Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KALAU Kompleks Permata di kawasan Angke, Jakarta Barat, dijadikan ukuran, bahaya narkoba sudah masuk kategori lampu merah. Gawat. Begitu gelap malam datang, setiap jalan di sana berubah menjadi bursa transaksi. Setiap hari polisi melakukan patroli, setiap hari ada yang ditangkap, tapi perdagangan ganja sejak krisis ekonomi itu makin menjadi-jadi.
Pelakunya sindikat dengan pembagian tugas rapi. Ada tukang terima pasokan, tukang bungkus, penjaga ”gerai” ganja, kasir berjalan, tukang pukul tiang listrik, sampai spesialis teriak ”maling”—alarm bila polisi datang. Dua tahun lalu, ketika polisi menggerebek, warga menyambut dengan lemparan batu. Pada akhir 2005, seorang anak muda 25 tahun tewas ditembus pelor setelah menyongsong polisi dengan golok.
Kompleks Permata tidak sendiri. Di lima wilayah Jakarta saja—ini yang membuat kita miris—ditengarai ada lebih dari 50 daerah rawan dan empat pusat narkoba. Tak usah kaget mendengar polisi tak selalu bisa masuk menangkap bandar. Aparat dihadang penduduk bersenjata, yang dengan solidaritas tinggi melindungi bandar. Gampang diduga, uang besar (dan kemiskinan) menjadi alat pemersatu yang ampuh.
Inilah kejahatan serius dengan korban tewas melebihi penyakit apa pun. Sudah 40 orang mati setiap hari—menurut Badan Narkotika Nasional. Tahun lalu tercatat 6.600 kejahatan narkoba, melonjak separuh dari tahun sebelumnya. Setiap tahun lebih dari Rp 23 triliun dana warga dihisap narkoba—separuh untuk bernarkoba-ria. BNN membuat prediksi mengerikan: pada 2011, kalau tidak ada pencegahan serius, kerugian masyarakat berlipat hampir sepuluh kali.
Dalam roda perputaran uang triliunan rupiah itu, sialnya polisi ada yang ikut-ikutan main. Kepala Kepolisian Sektor Cisarua, Ajun Komisaris Polisi Jumantoro, didapati menyimpan sabu-sabu dan ribuan pil ekstasi. Ia diduga menjadi bandar. Jumantoro hanya satu dari daftar panjang polisi yang terlibat barang haram ini. Sekali waktu, dalam penggerebekan bandar narkoba, tembak-menembak bahkan terjadi di antara sesama polisi, sesuatu yang diduga muncul lebih karena persaingan antarbeking ketimbang salah koordinasi.
Beking itulah yang membuat jaringan narkoba meluas. Dengan sekuat tenaga, mereka yang tak ingin menjadi korban perlu berusaha mencegah agar kita tidak menjadi Bolivia. Penduduk miskin negara Amerika Latin itu bukan hanya mengkonsumsi, melainkan sengaja bertanam koka untuk menyuplai kartel. Sebanyak 90 persen koka di AS datang dari sini. Itu sebabnya pemerintah AS pernah mengucurkan sekitar Rp 10 triliun untuk membasminya.
Toh, narco-dollar—sebutan untuk ”devisa” dari koka—membuat kartel berkuasa dan memutuskan apa saja, termasuk membunuh yang tak disukai. Pada saat Piala Dunia 1994 di AS, pemain belakang Bolivia Andres Escobar mencetak gol ke gawang sendiri. Bolivia kalah dari tuan rumah dan tersisih. Begitu pulang kampung, di depan bar di Medellin, Escobar ditembak mati. Banyak orang percaya, kartellah pelakunya.
Di Indonesia, jangan sampai kartel menentukan hidup-mati warga. Terobosan besar mutlak diperlukan. Misalnya mengubah Kementerian Negara Pemuda dan Olahraga menjadi Kementerian Antinarkoba. Ketimbang mengurusi sepak bola yang kalah terus dan bulu tangkis yang jeblok, lebih urgen memikirkan strategi besar memberantas narkoba. Kalau pemerintah tidak ingin lahir generasi tolol dengan otak koplo, pada Hari Antinarkoba Internasional nanti perlu dipikirkan untuk memaklumkan bencana nasional narkoba. Sekarang atau narkoba melumpuhkan kita.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo