Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Tembakau: tanaman asli indonesia ?

Biji tembakau yang dibawa masuk oleh bangsa eropa pada abad ke-17, sesungguhnya bukan barang baru bagi penduduk asli indonesia. hal itu terbukti dari babad ing sangkala.

4 Februari 1989 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Dalam resensi tentang buku "Rokok Kretek: Lintasan Sejarah dan Artinya bagi Pembangunan Bangsa dan Negara" karangan Amen Budiman dan Onghokham (TEMPO, 7 Januari, Buku) disebutkan, "Baru pada abad ke-17 tembakau dimasukkan ke Indonesia oleh orang Portugis, . . ." dan seterusnya. Sebelum itu diuraikan bahwa tembakau berasal dari orang-orang Indian di Benua Amerika. Perkenalannya terjadi pada abad ke-15 tatkala Colombus mendarat di Pulau Watling (San Salvador). Colombus membawa tembakau itu ke Eropa. Lalu, dari sana menyebar ke benua-benua lainnya, termasuk Indonesia pada abad ke-17. Disebutkan pula, di Indonesia pada mulanya dikenal sebagai tembakau sugi atau bako susur. Namun, lebih jauh disebutkan bahwa dalam Babad Ing Sangkala, yang satu baitnya dikutipkan, ternyata, orang-orang Jawa di zaman Mataram sudah mengenal tembakau sebagai rokok (wong ngaudud). Babad itu ditulis pada 1523 Saka atau 1601 Masehi. Sehingga, dapat disimpulkan bahwa paling tidak pada abad ke-17 sudah ada tembakau yang dirokok, bukan hanya tembakau sugi. Itu mungkin dengan cangklong, seperti pada bangsa Indian, mungkin pula dengan daun nipah atau aren, yang di Jawa Barat disebut daun kawung. Selain itu, adanya tembakau dalam upacara makan sirih, selain kapur, pinang, dan cengkeh, yang sudah ada di sini merupakan bukti bahwa jenis pohon tembakau merupakan flora asli di belahan bumi ini. Bila saya tak salah, dalam relief Candi Borobudur, yang dibuat pada abad ke-8 Masehi, tampak seorang sedang memegang sebuah benda mirip tembakau susur dalam mulutnya. Indikasi lainnya adalah ketika saya berkunjung ke daerah Baduy Dalam, orang-orang Baduy sangat senang menerima oleh-oleh ikan asin, garam, dan tembakau kampung, baik mole. maupun tampang. Padahal, mereka sangat buyut (tabu) pada barang-barang dari luar berdasarkan adat yang ketat secara turun-temurun. Mereka mengisap tembakau dengan daun kawung. Juga di pedalaman Jambi terdapat suku terasing, Kubu atau Anak Dalam. Mereka baru mau berkomunikasi setelah diberi tembakau yang dibeli dari pasar. Bedanya dengan Baduy, mereka mengisap dengan daun jenis lain, yang dikeringkan. Jenis daun itu bukan daun palma seperti aren, nipah, atau lontar. Asap daun tembakau, yang dikeringkan, bukan satu-satunya kenikmatan, melainkan harus dicampur dengan jenis pepohonan lainnya seperti jamur hutan, ganja yang memang banyak terdapat di tanah air. Bila dibaca dengan cermat buku Seribu Satu Malam yang lengkap yang terdiri dari delapan jilid, ada cerita mengenai keadaan di Kepulauan Sunda atau Sunda Eilanden. Di buku karya Robert Keller dalam bahasa Belanda itu bisa dijumpai gambar orang mengisap asap tembakau lewat pipa karet. Maka, bila tembakau itu baru dikenal pada abad ke-17, kiranya, tak akan tembus begitu luas di kalangan suku-suku terasing di pedalaman. Jadi, dapat disimpulkan bahwa biji tembakau yang dibawa masuk oleh bangsa Eropa ke Indonesia, sesungguhnya, bukan barang baru bagi penduduk asli Nusantara ini.BARLAN SETIADIJAYA Jalan Raya Lenteng Agung 144 Jakarta Selatan 12610

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum