Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Trump dan Dataran Tinggi Golan

Di bawah pemerintahan Presiden Amerika Serikat Donald Trump, kebijakan negara itu di Timur Tengah sulit dipahami.

2 April 2019 | 07.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Presiden AS Donald Trump memberikan dekrit kepada PM Israel Benjamin Netanyahu, yang mengakui Dataran Tinggi Golan milik Israel, 25 Maret 2019.[REUTERS]

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Smith Alhadar
Direktur Eksekutif Institute for Democracy Education.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Di bawah pemerintahan Presiden Amerika Serikat Donald Trump, kebijakan negara itu di Timur Tengah sulit dipahami. Setelah mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Israel, yang disusul dengan pemindahan Kedutaan Besar Amerika ke kota tersebut pada Mei tahun lalu, Trump memproklamasikan Dataran Tinggi Golan sebagai milik Israel. Kedua tindakan ini dikecam dunia internasional. Pasalnya, baik Yerusalem timur, yang ingin menjadi ibu kota negara Palestina ketika merdeka kelak, maupun Golan, adalah milik Suriah dan diakui Dewan Keamanan PBB sebagai wilayah pendudukan. Kebijakan Trump ini menghambat proses perdamaian Arab-Israel dan mendestabilkan kawasan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Padahal salah satu alasan Amerika menarik diri dari kesepakatan nuklir Iran adalah tuduhan bahwa rezim mullah itu merupakan pembuat onar di Timur Tengah. Iran memang mendukung milisi-milisi Syiah di Irak, Suriah, Libanon, dan Yaman. Bahkan mereka mendukung Hamas dan Jihad Islami, bersama Hizbullah di Libanon, yang dicap sebagai kelompok teroris oleh Amerika.

Namun kebijakan Amerika terhadap Arab belakangan ini dipandang lebih mencemaskan. Guna memeras Palestina lebih jauh, Amerika menghentikan pasokan dana ke Badan Sosial dan Pekerja PBB (UNRWA) yang mengurus pengungsi Palestina. Ini menunjukkan bahwa Amerika tidak mengakui lagi keberadaan 5,9 juta pengungsi Palestina. Selain itu, Amerika menutup kantor Organisasi Pembebasan Palestina (PLO) di Washington. Yang terakhir, laporan tahunan tentang hak asasi manusia yang dikeluarkan Departemen Luar Negeri Amerika pada 13 Maret lalu secara mengejutkan tidak menyebut Tepi Barat, Jalur Gaza, dan Golan sebagai "wilayah pendudukan". Wilayah-wilayah itu hanya disebut sebagai wilayah yang berada dalam kontrol Israel.

Ada dua tujuan yang ingin dicapai pemerintahan Trump terkait dengan kebijakannya terhadap Palestina dan Suriah. Pertama, dengan mengeluarkan isu Yerusalem dan pengungsi Palestina dari agenda perdamaian, diharapkan perdamaian Israel-Palestina bisa terwujud melalui "kesepakatan abad ini", yang akan disajikan Amerika seusai pemilihan umum Israel.

Kedua, pengakuan Amerika atas Golan sebagai milik Israel diharapkan akan mendongkrak dukungan terhadap petahana Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu dalam pemilihan umum pada 9 April mendatang. Ini juga dilakukan untuk keperluan elektoral Trump dalam pemilihan presiden Amerika tahun depan dengan menarik suara Kristen evangelis yang mendukung Israel. Jumlah pengikut evangelis di Amerika sebesar 25 persen, dan dalam pemilihan Presiden Amerika 2016 mereka menentukan kemenangan Trump.

Kebijakan Negeri Abang Sam yang terang-terangan memihak Israel ketika berurusan dengan Arab ini dipicu oleh fakta bahwa negara-negara Arab garda depan, seperti Mesir, Arab Saudi, dan Yordania, membisu saat Amerika pada Desember 2017 mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Israel, yang disusul dengan pemindahan Kedutaan Besar Amerika dari Tel Aviv ke Yerusalem pada Mei tahun lalu. Negara-negara Arab tersebut, bersama Uni Emirat Arab dan Bahrain, melihat isu Palestina kini hanya menjadi beban.

Akibat isu itu, mereka tidak bisa membuka hubungan diplomatik resmi dengan Israel. Padahal Israel, karena superioritas militernya, sangat dibutuhkan untuk menghadapi Iran. Israel juga memiliki teknologi tinggi yang sangat dibutuhkan, terutama bagi Arab Saudi, dalam memajukan Visi 2030. Hal yang juga penting adalah posisi Israel sebagai anak emas Amerika. Negara-negara Arab sekutu Amerika tersebut ingin menggeser isu Palestina ke isu bahaya Iran. Dengan sponsor Amerika, mereka membentuk aliansi dengan Israel untuk menghadapi Iran.

Trump rupanya yakin bahwa besarnya pengaruh Amerika terhadap rezim-rezim Arab itu, berdasarkan kelangsungan kekuasaan mereka, akan memaksa mereka mendukung apa pun kebijakan yang diambilnya. Tapi ia keliru. Liga Arab langsung bereaksi keras terhadap penyangkalan Amerika atas Golan sebagai milik Suriah. Penolakan Arab ini, sebagaimana penentangan mereka terhadap pengakuan Amerika atas Yerusalem sebagai milik Israel, didukung komunitas internasional. Pasalnya, langkah-langkah itu melanggar Resolusi Dewan Keamanan PBB. Kalau dibiarkan, akan terjadi hukum rimba di pentas internasional, destabilisasi kawasan, dan ancaman perdamaian dunia.

Kebijakan Amerika itu kini menjadi kontraproduktif bagi kepentingannya sendiri. Konsep "kesepakatan abad ini"ketika Palestina akan kehilangan Yerusalem timur, hak pulang bagi pengungsi, dan 50 persen Tepi Barattak akan didukung negara Arab mana pun. Demikian juga aneksasi Israel atas Golan. Baik Palestina maupun Suriah menentang keras kebijakan Amerika itu. Peluang perdamaian komprehensif Arab-Israel pun hilang selama Golan tetap diduduki Israel. Justru Iran, yang ingin diisolasi Amerika, yang akan mendapat legitimasi dunia Islam dalam penentangannya terhadap Israel.

Smith Alhadar

Smith Alhadar

Penasihat The Indonesian Society for Middle East Studies

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus