GEBRAKAN liberalisasi sistim sosial ekonomi Cina ternyata
membawa pengaruh yang amat besar terhdap perkembangan negara
tersebut.
Ajaran Mao tidak seluruhnya dicampakkan, tetapi cukup dikaji
kembali saja. Kunjungan pemimpin-pemimpin Cina generasi
sebelumnya ke negara-negara Barat, Timur Tengah dan Asia lainnya
mempengaruhi citra Cina di awal abad ke-21 ini. Ajaran Konghucu
digali kembali untuk mencari kepribadian luhur dan asli bangsa
Cina. Kebesaran dinasti raja-raja Cina jaman dulukala,
dibangkitkan kembali. Hal ini dimaksudkan untuk merangsang
kebanggaan bangsa itu sebagai bangsa besar.
Anehnya, komunisme secara resmi tidak pernah dilepaskan sebagai
falsafah negara. Marx, Lenin dan Mao tetap merupakan
simbul-simbul yang dipidatokan di Lapangan Hijau (d/n Lapangan
Merah). Hanya isi ajaran itu telah disesuaikan. Lembar demi
lembar koran dinding telah menjinakkan komunisme Cina. Kini
kehidupan bisa lebih santai, lebih human dan lebih mengenakkan
gaya hidup. Wiski, tuak, putao tidak lagi dianggap konsumsi
borjuis. Bir dijual di - warung-warung komune dan di kaki lima.
***
Yang mentakjubkan lagi, sejak tahun 1998 di negara tersebut
dibentuk Departemen Agama. Tentu saja, sebagai alat propaganda.
Penghayatan dan pengamalan agama, sudah terlalu lama dilupakan
sebagian besar rakyat Cina. Tetapi Departemen Agama Cina tidak
kurang pekerjaan. Salah satu kerjanya ialah menerbitkan Buku
Biru, suatu kodifikasi Pikiran Mao, dijajarkan dengan ajaran
Konghucu, Injil dan Ayat Suci Al Qur'an. Itu semua dilakukan
untuk membuktikan bahwa ajaran Mao cocok dan ada landasannya di
semua Kitab Suci.
Departemen Agama Cina sebagai pabrik pemanfaatan ayat suci
mengembangkan peranannya secara menggebu-gebu. Di Tiensien
didirikan Majlis Pemanfaatan Ajaran Agama untuk Negara.
Majelis ini meyebarkan bahan dakwah yang digaris kan Polit
Biro. Di Macao didirikan pondok pesantrer pembaharuan. Di
Hainan ada lembaga Alkitab, dan lainlain.
Pemandangan Cina modern kini sudah berobah. Di kotakota seperti
Peking, Shanghai, Nanking dan lain-lain, seragam pekerja masih
dipakai. Dekrit untuk itu tidak pernah dicabut. Hanya gaya dan
seleranya menjadi mutakhir.
Warnapun tidak selalu harus gelap. Boleh mengikuti selera.
Jahitan, jenis bahan dan segala ornamen yang dikenakan
mencerminkan status sosial si pemakai dalam struktur elite
negara itu. Memang, masih ada satu dua yang masih setia memakai
potongan, warna dan bahan lama, seperti dikehendaki dekrit.
Tetapi mereka itu serta merta dituduh anak cucu keturunan
Komplotan Empat.
Balai Rakyat sekarang dipakai untuk arena indoktrinasi diskusi
dan latihan pidato kader-kader politik dan birokrasi Cina.
Doktrin baru yang sekarang berlaku, sebagai penuntun pelaksanaan
komunisme Cina ialah doktrin Tao Pek Kong. Atas doktrin inilah
segala puja dan puji terhadap leluhur dan pemimpin mereka
lampiaskan. Kaderisasi belum bisa beranjak dari kultur dasar
bangsa Cina yang telah tertanam berabadabad. Isinya agitasi,
penuh gaya klise, pura-pura, serta sikap munafik. Tidak satupun
retorikanya cocok dengan kehidupan sehari-hari si pembicara
maupun pemimpin mereka.
Pola konsumsi Cina modernpun bergeser. Barang kemewahan ditemui
di mana-mana. Sampai-sampai Lumpia, Getuk Lindri, Onde-Ondepun
diimpor dari Indonesia. Walaupun di Balai Rakyat masih terus
dipekikkan kepercayaan kepada kemampuan dan kekuatan sendiri.
Dalam hal kelayakan material, pemimpin Cina tahun 2001 bisa
duduk sejajar dengan pemimpin negara manapun. Isteri perdana
menteri memiliki usaha real estate di Taiwan dan Hongkong.
Nyonya wakil menteri industri didesas-desuskan sebagai peserta
aktif dalam spekulasi di bursa modal gelap. Maka tak ayal, ada
kecemasan bangsa Cina abad 21 menjadi bangsa tahu: bangsa yang
cepat busuk bila tidak dicampur formalin (ex impor).
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini