Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

kolom

Mitos Survei Politik

Hasil survei politik seperti mitos yang dipercaya, tapi kadang-kadang dilawan. Pedoman politikus untuk berkontestasi.

24 November 2023 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Survei politik di Indonesia ibarat mesin pembaca arah bagi para politikus.

  • Survei menjadi titik tolak pergerakan politikus untuk bekerja, berkontestasi, dan berkampanye.

  • Hasil survei politik menjadi mitos yang dipercaya, tapi juga kadang-kadang dilawan.

Syamsul Rijal

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Dosen Bahasa dan Sastra Universitas Mulawarman

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Survei politik di Indonesia ibarat mesin pembaca arah. Survei selalu menjadi titik tolak pergerakan politikus untuk mulai bekerja, berkontestasi, dan berkampanye, termasuk dalam Pemilihan Umum 2024. Bahkan tidak satu pun kandidat calon kepala daerah atau calon presiden yang berani dan percaya diri maju berkontestasi sebelum melihat hasil surveinya di masyarakat. Meskipun demikian, banyak orang atau kelompok yang tidak percaya begitu saja pada hasil survei, terutama jika hasilnya tidak sejalan dengan pilihan politiknya.

Survei politik itu seperti mitos. Hasilnya kadang-kadang tidak dipercaya, tapi juga tak berani dilawan dan diabaikan sebagai salah satu petunjuk. Anomali pergerakan calon presiden dan calon wakil presiden dalam dua bulan terakhir menguatkan pandangan bahwa survei memang menjadi mitos.

Mitos Angka-angka

Dari sudut pandang statistik, survei bukan sekadar deretan angka. Di balik angka-angka itu, ada tanda yang perlu dibaca. Tanda itu menunjukkan sikap, pendapat, persepsi, dan pilihan masyarakat (responden). Karena itu, angka-angka tersebut dapat berubah. Di belakang perubahannya terdapat usaha kelompok tertentu yang menginginkan angkanya lebih besar atau lebih kecil. Ada pertarungan besar di balik perubahan angka itu. Perlu strategi yang tepat pula untuk mengubah angka-angka tersebut. Bahkan mungkin butuh miliaran rupiah untuk menggeser satu atau dua digit angka-angkanya.

Hasil survei adalah soal waktu. Perubahannya bisa cepat atau juga bisa sangat lambat. Banyak yang tidak percaya pada angka-angka survei, tapi mereka takut. Banyak juga yang tidak takut pada angka survei, tapi diam-diam berusaha menerima, mengagumi, dan bahkan mengubahnya. Namun yang paling berbahaya adalah jika ada yang terlena pada angka yang tinggi, tapi tidak sesuai dengan kondisi riil di lapangan.

Dalam perjalanannya, survei dan politik seolah-olah menjadi pasangan tak terpisahkan. Survei politik semacam ini memang baru sekitar 20 tahun belakangan ramai digunakan di Indonesia dalam kontestasi politik. Namun survei sudah lebih dulu digunakan dalam dunia penelitian ilmiah, terutama penelitian kuantitatif. Konsep pemilihan langsunglah yang mengubahnya. Konteks politik survei semakin ditarik ke ranah ilmiah, sementara konteks ilmiah ditarik ke ranah politik. Pada akhirnya keduanya bertemu dalam poros wacana dan pertarungan angka-angka.

Wacana Survei 

Survei itu sendiri adalah politik. Popularitas dalam survei adalah bagian dari popularitas politik. Sementara itu, politik juga merupakan bagian dari survei karena dalam hasil survei ada kekuasaan yang berusaha mendominasi dan menghegemoni publik. Inilah yang sering disebut survei mempengaruhi opini publik. Angka-angka survei seperti makna yang selalu mereproduksi mitos-mitos baru untuk mendominasi opini publik. Akibatnya, masyarakat cenderung melabuhkan pilihannya pada pemilik angka terbesar dalam hasil survei. Terlepas dari betul atau tidaknya angka tersebut, survei telah merangkai wacana publik.

Survei (untuk pemilu) sebenarnya hanyalah sirkulasi kekuasaan yang dilaksanakan lewat kekuasaan untuk mendapatkan kekuasaan baru. Buktinya, penguasa dan pemilik modal mengadakan survei untuk membaca opini publik. Kemudian dari hasil survei itu diciptakan mitos-mitos baru untuk mempengaruhi opini publik agar publik menjatuhkan pilihannya pada kelompok penguasa. Mitos-mitos itulah yang terus direproduksi, lalu bekerja siang dan malam mendominasi pilihan publik. Hingga pada akhirnya terciptalah lagi opini publik yang baru dan selanjutnya dirilis kembali melalui hasil survei.

Kondisi ini sama dengan teori wacana yang disampaikan Michel Foucault, yang menyatakan kekuasaan dan pengetahuan adalah dua hal yang selalu berdampingan. Kekuasaan selalu terakumulasi lewat pengetahuan, sementara pengetahuan selalu melahirkan efek kuasa. Kekuasaan di sini diisi pemerintah dan pemilik modal, sedangkan pengetahuan oleh survei. Jika kondisi ini semakin berjalan dalam waktu yang lama, Norman Fairclough menyebutnya sebagai bagian dari praktik sosial di masyarakat. Itulah yang disebut wacana. Apabila praktik wacana survei dan mitos angka-angka tersebut semakin mapan di masyarakat, Roland Barthes menyebutnya sebagai mitologi.

Walaupun masih ada yang meragukan, saat ini survei hampir diterima seutuhnya oleh masyarakat secara mapan. Survei tampaknya memang sudah menjelma ideologi baru dalam masyarakat dan dunia politik. Angka-angka yang dihasilkannya seperti sihir. Sebagai wacana, angka-angka dalam survei adalah pernyataan yang dipadatkan. Di sisi lain, angka-angka survei bagi pemilik posisi puncak adalah investasi kuasa yang setiap saat dapat dicairkan menjadi kekuasaan.

Angka-angka dalam survei dapat mengkonstruksi pengetahuan menjadi kekuasaan. Untuk mencapai kekuasaan, perlu strategi. Survei hanyalah strategi awal. Merilis angka-angka survei merupakan strategi kedua. Selanjutnya adalah menunggu dan melihat pergerakan opini publik untuk mengatur serta menentukan strategi berikutnya. Pergerakan, perubahan, dan penentuan strategi ini memerlukan pengetahuan yang kompleks. Kadang-kadang ia dibentuk melalui jaringan yang solid atau ditopang oleh finansial yang kokoh. Dari proses pembentukan pengetahuan inilah diproduksi efek benar atau salah yang pada akhirnya akan diterima secara masif sebagai suatu kebenaran.


PENGUMUMAN

Redaksi menerima tulisan opini dari luar dengan syarat: panjang sekitar 5.000 karakter (termasuk spasi) atau 600 kata dan tidak sedang dikirim ke media lain. Sumber rujukan disebut lengkap pada tubuh tulisan. Kirim tulisan ke e-mail: [email protected] disertai dengan nomor kontak dan CV ringkas.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus