Saya tak mempunyai kepentingan pribadi dengan Jusuf Randy. Bahkan mengenal dia pun tidak. Namun, tentang orang itu, sebagaimana ditulis TEMPO, 21 Januari 1988, Laporan Utama, saya menilainya terlalu dibesar-besarkan. Saya anggap tulisan itu secara a priori telah menuduhnya sampai ke isi perut. Agaknya itu sudah di luar pokok dasar kesalahan yang dilakukannya seperti dituduhkan polisi. Sepanjang yang saya baca di TEMPO, masalahnya hanya terpaut kepada persoalan kewarganegaraan yang dimiliki Jusuf Randy. Itu tak perru dibesar-besarkan. Sebab, Jusuf orang Indonesia asli berasal dari Sumedang, Jawa Barat. Dan ia tak melakukan hal-hal yang merugikan masyarakat dan negara. Kalau Jusuf berambisi membesarkan dirinya di Indonesia, dengan melibatkan media massa, saya kira, wajar-wajar saja. Itu manusiawi. Setidaknya, media massa yang ikut "membesarkannya" mungkin telah menerima jasa dari Jusuf Randy. Cara ini dilakukan Zoraya Perucha, misalnya. Juga Bob Sadino, Rima Melati, dan tokoh lainnya. Mereka mempromosikan dirinya dengan berbagai cara melalui media massa demi nama dan kepentingan usahanya masing-masing. Juga Jusuf Randy. Dengan berbagai cara dan janji-janjinya. Itu semua tak terlepas dari tujuan mempromosikan bisnis lembaga pendidikan komputer miliknya. Kalaupun Jusuf Randy mengumbar janji, dan belum seluruhnya dia penuhi, wajar-wajar saja. Ada berbagai aspek yang ada di sekelilingnya, baik waktu maupun dana. Bukankah kini banyak tokoh yang juga belum memenuhi janji padahal mereka sudah banyak berjanji? Selama ini, Jusuf Randy, sebagaimana dituliskan TEMPO, tak pernah melakukan penipuan atau pemerasan. Bahkan, dalam mempromosikan usaha pendidikannya, juga menurut TEMPO, Jusuf Randy dapat membuktikan karya nyata. Semua usahanya itu memajukan masyarakat pemuda Indonesia, agar tak menjadi pengemis fasilitas lapangan kerja. Menurut saya, tak sedikit jumlahnya orang yang dahulu menolak kewarganegaraan Indonesia. Mereka, setelah pergi ke negara leluhurnya, sebagian kembali lagi ke Indonesia. Tidak sedikit dari mereka yang menggunakan identitas dan paspor Indonesia "asli". Anehnya, banyak di antara mereka yang leluasa berkeliaran. Bahkan ada juga yang melakukan penipuan dan membawa hasilnya ke luar negeri. Sungguhpun ada kesamaan antara identitas dan paspor yang mereka miliki dan apa yang dituduhkan kepada Jusuf Randy, yang tersebut terakhir ini pernah membuktikan sumbangannya bagi lembaga pendidikan komputer yang bernilai Rp 2 milyar itu. Cerita Ucup, anak Abah dari Sumedang itu sungguh menarik. Dengan kemiskinannya, ia bertekad ke luar negeri untuk mencari hidup dan ilmu pengetahuan. Ia mengambil kewarganegaraan negara asing itu semata untuk memenuhi peraturan yang berlaku di sana. Dengan bekal ilmu pengetahuan dan kekayaannya, ia mulai merintis usaha pendidikan di sini. Usaha mempromosikan usahanya, sepanjang tidak melanggar hukum, kiranya merupakan hal yang wajar. Tapi mengapa itu dihebohkan?ARFAN BAKRI Jalan Tipar, Irawan 10 Sukabumi 43141 Jawa Barat
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini