Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Editorial

Bunga Dikejar, Pembangunan Tertinggal

Sebagian besar anggaran daerah digunakan Bank Pembangunan Daerah untuk membeli SBI. Bank untung, tapi pembangunan daerah buntung.

31 Juli 2006 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Laju pertumbuhan ekonomi pada semester pertama tahun ini mengecewakan, dan para pakar ekonomi pun sibuk mencari penyebabnya. Setelah menyisir da-ta Bank Indonesia, mereka telah menemukan sebuah angka kegiatan yang kini jadi tersangka utama. Bank-bank milik pemerintah daerah ternyata tercatat memiliki sertifikat Bank Indonesia (SBI) senilai sekitar Rp 40 triliun yang pembeliannya diduga didanai dengan dana perimbang-an yang dikucurkan pemerintah pusat pada awal Januari lalu.

Jika dugaan ini benar, berarti uang yang seharusnya menggerakkan ekonomi daerah itu ternyata malah kembali ke Jakarta dan hanya membebani Bank Indonesia, yang mesti membayar bunganya. Bank daerah pembeli SBI ini memang mendapat bunga itu sebagai keuntungannya, tapi ekonomi setempat jadi melesu karena dana yang seharusnya memicu pertumbuhan sektor riil tak jadi mengucur.

Dengan alasan ini, sebagian ekonom lantas mengusulkan agar dibuat kebijakan untuk menangkal bank daerah menggunakan dana perimbangan untuk pembelian SBI. Bekas Menteri Koordinator Ekonomi Dorodjatun Kun-tjoro-Jakti malah mengusulkan pemberian penalti ke daerah yang melakukannya.

Sekilas usul dari para pakar dan birokrat di Jakarta ini masuk akal. Namun, bila kinerja pemerintah daerah yang dikritik itu dibandingkan dengan prestasi pemerintah pusat, kesimpulannya jadi berbeda. Kenyataannya, pada semester pertama ini tak hanya daerah yang mengalami kesulitan membelanjakan anggarannya, tapi juga pemerintah pusat, yang baru menggunakan 18 persen dari belanja modal APBN. Memang lebih baik dibanding tahun lalu, tapi jauh di bawah prestasi sebelum sistem anggaran yang baru diterapkan.

Demikian pula bila apa yang dilakukan bank pemerintah daerah dibandingkan dengan yang dilakukan bank swasta maupun pemerintah di Jakarta. Ternyata pembelian SBI masih jadi pilihan populer di sektor perbankan nasional sehingga tingkat kucuran kredit dibandingkan de-ngan deposito kebanyakan bank masih rendah.

Bagi bank, menginvestasikan dana di SBI saat ini memang sangat menguntungkan karena tingkat suku bunga-nya tinggi dan risikonya rendah. Sementara itu, risiko memberi pinjaman sangat tinggi karena lemahnya penegakan hukum nasional membuat penanganan kredit macet, mi-salnya dalam penyitaan dan penjualan agunan nasabah yang mengemplang utang, amat sulit dijalankan.

Walhasil, selama tingkat bunga SBI tinggi dan pene-gak-an hukum lemah, agak sulit mengharapkan sektor perbankan di pusat maupun daerah menjalankan fungsi intermediasinya dengan baik. Ini berarti upaya memicu pertumbuhan ekonomi jadi lebih bersandar pada kemampuan pemerintah membelanjakan anggarannya. Celaka-nya, kemampuan ini ternyata sekarang sangat rendah dan tak mungkin ditingkatkan secara drastis tanpa risiko me-lonjaknya kemungkinan salah urus dan korupsi.

Lantas apa yang harus dilakukan? Mengingat yang terjadi adalah kesulitan pemerintah pusat maupun daerah dalam membelanjakan anggaran, padahal sumber utama anggaran berasal dari pendapatan pajak, maka perlu di-pikirkan untuk menurunkan berbagai tarif pajak yang ada. Bila hal ini dilakukan, kuat harapan bahwa daya beli pasar akan meningkat pesat dan ini akan meningkatkan laju pertumbuhan ekonomi.

Tentu saja pemerintah harus berhati-hati dalam menentukan tarif pajak yang diturunkan. Kriterianya adalah yang paling minimal menurunkan pendapatan pemerintah tapi berdampak maksimal dalam memicu pertumbuh-an ekonomi. Meningkatkan nilai pendapatan tak terkena pajak, sambil mengharuskan perusahaan membayar gaji karyawan tanpa memotong pajak, misalnya, akan membuat penghasilan para pekerja meningkat dan daya beli-nya melonjak. Demikian pula menghapus tarif impor kapas akan membuat daya saing produk tekstil Indonesia di pasar dunia membaik, ekspornya meningkat, dan pertumbuhan ekonomi pun terdorong.

Jadi, ketimbang ribut menyalahkan pemerintah daerah sebagai penyebab lesunya laju pertumbuhan ekonomi, lebih baik pemerintah pusat memperbaiki kinerja dirinya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus