini mendukung Gibran Rakabuming Raka, putra Presiden Joko Widodo, menjadi Wali Kota Solo dan Hanindhito Himawan, anak Sekretaris Kabinet Pramono Anung, sebagai Bupati Kediri.
Sistem proporsional tertutup pun menguatkan politik uang di partai politik. Para calon anggota legislatif yang dapat terpilih adalah mereka yang dekat dengan petinggi partai serta mampu dan mau membayar sejumlah uang untuk mendapatkan kursi. Di masa lalu, calon anggota legislatif yang memiliki kecenderungan semacam ini dijuluki "kader jenggot" karena menggantung ke atas. Sistem tertutup menjadikan partai sebagai makelar kursi legislatif dan menyuburkan kartel politik hingga ke tingkat lokal.
Proporsional tertutup juga dipastikan mengurangi partisipasi publik. Publik akan punya wakil yang tak mereka kenal karena para anggota Dewan itu adalah pilihan pimpinan partai. Publik juga tak pernah tahu profil, rekam jejak, serta program kerja para calon anggota legislatif.
Baca liputannya:
- Bagaimana Para Caleg Galau Menghadapi Pemilu
- Kuasa Partai di Surat Suara
- Baik-Buruk Mengganti Sistem Pemilu
Dibandingkan dengan proporsional tertutup, sistem proporsional terbuka memang masih punya kelemahan. Di antaranya memunculkan politikus yang didukung kekuatan oligarki, maraknya selebritas pengeruk suara, dan masifnya politik uang menjelang pencoblosan. Namun, dengan segala kekurangannya, sistem terbuka lebih cocok diterapkan dalam situasi saat ini karena lebih transparan. Konstituen setidaknya berkesempatan melacak latar belakang calon wakilnya. Soal politik uang, Badan Pengawas Pemilu dan aparat mesti menindak tegas praktik tersebut.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Artikel ini terbit di edisi cetak dengan judul "Jebakan Pemilu Proporsional Tertutup"