Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Editorial

Ketika Peluru Menjadi Solusi

Bentrok berdarah di Pasuruan mencerminkan tabiat kekerasan militeristik TNI dalam menghadapi warga sipil. Pelakunya harus dihukum, bukan sekadar dipecat.

4 Juni 2007 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Masa itu belum lama lewat: ketika warga menaruh harapan pada marinir, korps elite Angkatan Laut. Marinir memang satu tiang utama dalam perbaikan citra TNI yang jeblok oleh perilaku kekerasan selama Orde Baru berkuasa. Tapi, bak panas setahun terhapus oleh hujan sehari, kebrutalan di Pasuruan kontan memburamkan kenangan baik itu. Empat penduduk Desa Alas Tlogo tewas ditembak anggota marinir. Mereka mati dalam unjuk rasa menuntut lahan yang dipersengketakan oleh TNI Angkatan Laut dan warga Alas Tlogo.

Mei 1998, tatkala huru-hara reformasi melanda Jakarta, kita ingat hanya prajurit-prajurit Angkatan Laut yang diizinkan masuk ke Senayan oleh mahasiswa yang menduduki gedung MPR/DPR. Dalam beberapa bentrokan antara warga dan tentara di beberapa wilayah di Indonesia, warga memesan ”bantuan” marinir. Citra mereka sebagai prajurit yang ramah dan penolong ada dalam ingatan publik. Tapi darah sudah tumpah di Alas Tlogo. Dan tragedi tidak selesai dengan pemakaman jenazah, pencopotan pangkat pelaku, atau permintaan maaf. Harus ada upaya hukum untuk mengganjar mereka yang bersalah.

Perbuatan beberapa prajurit TNI AL telah membuat korps itu mencatatkan rapor kelam dan menyedihkan. Setiap anggota marinir menjunjung sumpah untuk membela yang lemah. Tapi apa yang terjadi di Alas Tlogo? Di antara korban tewas terdapatlah seorang perempuan yang tengah mengandung lima bulan. Peluru memutus nyawanya saat dia tengah memarut ketela di teras musala.

Konflik berdarah di Desa Alas Tlogo memang tidak datang dengan tiba-tiba. Ada perseteruan panjang, ada tuntut-menuntut, ada dendam dan amarah dalam perebutan 539 hektare tanah di wilayah tersebut. Tanah itu kini menjadi hak TNI AL. Pengadilan negeri memenangkan pihak Angkatan Laut. Tapi warga bertekad naik banding dan menolak janji kompensasi 500 meter persegi tanah untuk setiap keluarga.

Tensi konflik kian tinggi setelah TNI mengizinkan satu perusahaan swasta menggarap lahan, padahal banding belum lagi dimulai. Betul ada suasana panas dan tegang ketika kedua pihak sudah sama-sama naik darah. Tapi tak ada hukum apa pun yang membenarkan pembunuhan dalam masa damai, apalagi antara 12 tentara bersenjata dengan peluru tajam dan sekumpulan warga kampung.

Komandan Korps Marinir Mayor Jenderal Safzen Noerdin telah memerintahkan pencopotan jabatan dan keanggotaan para pelaku. Tapi kita tidak ingin melihat prosesnya berhenti di sini, masuk peti es, lalu dilupakan—seperti banyak peristiwa kekerasan militer di Tanah Air yang terdahulu. Sudah cukup kita memetik contoh yang buruk dari Aceh, Ambon, dan sejumlah wilayah lain di Indonesia.

Jadi, sekali lagi, pelaku penembakan di Alas Tlogo wajib diproses secara hukum, diadili, dan ditindak. Adapun tanah yang masih menjadi perkara hendaknya diselesaikan oleh pihak yang seharusnya, yaitu aparat penegak hukum. Dari awal seharusnya polisi yang mengambil alih urusan pengamanan. Harus diingat bahwa institusi TNI—termasuk Korps Marinir—bukanlah aparat penegak hukum. Dan tugas marinir tentu bukan mengawal tanah.

Kalaupun tanah itu benar menjadi milik TNI, haram untuk mengusir warga dengan peluru tajam. Hanya upaya penegakan hukum yang patut yang bisa sedikit memulihkan rasa keadilan. Walaupun satu hal telah dipastikan: lima nyawa yang telah pergi itu—termasuk janin lima bulan di dalam kandungan—tak pernah bisa dikembalikan dengan cara apa pun.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus