Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Trump akan membentuk departemen khusus, yakni Departemen Efisiensi Pemerintahan, untuk menjaga agar tidak ada kebijakan yang membebani aktivitas ekonomi dalam negeri.
Kebijakan efisiensi Trump ini menjadi sinyal bagi negara-negara yang mengharapkan investasi asing agar berfokus pada reformasi kebijakan dalam negeri.
Sama seperti kecepatan, pertumbuhan ekonomi adalah hasil, bukan sebab dari efisiensi.
DONALD Trump sudah dipastikan memenangi pemilihan Presiden Amerika Serikat. Terpilihnya kembali Trump ini sudah barang tentu akan sangat mempengaruhi ekonomi dunia ke depan. Apalagi Trump kelihatannya akan mengedepankan misi efisiensi ekonomi domestik di pemerintahannya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kebijakan itu bakal berdampak pada perekonomian, mengingat Amerika Serikat merupakan negara dengan ekonomi terbesar di dunia, dengan produk domestik bruto (PDB) sebesar US$ 27,4 triliun dan PDB per kapita US$ 82 ribu. Sebagai perbandingan, negara raksasa ekonomi lainnya, Tiongkok, memiliki PDB sebesar US$ 17,8 triliun dengan PDB per kapita US$ 12.600. Sedangkan Indonesia baru memiliki PDB sebesar US$ 1,4 triliun dengan PDB per kapita US$ 4.900.
Langkah efisiensi Trump ini mirip kebijakan Executive Order 12291 oleh Presiden Ronald Reagan dari Partai Republik, yang menjabat sejak 20 Januari 1981 hingga 20 Januari 1989. Dalam kebijakan ini, Reagan meminta jajarannya melengkapi setiap kebijakan dengan analisis dampak kebijakan (regulatory impact assessment).
Sementara itu, Trump akan membentuk departemen khusus, yakni Departemen Efisiensi Pemerintahan (Department of Government Efficiency), untuk menjaga agar tidak ada kebijakan yang membebani aktivitas ekonomi dalam negeri. Trump menunjuk dua pendukung dekatnya, yakni pengusaha sekaligus orang terkaya di dunia, Elon Musk, dan pengusaha bioteknologi sukses Vivek Ramaswamy, untuk memimpin departemen ini menjalankan reformasi kebijakan.
Sejarah menunjukkan, pada periode Ronald Reagan, ekonomi dunia memasuki era reformasi kebijakan di mana deregulasi dan debirokratisasi dilakukan untuk mendorong efisiensi ekonomi. Bukan hanya di Amerika Serikat, Inggris dengan Perdana Menteri Margaret Thatcher juga berfokus pada reformasi kebijakan untuk efisiensi ekonomi.
Pemikiran ekonom Milton Friedman mendasari reformasi kebijakan ini. Kini Amerika Serikat kembali fokus dengan reformasi kebijakan dalam negeri dan menjadi sinyal bagi negara-negara yang mengharapkan investasi asing agar berfokus pada reformasi kebijakan dalam negeri.
Salah satu indikator efisiensi ekonomi negara adalah incremental capital output ratio atau (ICOR). Indikator ini menunjukkan berapa banyak modal yang dibutuhkan untuk menghasilkan kenaikan output sebesar satu unit. Artinya, makin rendah ICOR, makin efisien pula investasi, sehingga makin tinggi pertumbuhan ekonomi.
Indikator ICOR serupa dengan istilah "pace" dalam olahraga lari, yang merujuk pada berapa lama waktu yang dibutuhkan pelari untuk mencapai 1 kilometer. Indikator ICOR dan pace pada dasarnya adalah petunjuk efisiensi untuk tujuan tertentu. Sementara tujuan ICOR adalah pertumbuhan ekonomi, tujuan pace adalah kecepatan. Sama seperti kecepatan, pertumbuhan ekonomi adalah hasil, bukan sebab dari efisiensi. Maka, bila ingin ekonomi tumbuh tinggi, yang terpenting adalah berfokus pada efisiensi kebijakan ekonomi, bukan pada pertumbuhan ekonominya.
Agar setiap pemerintah dapat memahami apa itu kebijakan ekonomi yang efisien dan bisa membandingkannya antarnegara, pada 3 Oktober 2024 Bank Dunia meluncurkan sederet indikator untuk menilai efisiensi kebijakan ekonomi. Indikator yang dinamakan Business Ready ini terdiri atas tiga pilar besar: kerangka regulasi (regulatory framework), pelayanan publik (public services), dan efisiensi pelaksanaan (operational efficiency).
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ketiga pilar ini mengandung total 65 indikator untuk 10 variabel bisnis, dari bagaimana memulai usaha (business entry) hingga bagaimana menghentikan usaha (business insolvency). Bila diurutkan dari yang terlemah, Indonesia perlu mereformasi pilar efisiensi pelaksanaan kebijakan, diikuti dengan peningkatan kualitas pelayanan publik, dan kemudian penguatan kerangka regulasi.
Amerika Serikat dan Tiongkok adalah dua mitra ekonomi terkuat Indonesia. Kombinasi pengukuran 15 variabel makroekonomi dengan V-Indeks (Verico, K., International Journal of Trade and Global Markets, 2024) membuktikan bahwa kedua negara ini adalah episentrum terkuat ekonomi Indonesia sebelum Asia Tenggara, Australia, dan Korea Selatan. Apabila hambatan perdagangan antarkedua negara meningkat, Indonesia harus mengantisipasi kenaikan volume impor dari Tiongkok.
Agar tetap relevan dalam geoekonomi dunia, Indonesia harus sensitif terhadap pergerakan episentrum geopolitik, terutama bilateral Amerika Serikat dan Tiongkok. Perang ekonomi antarkedua negara yang terjadi sejak perang mata uang (currency wars) pada 2007, perang dagang (trade wars) pada 2017, dan kemungkinan akan berlanjut, membuat Indonesia harus mencari posisi netral tapi responsif terhadap perubahan.
Dari kombinasi geoekonomi dan geopolitik itu terdapat tiga indikator utama yang harus dijaga kestabilan relatifnya, yaitu laju inflasi, nilai tukar rupiah, dan kemandirian moneter. Fondasi dari ketiga indikator ini adalah produktivitas ekonomi dalam negeri, khususnya penciptaan lapangan kerja dan investasi asing.
Pada akhirnya, setiap negara akan kembali pada pentingnya reformasi kebijakan untuk efisiensi ekonomi dalam negeri seperti yang juga akan menjadi fokus pemerintah Amerika Serikat di bawah kepemimpinan Trump.
Redaksi menerima tulisan opini dari luar dengan syarat: panjang sekitar 5.000 karakter (termasuk spasi) atau 600 kata dan tidak sedang dikirim ke media lain. Sumber rujukan disebutkan lengkap pada tubuh tulisan. Kirim tulisan ke e-mail: [email protected] disertai dengan foto profil, nomor kontak, dan CV ringkas.