Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Jika aturan hukum bisa ditekuk demi kepentingan sekelompok orang, wibawa pemerintah yang membuatnya bisa jatuh. Proyek jalan tol Cikampek-Palimanan merupakan contoh praktek kurang terpuji yang semestinya tak boleh terjadi.
Patut diduga ini terjadi akibat kepentingan bisnis penguasa. Dugaan itu muncul karena di dalam konsorsium Lintas Marga Sedaya, pembangun proyek tol itu, ikut PT Bukaka Teknik Utama milik keluarga Jusuf Kalla. Bergabung juga di sana pengusaha Edwin Soeryadjaya dan Sandiaga Uno serta pebisnis Henry Pribadi.
Semestinya konsorsium Lintas mengikuti aturan main. Karena sampai batas waktu yang ditetapkan Lintas belum menyerahkan jaminan, belum membuka rekening pengadaan tanah, dan belum melakukan financial close, proyek Rp 7 triliun itu harus ditender ulang.
Badan Pengatur Jalan Tol sudah memberikan peringatan terakhir kepada Lintas. Malah Departemen Pekerjaan Umum berbaik hati memperpanjang batas akhir sampai 16 Juni 2007. Agaknya Lintas kepentok soal dana, kemudian berencana menjual 55 persen sahamnya kepada perusahaan Malaysia, Plus Expressway Berhad.
Anehnya, rencana Lintas disokong Departemen Pekerjaan Umum. Padahal penjualan itu jelas dilarang oleh Peraturan Presiden Nomor 67 Tahun 2005—selanjutnya disebut PP Nomor 67. Dalam Pasal 23 butir g diatur larangan pengalihan perjanjian kerja sama sebelum infrastruktur beroperasi secara komersial. Penyertaan saham pada badan usaha pemegang perjanjian kerja sama juga dilarang kalau proyek belum menghasilkan duit. Dan proyek jalan tol Cikampek-Palimanan memang masih nol besar.
Entah mengapa Departemen Pekerjaan Umum menyatakan Lintas meneken perjanjian sebelum keluarnya PP Nomor 67 dan karena itu bisa mengikuti aturan sebelumnya. Yang dimaksud Departemen Pekerjaan Umum adalah Keputusan Presiden Nomor 7 Tahun 1998—selanjutnya disebut KP Nomor 7—yang mengizinkan penjualan saham itu.
Padahal ada aturan jelas dalam ketentuan peralihan di PP Nomor 67. Disebutkan, jika pemenang tender ditetapkan berdasarkan KP Nomor 7 tapi perjanjian kerja sama belum ditandatangani, perjanjian itu harus didasarkan pada PP Nomor 67. Karena Lintas menandatangani perjanjian pada 21 Juli 2006, semestinya perusahaan itu mengikuti PP Nomor 67. Artinya, penjualan saham Lintas terlarang sebelum jalan tol Cikampek-Palimanan dibuka untuk umum.
Penafsiran aneh atas PP Nomor 67 tadi, juga upaya mendorong revisi peraturan presiden itu oleh kantor wakil presiden, hanya menunjukkan betapa kuat keinginan menyetujui penjualan saham Lintas Marga. Sulit sekali membutakan mata terhadap konflik kepentingan dalam kasus ini.
Padahal perkara ini gamblang. Konsorsium Lintas tidak punya modal cukup besar untuk bergerak. Menghadapi yang model begini, seharusnya pemerintah tegas: ambil alih proyek tol itu dan adakan tender ulang. Tak perlu ragu menutup pintu bagi investor modal cekak yang mengandalkan perkoncoan untuk proyek sevital jalan tol. Tapi berharap ketegasan mungkin terlalu naif manakala diketahui regulator dan pemain yang menjadi subyek regulasi berada di meja yang sama.
Perlu disadari, jabatan tinggi bukanlah fasilitas untuk menerima perlakuan khusus dalam hal apa pun, termasuk bisnis, apalagi dengan mengutak-atik aturan. Bahkan kantor presiden dan wakil presidenlah tempat pertama untuk menerapkan good governance. Kalau pejabat tinggi tidak lebih taat hukum daripada rakyat, apa kata dunia….
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo