Tulisan Bung Fachry Ali berjudul "Wong Sabrang" (TEMPO, 24 Desember 1988, Kolom) melahirkan beberapa implikasi bagaikan suatu perjalanan yang tak pasti. Sebab, pada dasarnya pernyataan yang dikemukakan itu merupakan suatu perjalanan perjuangan anak-anak bangsa yang tercecer. Perlu disadari, perpindahan dari suatu partai ke partai lain tak ada undang-undang yang mengatur. Dan perpindahan itu taklah sesulit "perpindahan agama. " Namun, alangkah tragisnya seorang anak yang telah dibesarkan sebuah keluarga lalu tak mengakui lagi bahwa orangtua itulah yang telah membesarkan dia. Atau bagaikan seorang anak yang telah disekolahkan orangtuanya yang tinggal di desa. Setelah selesai, ia tak mau pulang kampung. Maka, lantas ada umpatan: sungguh "durhaka" anak itu. Hal serupa itu melanda pura anak-anak bangsa yang terjun ke salah satu partai politik. Dan manakala dia tak terpakai lagi, rumah tangga yang telah membesarkan dia obrak-abrik. Dia kemudian pindah parpol. Aktivitas mungkin merupakan suatu "kompensasi" belaka. Sebab, dalam kehidupan sebagai fungsionaris partai, soal seberang-menyeberang tak akan muncul. Jatuh bangunnya suatu partai tergantung orang yang setia menjaganya. Salah seorang fungsionaris PPP yang sempat menjadi orang yang diperhitungkan dalam kancah politik di Indonesia juga tiba-tiba hijrah dengan alasan memakai logika kanak-kanak: dia pindah ke Golkar karena bukan lagi anggota DPR. Mental seperti itu kalau terus mengendap, tentu akan menumbuhkan penyakit kronis. Politik pada dasarnya adalah segala-galanya. Dia dapat menciptakan iklim yang sehat. Tetapi juga kadang-kadang dia menghadirkan trauma. Sebab, bagi seorang ahli atau peserta pergerakan kebangsaan, politik bisa dianggap sebagai makanan lezat. Sebaliknya, bagi seorang yang memang tak ingin atau enggan turut serta dalam perjuangan kemerdekaan persoalan politik akan menjadi hal yang sangat menakutkan. Perjalanan politik di Indonesia telah dilanda polarisasi, paling tidak telah menciptakan iklim tak sehat bagi pertumbuhan politik di Indonesia. Dan biasa hal ini akan menciptakan suatu sikap apatis politik bagi generasi mendatang. Padahal, para pendahulu seperti H.O.S. Tjokroaminoto, Abdoel Moeis, Hadji Agus Salim, Soekarno, dan Hatta sering menandaskan bahwa jangan buta politik dan jangan berdiam diri dengan keadaan politik yang dihadapi. Namun, persoalan yang selalu menjadi sandungan dalam pendidikan politik adalah adanya unsur ketidaktahuan fungsi politik sebenarnya. Tahapan pengenalan lingkungan hendaknya dimiliki fungsionaris partai di Indonesia. Maksudnya, agar politikus tak akan terjebak, kemudian hijrah akibat ketidaktahuan. Sementara itu, menurut Fachry Ali, ada segelintir orang yang pada awalnya tak terkenal kemudian menjadi elite politik. Itu, menurut saya, karena "sistem paket". Dan budaya karbitan serta katrolan telah menjadi permainan dalam percaturan politik di Indonesia. Akibatnya, lahirlah budaya "mumpungisme". Mereka lari ke partai yang satu bukan karena karismatis dan ingin memantapkan karier dalam dunia politik. Ia semata-mata didorong oleh motivasi: kapan menjadi elite politik, agar bisa berkantor di Senayan (DPR Pusat). Fragmentasi politik di Indonesia bukanlah untuk menciptakan suatu pembangunan politik sebenarnya. Ia hadir sebagai suatu pergeseran dari tatanan sosial yang sebenarnya. Ini pertanda bahwa sistem politik di Indonesia pada prinsipnya belum terpola. Dia hanya hadir sebagai figuran, bagaikan seorang artis yang menumpang lewat dalam sebuah film. Akibatnya, percaturan politik di Indonesia juga menganut sistem "latah".MUHAMMAD SYAHRIAL ASHAF Jalan Tamalate III/46 Ujungpandang
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini