Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Purbaya Yudhi Sadewa*
Kuatnya pertumbuhan ekonomi Indonesia membuat konsumsi bahan bakar minyak meningkat secara signifikan. Akibatnya, subsidi BBM mulai menekan anggaran pemerintah. Beberapa opsi kebijakan tengah dipertimbangkan untuk mengurangi beban anggaran. Apakah harga BBM sudah harus dinaikkan?
Subsidi BBM yang mencapai Rp 146,5 triliun dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara 2013 (diperkirakan akan terlampaui) membuat sebagian kalangan meminta pemerintah segera menaikkan harga BBM bersubsidi. Media, pengamat, analis, bahkan pengusaha beramai-ramai menyampaikan suara senada. Padahal kalau kita lihat ke belakang, menjelang April 2012, ketika pemerintah berupaya menaikkan harga BBM, hampir semua media menyalahkan kebijakan tersebut. Para pengamat pun bungkam. Mereka seolah-olah takut menghadapi protes yang marak kala itu.
Apakah keadaan sudah sedemikian berubah sehingga mereka tiba-tiba menjadi pendukung yang amat bersemangat terhadap kebijakan kenaikan harga BBM?
Kementerian Keuangan telah menghitung kondisi APBN kita dengan beberapa skenario yang mungkin terjadi. Hasilnya kurang menggembirakan. Menurut salah satu skenario tersebut, dalam keadaan seperti saat ini (harga minyak dunia bertahan pada level yang tinggi, pertumbuhan ekonomi lebih rendah daripada perkiraan semula, tidak ada peningkatan efisiensi pengumpulan pajak, lifting minyak yang terus turun, dan rupiah yang cenderung lemah), rasio defisit anggaran kita terhadap produk domestik bruto dapat melebihi angka 3,7 persen. Padahal batas maksimal defisit yang diperbolehkan oleh undang-undang adalah 3 persen dari PDB. Jadi, menurut skenario tersebut, pemerintah akan melanggar undang-undang.
Ada kekhawatiran pula bahwa kepercayaan terhadap APBN kita akan runtuh bila defisit anggaran tidak segera dikendalikan. Bila hal ini terjadi, ada kemungkinan investor asing akan menarik dananya dari Indonesia. Akibatnya, bursa saham kita akan terkoreksi, harga obligasi akan tertekan, dan rupiah semakin mengalami pelemahan yang signifikan. Karena itu, anggaran kita perlu dibenahi. Dan tampaknya cara yang paling mudah adalah dengan menaikkan harga BBM bersubsidi.
Namun kebijakan tersebut harus dilakukan dengan cermat karena dapat menimbulkan dampak negatif yang signifikan terhadap perekonomian. Kenaikan harga BBM akan menaikkan biaya transportasi barang, yang dengan otomatis akan menaikkan harga semua barang di perekonomian kita. Alhasil, inflasi dapat meningkat dengan signifikan (tergantung besarnya kenaikan harga BBM). Daya beli masyarakat pun akan tergerus.
Mengingat kontribusi belanja rumah tangga terhadap ekonomi kita mencapai 55 persen, tergerusnya daya beli akan memberi dampak negatif yang cukup signifikan terhadap perekonomian. Menurut data Coincident Economic Index (indeks yang menunjukkan kondisi perekonomian pada suatu saat) yang dimiliki Danareksa, di masa lalu aktivitas perekonomian akan cenderung stagnan (bahkan menurun) selama sekitar sembilan bulan setelah kenaikan harga BBM.
Sialnya, di tengah kondisi perekonomian global yang masih relatif lesu seperti saat ini, sulit mengharapkan ekspor untuk dapat menggantikan mesin pertumbuhan domestik yang melambat. Artinya, bila kurang hati-hati, kita dapat membunuh momentum pertumbuhan ekonomi yang saat ini sedang terjadi.
Keadaan di atas menunjukkan bahwa kebijakan menaikkan harga BBM bersubsidi memang bukan keputusan yang mudah. Tidaklah terlalu mengherankan bila pemerintah tampak seolah-olah bingung untuk menentukan langkah yang akan diambil berkaitan dengan kebijakan pengurangan subsidi BBM.
Saat ini ada beberapa opsi kebijakan yang ada di tangan pemerintah. Ada yang berasal dari perhitungan pemerintah sendiri (Kementerian Keuangan serta Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral). Ada pula masukan dari Komite Ekonomi Nasional.
Salah satu skenario Kementerian Keuangan yang beredar di media adalah pemerintah menaikkan harga BBM (sekitar Rp 1.000 per liter), dibarengi dengan pembatasan konsumsi BBM secara bertahap (dimulai dari Jabodetabek). Selain itu, akan diperkenalkan BBM baru dengan harga antara Premium dan Pertamax. Namun tidak ada kompensasi untuk golongan miskin (misalnya bantuan langsung tunai alias BLT).
Kebijakan tersebut diperkirakan, mampu menekan defisit anggaran ke level yang aman. Tapi, menurut perhitungan Danareksa Research Institute, hal itu akan menimbulkan inflasi tambahan sekitar 1,67 persen.
Adapun Komite Ekonomi mengusulkan kebijakan pembatasan untuk kendaraan pribadi, tanpa ada kenaikan harga BBM. Kendaraan pribadi (di seluruh Indonesia) tidak lagi diperbolehkan mengkonsumsi BBM bersubsidi. Tapi kendaraan angkutan barang (pelat kuning) dan kendaraan roda dua masih diperbolehkan mengkonsumsi BBM bersubsidi. Angkutan barang yang berpelat hitam harus diubah kuning untuk dapat mengkonsumsi BBM bersubsidi.
Kebijakan tersebut akan menghemat subsidi dengan signifikan dan akan menurunkan defisit anggaran ke tingkat yang lebih aman. Pada saat bersamaan, pilihan kebijakan ini tidak menimbulkan tekanan inflasi yang berlebihan (di bawah 0,5 persen menurut perhitungan Komite Ekonomi). Akibatnya, daya beli masyarakat tidak terganggu secara signifikan dan golongan miskin pun tidak terlalu terbebani oleh kebijakan tersebut.
Namun sebagian kalangan memandang kebijakan tersebut sulit diimplementasikan. Hal ini diindikasikan, antara lain, oleh relatif kecilnya dampak uji coba kebijakan pembatasan konsumsi BBM yang sudah dilakukan Pertamina selama ini.
Kesimpulan tersebut tampaknya belum memiliki landasan yang kuat. Selama ini kita belum melihat upaya yang benar-benar serius untuk menjalankan pembatasan konsumsi (walaupun dalam tahap uji coba). Kita harus ingat pengalaman konversi konsumsi minyak tanah ke gas. Pada awalnya banyak kalangan skeptis akan keberhasilan program tersebut. Pada kenyataannya, program tersebut dapat berjalan dengan amat baik hingga saat ini. Keseriusan implementasi program konversi minyak tanah ke gas tersebut menjadi kunci keberhasilannya. Alhasil, ruang keberhasilan bagi implementasi kebijakan pembatasan BBM (yang notabene lebih sederhana daripada program konversi minyak tanah ke gas) masih terbuka.
Manakah yang lebih baik dari dua pilihan di atas? Sebenarnya dua opsi tersebut cukup baik. Dua pilihan kebijakan tersebut akan memberi dampak positif terhadap APBN, karena besarnya subsidi akan turun signifikan. Hal terpenting bagi perekonomian kita saat ini adalah keputusan harus diambil sesegera mungkin. Ekonom, analis, dan investor di pasar modal sudah lama menunggu keputusan pemerintah yang berkaitan dengan subsidi BBM. Langkah yang mana pun, selama dapat menekan subsidi BBM dan membuat anggaran kita lebih baik, akan dinilai positif oleh pasar, ekonom, dan pengamat.
Walaupun demikian, ada satu catatan penting yang harus benar-benar diperhatikan oleh pemerintah, yaitu masalah penyerapan anggaran. Kita semua tahu bahwa penyerapan anggaran pemerintah dalam beberapa tahun terakhir ini masih jauh dari optimal. Sejak 2008 hingga kini, selalu tersisa dana anggaran yang tidak terpakai dalam jumlah besar (terkadang hingga mencapai 10 persen dari anggaran).
Tanpa perbaikan penyerapan anggaran tersebut, langkah-langkah untuk menghemat subsidi menjadi kurang berguna, karena pada akhirnya hanya akan menambah uang APBN yang tidak terpakai (dan defisit anggaran akan jauh lebih kecil daripada angka-angka simulasi Kementerian Keuangan). Akibatnya, kebijakan penghematan tersebut hanya akan menimbulkan tekanan inflasi tambahan yang menggerus daya beli. Sementara itu, kita kurang dapat mengharapkan dorongan tambahan dari sisi fiskal (dalam bentuk belanja infrastruktur misalnya), karena ada masalah dalam membelanjakan anggaran dengan baik.
Jadi, bila pemerintah dapat memperbaiki penyerapan anggaran, tidak perlu ragu untuk segera melaksanakan kebijakan pengurangan subsidi BBM, termasuk menaikkan harga. Tapi, bila masih ada masalah dalam penyerapan anggaran, rasanya belum cukup alasan untuk mengurangi subsidi BBM secara agresif.
*) Kepala Ekonom Danareksa Research Institute
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo