Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Hak Bagi Non-Muslim ?

Kritik terhadap golongan agama di dunia Arab & negeri muslim lainnya dalam tuntutan politik, khususnya pelaksanaan syariat Islam. Kedudukan non-muslim di negara Islam & perlunya melihat ke zaman nabi.(kom)

17 Maret 1979 | 00.00 WIB

Hak Bagi Non-Muslim ?
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
SETIAP kali golongan agama di Dunia Arab atau negeri-negeri Muslim lainnya mengalami arus pasang dalam tuntutan-tuntutan politik mereka, khususnya yang menyangkut pelaksanaan syariat Islam, orang pun segera menjadi waswas -- terhadap apa yang dicemaskan sebagai suatu kebangkitan kembali dalam fundamentalisme Islam. Tak ada mimpi yang lebih buruk -- juga tidak di lapisan cendekiawan dalam kelompok Islam sendiri -- daripada menampak buya-buya fukaha (para ahli fiqh red) tampil mengatur jalannya suatu pemerintahan, seperti yang didambakan Khomeini di Iran. (Laporan Utama TEMPO 24 Pebruari tetap tak berhasil membuat eksperimen dengan hukum Islam di berbagai negara Arab itu nampak lebih simpatik, meskipun telah dicoba menampilkannya seobyektif mungkin). Yang tersisa masih saja gambaran algojo berwajah tegang dengan pedang teracung, siap mengerat lengan atau memancung leher para warganegara bernasib malang. Dan itu bukanlah khayal. Koran kita (kalau tak salah Berita Buana) pernah menyiarkan foto sepotong tangan dengan darah yang masih segar tergantung di depan publik yang lalu lalang di sebuah pasar negeri Mekkah. Atau foto orang yang dihukum dera atau digantung di muka umum. Ingatlah juga, kasus Faisal ibn Musaid yang dipenggal di depan khalayak. Belum lagi, amit-amit, panorama khas ini: setiap azan ditempikkan dari moncong-moncong pengeras suara, orang pun dihalau dengan pentungan karet ke mesjid-mesjid. Lalu gerombolan peminta-minta itu, yang berkerumun di setiap mulut pintu mesjid atau makam-makam keramat, siap menukar sedekah para peziarah dengan seulas ayat Quran. Dan somewhere di bawih langit-langit kemah yang mewah, sang Menteri Urusan Minyak bersantai dengan isteri seorang diplomat dari negara superpower sambil berbincang mengenai bukunya tentang "ekonomi Islam". Potret klasik "negara Islam" macam itulah yang agaknya membuat Shapur Bakhtiar merasa alergi. Sesaat sebelum kejatuhannya ia berkata getir "Republik Islam ini tidak dapat saya fahami. Saya belum pernah melihatnya dalam buku. Yang saya inginkan bukan kediktatoran Shah, bukan juga republik Islam seperti Libya atau Pakistan." Kalau mau jujur, sebenarnya tokoh-tokoh pemikir Islam lainnya sama saja dengan Bakhtiar -- mereka juga belum faham benar dengan ide "negara islam" itu. Karena itulah tokoh seperti Muh. Natsir, Wakil Presiden Muktamar Alam Islami itu, ketika ditanya TEMPO tentang kedudukan non-Muslim di negara Islam segera 'lari' ke zaman Nabi. Sebab hati kecii Natsir pasti merasa, negara macam Saudi bukanloh model yang ideal bagi suatu negara islam kontemporer. Tentu saja di zaman Nabi Muhammad seorang Muslim yang memutuskan untuk pindah agama menjadi Kristen, misalnya) tidak perlu diadili di hadapan regu tembak, seperti yang konon diundangkan di Mesir atas nama syariat Islam. Paling-paling, Nabi Suci akan berkomentar: "Mau percaya silakan, mau kafir silakan" (Faman sya-a falyukmin, waman sya-a falyakfur), sesuai dengan falsafah Quran tentang kebebasan beragama, induk dari 'Madinah Charter' itu. Lebih jauh, sang Nabi akan mamparsilakan umat Kristus itu bersembahyang di mesjidnya sendiri. "You are welcome," sabdanya. Kenapa Arab Saudi dan lain-lain tidak berani melakukannya sekarang? Maka alangkah naifnya pernyataan Natsir, bahwa yang bukan-Muslim seakan warganegara klas satu di negara Islamnya, hanya lantaran mereka tidak dilarang minum alkohol atau berhari Minggu atau Sabat. Jelas Natsir gagal menemukan contoh aktual tentang bentuk jaminan yang pasti mengenai hak-hak asasi manusia di "negara Islam", baik bagi yang muslim mapun yang non-Muslim. Paling tidak, ia akan terbentur kepada pernyataan Syuba Khan, Presiden Liga Kristen Nasional Pakistan, yang disiarkan liwat s.k. Aman Karachi, 29 September 1974, di mana ia dengan keras memperingatkan pemerintahnya (ketika itu Ali Bhutto), bahwa melihat gencarnya tekanan fisik terhadap kaum minoritas Ahmadiyah oleh kelompok mayoritas yang bergerak di bawah bayang-bayang keputusan Majlis Nasional yang mengkafirkan kaum Ahmadiyah, maka enam juta minoritas Kristen di negara Republik Islam itu menyatakan tidak yakin hak-hak mereka benar-benar terjamin dari ancaman mayoritas Muslim. Tercerminkah semangat 'Madinah Charter' dalam fakta ini? Wallahu alam. Agaknya tak seorang Muslim pun masih sangsi, bahwa seperti juga di zaman Nabi Suci dalam zaman mutakhir ini hukum Islam yang sejati masih tetap mampu menyumbangkan sesuatu. Masih relevan. Tinggal lagi bagaimana kita menyimak dari kandungan pesan sang Nabi -- selain membaca yang tersurat belaka. Jangan sampai keliru lagi dalam menangkap persepsi. "Buang abunya, ambil apinya," bak kata Bung Karno. MAHAR EFFENDI Jl Gunung Batukaru 2, Sesetan, Denpasar.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus