Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DUA persoalan yang berjalin berkelindan di Pertamina harus segera diakhiri. Persoalan pertama adalah konflik internal yang menciptakan perkubuan di level atas perusahaan minyak dan gas milik negara itu. Problem ini ditengarai menimbulkan persoalan kedua: gagalnya manajemen mencegah berulangnya kerusakan kilang minyak.
Perkubuan dipantik perubahan organisasi direksi oleh Kementerian Badan Usaha Milik Negara. Struktur baru membatasi peran Direktur Utama Dwi Soetjipto, dan sebaliknya, memberi kewenangan besar kepada wakilnya, Ahmad Bambang. Orang nomor dua ini membawahkan direktur pengolahan dan direktur pemasaran, plus sebentar lagi unit pengadaan bahan bakar minyak dan minyak mentah impor, Integrated Supply Chain.
Dalam struktur baru itu, pengambil keputusan impor minyak juga dipegang wakil direktur utama. Adapun orang nomor satu hanya meneken keputusan yang telah dibuat wakilnya. Walhasil, wakil direktur utama menguasai bagian terpenting manajemen bahan bakar, dari hulu sampai hilir.
Ditengarai tidak semua pejabat yang duduk di posisi penting sesuai dengan keahliannya. Direktur Pengolahan, misalnya, diisi pejabat dengan latar belakang pemasaran. Kuat diduga, kompetensinya dalam mengatasi problem teknis, terutama berulangnya kerusakan sejumlah kilang dalam dua bulan terakhir, belum mencukupi. Akibatnya, muncul potensi kerugian akibat kerusakan di kilang Balikpapan, Kalimantan Timur; Cilacap, Jawa Tengah; dan Dumai, Riau, sebesar Rp 1 triliun lebih.
Di tengah rentetan kerusakan kilang itu, keputusan impor solar 1,2 juta barel pada Januari 2017 buru-buru diambil. Padahal, secara praktis, pasokan bahan bakar yang berkurang dari kilang yang rusak bisa ditutup dengan menaikkan produksi di kilang lain yang sehat. Impor mendadak, yang keluar dari perencanaan tiga bulanan, membuat Pertamina harus membayar jauh lebih mahal.
Persoalan genting itu seharusnya segera diatasi. Apalagi, jika benar, pemain lama bisnis minyak kini mulai berkuasa kembali. Pemerintah perlu membenahi manajemen bahan bakar. Pembangunan kilang baru patut disegerakan. Hal ini sesuai dengan janji pemerintah Joko Widodo. Pembangunan kilang baru selama ini tak kunjung dilakukan dengan berbagai alasan.
Pembangunan kilang di Tuban, Jawa Timur, berkapasitas 300 ribu barel per hari, seyogianya segera dimulai. Begitu juga dengan peremajaan kilang Balikpapan. Sayangnya, akibat konflik internal di level atas, kelengkapan organisasi yang mengurusi pembangunan kilang baru itu tak kunjung tuntas.
Kementerian Badan Usaha Milik Negara sudah sepatutnya memperbaiki situasi di perusahaan pelat merah beraset Rp 600-an triliun itu. Dualisme kepemimpinan tidak boleh dibiarkan berlarut-larut. Jika menganggap tak lagi sejalan, sebagai wakil pemegang saham pemerintah di Pertamina, Kementerian bisa mengganti direktur utama. Pergantian itu tentu harus didasarkan pada pertimbangan kinerja perusahaan, bukan pada kepentingan jangka pendek sekelompok orang di Kementerian maupun Pertamina.
Membiarkan masalah di Pertamina berlarut-larut membawa biaya yang tak kecil. Konflik yang membara membuat pencari keuntungan gampang masuk. Padahal, sebagai pengelola bahan bakar nasional, perusahaan itu harus dijaga dari berbagai kepentingan kelompok.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo