SEMAKIN hari saya semakin yakin perkembangan ekonomi rakyat
suatu negara bukan ditentukan oleh berlimpahnya kekayaan alam
negara itu ditambah dengan investasi fisik yang berlimpah pula.
Tapi lebih banyak ditentukan oleh kwalitas yang tinggi
pengelolaan proses ekonomi negara itu.
Perkembangan ekonomi rakyat di negara seperti Indonesia lebih
banyak ditentukan oleh kesanggupan pengelola sistim sosial untuk
membuat keseluruhan subsistim dalam sistim sosial ini berfungsi
dan berjalan menurut pola yang wajar. Tentu ini harus ditunjang
dengan suatu kebijaksanaan ekonomi dan sosial yang membuat
keseluruhan sektor ekonomi terintegrasi (dalam pengertian
timbulnya interdependensi yang saling menunjang antar sektor
ekonomi dalam negeri dan adanya proses penghilangan unsur
dualistis dalam ekonomi), hubungan sosial yang wajar dan adil
dan struktur sosial yang egalitarian.
Persoalan bahan makanan negeri kita yang baru-baru ini
diungkapkan berbarengan dengan kasus kelaparan terbuka dan
tersembunyi di Jawa merupakan tambahan persoalan. Dan ini tidak
bisa terlepas dari hasil kebijaksanaan ekonomi dan proses
ekonomi yang mengikutinya yang terjadi selama ini di negeri
kita.
Dalam hubungan ini ada baiknya dikemukakan pendapat dari
segolongan ekonomidi negeri kita mengenai swasembada bahan
makanan terutama beras: Bahwa swasembada beras tidak perlu
kita kejar karena lebih baik tanah di luar Jawa dipergunakan
untuk budidaya yang lain yang memberikan hasil uang yang lebih
tinggi (maksudnya di sini tanaman ekspor).
Dengan cara ini menurut pendapat itu, Indonesia meraih manfaat
komparatif (comparative advantage) dan kekurangan beras kita
impor saja kendati pun volume irnpor ini akan bertambah terus.
Pendapat yang bernada seperti ini terakhir dapat dilihat dalam
tulisan Leon Mears (yang diberitakan merupakan konsultan
Indonesia di bidang ekonomi perberasan) berjudul Indonesia's
Fod Problems, Pelita II & III dalam berkala kkonomi dan
Keuangan Indonesia. Juni 1976 terutam yang menyangkut
kebijaksanaan implikasinya. Menanbl produksi perlu tapi tidak
perlu swasembada. Begitu nada tulisan Mears.
Pendapat seperti ini langsung atau tidak akhirnya mempengaruhi
penjurusan investasi hingga akhirnya pertumbuhan sektor bahan
makanan jauh tertinggal dari pertumbuhan sektor lain. Namun
demikian, para ekonomi itu mengemukakan banwa tingkat kenaikan
produksi beras melebihi tingkat pertumbuhan penduduk dan
ditambah dengan beras impor, maka persedian beras per kapita
di Indonesia meningkat. Ini ditunjukkan dengan angka 110 kg
pada tahun 1960 meningkat menjadi 110 kg pada tahun 1975. Tapi
mereka lupa siapa yang menikmati persediaan beras ini.
Berdasarkan data distribusi, pergudangan, inflow dan outflow
beras per daerah, dapat dikatakan pengadaan beras di Indonesia
bersifat Urban-biased yaitu berkonsentrasi di daerah perkotaan
melebihi secara proporsionil kalau dihubungkan dengan proporsi
penduduk kota dan desa di Indonesia. Ini terjadi oleh karena
dua faktor utama:
Di daerah perkotaanlah terletak permintaan efektif terhadap
beras yang lebih tinggi karena adanya daya beli yang relatif
lebih tinggi dibandingkan dengan pedesaan.
Daerah perkotaan merupakan daerah konsentrasi penduduk yang
secara politis lebih peka dan lebih vokal terhadap gejala
kemerosotan. Adalah lebih berbahaya jika Mas Kroposprawiro atau
Jeng Juminten yang punya suara politik di daerah perkotaan
menjadi lapar atau kurang makan dibandingkan dengan laparnya
atau kekurangan makan Mas Susilo atau Mbakyu Wulanpermatasari di
daerah pedesaan yang tidak vokal dalam politik.
Pertemuan ahli agronomi Indonesia yang berakhir barubaru ini
telah mengemukakan resolusi untuk menambah dan mengusahakan
400.000 hektar tanah pertanian di luar Jawa setiap tahun untuk
memungkinkan Indonesia mengatasi persoalan pangan. Tapi dalam
pertemuan agronomi itu, disebutkan adanya dua pendapat mengenai
cocok atau tidaknya tanah pertanian di luar Jawa untuk ditanami
budidaya bahan makanan pokok kita. Pendapat yang pertama
mengatakan, tanah di luar Jawa umumnya tidak cocok untuk tanaman
padi tapi lebih cocok untuk palawija. Pendapat yang kedua tanah
di luar Jawa dapat cocok untuk tanaman padi dan bahan makanan
lainnya asal kita tahu teknologinya dan penerapannya.
Pendapat yang kedua benar. Untuk ini bisa ditelaah hasil riset
tanaman dan tanah pertanian tropis seperti dikemukakan awal
tahun 1975 oleh para teknolog terkemuka di dunia. Bacalah
misalnya S.H. Wittwer Food Production. Technology and The
Resource Base dan P.A. Sanchez dan S.W. Buol Soils of the
Tropics and the World Food Crisis, keduanya dimuat dalam edisi
khusus ilmiah dari American Association For the Advancement of
Science.
Kedua tulisan itu berpendapat bahwa kemungkinan dan batas ilmiah
terbuka luas, baik mengenai jenis tanaman, produktivitas
tanaman, perlindungan tanaman dan mernbuat tanah bisa ditanami
di seluruh gugusan tanah tropis. Kekurangan pangan bukan
disebabkan adanya pembatasan, tapi lebih banyak disebabkan oleh
tidak beresnya pengelolaan ekonomi secara keseluruhan dan
lemahnya pengerahan sumber dan pengaturan lernbaga untuk
mengembangkan sektor pertanian bahan makanan.
Ini adalah masalah strategi dan organisasi. Implikasi ini jelas
berlaku untuk negeri hijau seperti Indonesia. Implikasi
strategisnya ialah menjadikan swasembada bahan makanan rakyat
sebagai prioritas pokok yang didasarkan bukan kepada perhitungan
teknokrasi ekonomi yang kaku tapi didasarkan pada perhitungan
visi politik berjangka jauh yang akhirnya dapat memberikan etek
positif terhadap keseluruhan kehidupan bangsa. Implikasi
organisasinya ialah menjadikan daerah luar Jawa betul-betul
sebagai frontir ekonomi dan memenuhi keperluan frontir ekonomi
ini dengan unsur dinamis secara agresif di luar batasan-batasan
konvensionil, akibat terlampau tertumpunya kita pada financial
capital sebagai satu-satunya alat pembiayaan pembangunan.
Cottingham, akhir 1977.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini