Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"...you know, there's no such thing as society"
-- Margaret Thatcher.
Jika benar bahwa yang disebut "masyarakat" sesungguhnya tak pernah ada, apa yang terjadi? Jika benar yang ada adalah individu-individu, bukan kebersamaan, apa yang terjadi?
Pada umur 22, Margaret lulus dari Somerville College, Oxford dalam ilmu kimia. Ia diterima bekerja di sebuah perusahaan plastik. Di laboratorium British Xylonite itu ia mengembangkan cara merekatkan polyvinyl chloride ke logam...
Saya kira wajar jika kimiawan yang terbiasa di laboratorium ini menghadapi dunia sebagai himpunan problem untuk dipecahkan dan dikuasai. Wajar bila ia melihat hidup terdiri dari anasir yang terpisah-pisah, bisa dianalisa dan diisolasi. Kesatuan seperti "masyarakat" hanya konsep; dalam pengalaman, kita tak pernah ketemu makhluk itu.
Yang kita temui politik. Yang kita temui politik sebagai antagonisme.
Margaret Thatcher mulai memasuki kancah itu pada 1948 dan jadi anggota Parlemen 10 tahun kemudian. Ia, anak perempuan seorang pemilik toko, menempuh jalan yang tak gampang. Ketika ia jadi pemimpin Partai pada 1975, separuh perempuan Inggris hanya tinggal di rumah sebagai istri atau ibu. Bisa dimengerti bila bagi wanita pertama yang jadi perdana menteri dalam berabad-abad sejarah Inggris ini, politik adalah pergulatan. Dalam film tentang riwayat hidupnya, Iron Lady, kita lihat Thatcher (diperankan Merryl Streep) berkata, tegas, congkak: "With all due respect sir, I have done battle, every single day of my life."
Kata yang dipakainya "battle", peperangan. Politik baginya tak bergerak karena permufakatan. Ketika ia jadi pemimpin Partai Konservatif pada 1975, ia menegaskan bahwa ia bukan "politikus konsensus", melainkan "politikus keyakinan".
Keyakinan: sesuatu yang tak bisa dinegosiasikan. Thatcher seorang Kristen Methodis, tapi bukan cuma dalam agama ia tak mau mundur. Di sebuah pertemuan Partai Konsevatif tahun 1970-an ia mengambil sebuah buku Friedrich von Hayek dan membantingnya ke meja sambil berkata, "Inilah yang kita yakini!". Sebelum umurnya 30 tahun, ia sudah membaca karya pemikir kelahiran Austria yang memusuhi sosialisme itu.
Sosialisme, bagi Thatcher, adalah janji yang salah ke masa depan. Maka sebagai perdana menteri, ia buat rapuh gerakan buruh. Baginya, serikat sekerja -- dengan tuntutan upah yang terus menerus, dengan perlawanan mereka terhadap pembaruan teknologi yang mengurangi jumlah pekerja -- adalah penghambat gerak maju perekonomian.
Thatcher menendang dan mengubah. Ia tak ingin meneruskan Inggris yang sejak awal abad ke-20 menyediakan anggaran besar untuk melindungi orang yang tak bisa produktif. Ia tak percaya Negara harus membantu mereka yang miskin dan yang lanjut usia. Sebuah walfare state baginya adalah kedermawanan yang tak pada tempatnya.
Bersama itu, Thatcher menghentikan peran Negara dalam perekonomian. Pasar bebas akan lebih efisien membereskannya. Katanya, sebagai gaung dari pemikiran Adam Smith: "Rakyat harus mengurus diri sendiri dulu, kemudian mengurus orang lain." Birokrasi negara lebih baik diam.
Dengan itu ia memang berhasil membangkitkan produktifitas nasional. Menurut survei OECD, Inggris, yang pernah berada di peringkat ke -12 dalam bidang manufaktur, naik ke peringkat ke-5 dalam periode 1979-1994. Bahkan memasuki 2007, produktifitas per kepala di seluruh perekononomian sederajat dengan Jerman. Terapi Thatcher yang menggebrak terbukti manjur.
Tapi gebrakan itu juga melanjutkan politik sebagai antagonisme sosial. Jurang antara yang miskin dan yang kaya melebar; di Eropa, Inggris jadi negeri yang paling parah ketimpangan sosial-ekonominya. Ia memang bukan lagi "Si Sakit dari Eropa", namun jumlah penganggur naik dari sekitar 4% jadi di atas 9%. Orang yang hidup di bawah garis kemiskinan meningkat sampai di atas 22%.
Thatcher telah menghentikan sosialisme sebagai sebuah utopia. Tapi dengan segera sosialisme jadi sebuah nostalgia -- kenangan tentang sebuah masa ketika "masyarakat" bukan sebuah ilusi dan kebersamaan menenteramkan.
Tentu, kapitalisme bisa lebih efisien dan efektif menyediakan barang dan benda yang diimpikan orang ramai. Tapi ada yang luput dilihat: apa yang disebut Fred Hirsch sebagai "social limits to growth", batas sosial pertumbuhan ekonomi. Ketika kian banyak orang memperoleh benda dan barang yang langka, baik mobil BMW maupun gelar akademik, ketika itu pula mereka yang memperolehnya belakangan tak lagi merasakan keistimewaannya. Bahkan yang mereka alami adalah jalan ke arah sukses yang desak-mendesak dan lowongan di lapisan atas yang makin sempit. Dan frustrasi datang kembali.
Frustrasi itu menunjukkan bahwa kapitalisme, yang mengukuhkan jor-joran dan rasa iri, juga sebuah janji yang salah. Pandangan dunia ala Thatcher menganggap kebersamaan atau bebrayan hanya impian manis. Tak dilihat bahwa dalam masyarakat ada dimensi politik yang lain, bukan hanya antagonisme.
Chantal Mouffe, pemikir politik yang memaparkan perjuangan politik sebagai ekspresi anti-konsensus (dengan kata lain: dis-sensus), juga mengakui: meskipun antagonisme tak bisa hilang dari kehidupan sosial, ada saat-saat bagi "agonisme". Agon, dalam kamus sejarah Yunani, mengacu ke pertandingan atletik. Seperti pertandingan atletik, tujuan pergulatan politik adalah mengalahkan liyan, namun akan kehilangan makna ketika liyan itu musnah.
Mungkin Thatcher lupa akan hal itu. Meskipun ketika pertama kali hendak memasuki kantor Perdana Menteri, Downing Street 10, ia mengutip kata-kata orang suci dari Assisi: "Di mana ada pertikaian, kita bisa membawa keselarasan".
Goenawan Mohamad
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo