Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Soal pangan & strategi swasembada

Menurut ahli ekonomi, indonesia tak perlu berusaha untuk berswasembada beras. lahan di luar jawa lebih baik ditanami palawija atau tanaman ekspor yang menghasilkan uang banyak.

28 Januari 1978 | 00.00 WIB

Soal pangan & strategi swasembada
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
SEMAKIN hari saya semakin yakin perkembangan ekonomi rakyat suatu negara bukan ditentukan oleh berlimpahnya kekayaan alam negara itu ditambah dengan investasi fisik yang berlimpah pula. Tapi lebih banyak ditentukan oleh kwalitas yang tinggi pengelolaan proses ekonomi negara itu. Perkembangan ekonomi rakyat di negara seperti Indonesia lebih banyak ditentukan oleh kesanggupan pengelola sistim sosial untuk membuat keseluruhan subsistim dalam sistim sosial ini berfungsi dan berjalan menurut pola yang wajar. Tentu ini harus ditunjang dengan suatu kebijaksanaan ekonomi dan sosial yang membuat keseluruhan sektor ekonomi terintegrasi (dalam pengertian timbulnya interdependensi yang saling menunjang antar sektor ekonomi dalam negeri dan adanya proses penghilangan unsur dualistis dalam ekonomi), hubungan sosial yang wajar dan adil dan struktur sosial yang egalitarian. Persoalan bahan makanan negeri kita yang baru-baru ini diungkapkan berbarengan dengan kasus kelaparan terbuka dan tersembunyi di Jawa merupakan tambahan persoalan. Dan ini tidak bisa terlepas dari hasil kebijaksanaan ekonomi dan proses ekonomi yang mengikutinya yang terjadi selama ini di negeri kita. Dalam hubungan ini ada baiknya dikemukakan pendapat dari segolongan ekonomidi negeri kita mengenai swasembada bahan makanan terutama beras: Bahwa swasembada beras tidak perlu kita kejar karena lebih baik tanah di luar Jawa dipergunakan untuk budidaya yang lain yang memberikan hasil uang yang lebih tinggi (maksudnya di sini tanaman ekspor). Dengan cara ini menurut pendapat itu, Indonesia meraih manfaat komparatif (comparative advantage) dan kekurangan beras kita impor saja kendati pun volume irnpor ini akan bertambah terus. Pendapat yang bernada seperti ini terakhir dapat dilihat dalam tulisan Leon Mears (yang diberitakan merupakan konsultan Indonesia di bidang ekonomi perberasan) berjudul Indonesia's Fod Problems, Pelita II & III dalam berkala kkonomi dan Keuangan Indonesia. Juni 1976 terutam yang menyangkut kebijaksanaan implikasinya. Menanbl produksi perlu tapi tidak perlu swasembada. Begitu nada tulisan Mears. Pendapat seperti ini langsung atau tidak akhirnya mempengaruhi penjurusan investasi hingga akhirnya pertumbuhan sektor bahan makanan jauh tertinggal dari pertumbuhan sektor lain. Namun demikian, para ekonomi itu mengemukakan banwa tingkat kenaikan produksi beras melebihi tingkat pertumbuhan penduduk dan ditambah dengan beras impor, maka persedian beras per kapita di Indonesia meningkat. Ini ditunjukkan dengan angka 110 kg pada tahun 1960 meningkat menjadi 110 kg pada tahun 1975. Tapi mereka lupa siapa yang menikmati persediaan beras ini. Berdasarkan data distribusi, pergudangan, inflow dan outflow beras per daerah, dapat dikatakan pengadaan beras di Indonesia bersifat Urban-biased yaitu berkonsentrasi di daerah perkotaan melebihi secara proporsionil kalau dihubungkan dengan proporsi penduduk kota dan desa di Indonesia. Ini terjadi oleh karena dua faktor utama:  Di daerah perkotaanlah terletak permintaan efektif terhadap beras yang lebih tinggi karena adanya daya beli yang relatif lebih tinggi dibandingkan dengan pedesaan.  Daerah perkotaan merupakan daerah konsentrasi penduduk yang secara politis lebih peka dan lebih vokal terhadap gejala kemerosotan. Adalah lebih berbahaya jika Mas Kroposprawiro atau Jeng Juminten yang punya suara politik di daerah perkotaan menjadi lapar atau kurang makan dibandingkan dengan laparnya atau kekurangan makan Mas Susilo atau Mbakyu Wulanpermatasari di daerah pedesaan yang tidak vokal dalam politik. Pertemuan ahli agronomi Indonesia yang berakhir barubaru ini telah mengemukakan resolusi untuk menambah dan mengusahakan 400.000 hektar tanah pertanian di luar Jawa setiap tahun untuk memungkinkan Indonesia mengatasi persoalan pangan. Tapi dalam pertemuan agronomi itu, disebutkan adanya dua pendapat mengenai cocok atau tidaknya tanah pertanian di luar Jawa untuk ditanami budidaya bahan makanan pokok kita. Pendapat yang pertama mengatakan, tanah di luar Jawa umumnya tidak cocok untuk tanaman padi tapi lebih cocok untuk palawija. Pendapat yang kedua tanah di luar Jawa dapat cocok untuk tanaman padi dan bahan makanan lainnya asal kita tahu teknologinya dan penerapannya. Pendapat yang kedua benar. Untuk ini bisa ditelaah hasil riset tanaman dan tanah pertanian tropis seperti dikemukakan awal tahun 1975 oleh para teknolog terkemuka di dunia. Bacalah misalnya S.H. Wittwer Food Production. Technology and The Resource Base dan P.A. Sanchez dan S.W. Buol Soils of the Tropics and the World Food Crisis, keduanya dimuat dalam edisi khusus ilmiah dari American Association For the Advancement of Science. Kedua tulisan itu berpendapat bahwa kemungkinan dan batas ilmiah terbuka luas, baik mengenai jenis tanaman, produktivitas tanaman, perlindungan tanaman dan mernbuat tanah bisa ditanami di seluruh gugusan tanah tropis. Kekurangan pangan bukan disebabkan adanya pembatasan, tapi lebih banyak disebabkan oleh tidak beresnya pengelolaan ekonomi secara keseluruhan dan lemahnya pengerahan sumber dan pengaturan lernbaga untuk mengembangkan sektor pertanian bahan makanan. Ini adalah masalah strategi dan organisasi. Implikasi ini jelas berlaku untuk negeri hijau seperti Indonesia. Implikasi strategisnya ialah menjadikan swasembada bahan makanan rakyat sebagai prioritas pokok yang didasarkan bukan kepada perhitungan teknokrasi ekonomi yang kaku tapi didasarkan pada perhitungan visi politik berjangka jauh yang akhirnya dapat memberikan etek positif terhadap keseluruhan kehidupan bangsa. Implikasi organisasinya ialah menjadikan daerah luar Jawa betul-betul sebagai frontir ekonomi dan memenuhi keperluan frontir ekonomi ini dengan unsur dinamis secara agresif di luar batasan-batasan konvensionil, akibat terlampau tertumpunya kita pada financial capital sebagai satu-satunya alat pembiayaan pembangunan. Cottingham, akhir 1977.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus