Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
ASDP mengakuisisi saham PT Jembatan Nusantara dengan harapan menjadi pemain utama transportasi antarpulau.
Kondisi perusahaan Jembatan Nusantara dalam keadaan memburuk pada saat pembelian tersebut.
Kementerian BUMN dinilai membiarkan transaksi yang berpotensi merugikan tersebut.
KISRUH akuisisi PT ASDP Indonesia Ferry (Persero) terhadap PT Jembatan Nusantara senilai Rp 1,2 triliun semestinya tidak terjadi jika Kementerian Badan Usaha Milik Negara lebih ketat melakukan pengawasan. Aksi korporasi jumbo perusahaan transportasi antarpulau tersebut tidak mungkin terlaksana tanpa seizin pemegang saham mayoritas.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
ASDP menandatangani perjanjian pembelian 100 persen saham Jembatan Nusantara pada Februari lalu. Melalui transaksi ini, perseroan mendapat tambahan 53 unit kapal dan mengoperasikan enam jalur lintas feri jarak jauh (long distance ferry). Setelah akuisisi, total armada ASDP melonjak menjadi 219 unit kapal.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Namun akuisisi itu menimbulkan masalah baru karena ASDP kelebihan armada, yang menambah beban perusahaan. Alih-alih menjadi pemain utama transportasi laut, kelebihan kapal membuat kegiatan operasional perseroan tidak produktif. Di dermaga reguler seperti Merak, Banten, misalnya, ada kapal ASDP yang hanya beroperasi 12 hari selama sebulan.
Selain harga akuisisi yang dinilai terlalu mahal, ternyata ASDP masih harus menanggung beban utang PT Jembatan Nusantara yang mencapai ratusan miliar rupiah. Adapun aset-aset PT Jembatan Nusantara tak sepenuhnya kinclong. Misalnya, sejumlah kapalnya ternyata berusia lebih tua dari armada milik ASDP dan tidak layak dibeli karena dalam kondisi rusak.
Dari pelbagai persoalan tersebut, timbul pertanyaan mengapa Kementerian BUMN begitu saja memberi izin. Lazimnya akuisisi oleh perusahaan negara mesti melalui proses uji tuntas (due diligence), yang hasilnya dilaporkan ke Kementerian BUMN. Termasuk penentuan harga pembelian saham dalam transaksi itu.
Bukan tanpa alasan munculnya syak wasangka kepada Kementerian BUMN dalam polemik transaksi ASDP ini. Pada 2016, Kementerian BUMN diketahui memaksa dua perusahaan negara, yakni PT Perkebunan Nusantara (PTPN) dan PT Rajawali Nusantara Indonesia (RNI), mengambil alih pabrik gula PT Gendhis Multi Manis.
Kinerja keuangan Gendhis pada saat akuisisi tersebut dalam kondisi berdarah-darah, sejak pemerintah menyetop izin impor gula mentah. Masalah lain, Gendhis saat itu memiliki utang ke PT Bank Rakyat Indonesia senilai Rp 900 miliar. Saat itu mencuat kabar dua BUMN tersebut diperintahkan membeli PT Gendhis hanya untuk menyelamatkan BRI agar tidak tersapu kredit macet pabrik gula itu.
Indikasi itu diperkuat kajian internal PTPN dan RNI yang menyimpulkan Gendhis tidak layak diakuisisi. Ujung-ujungnya, Perusahaan Umum Badan Urusan Logistik yang akhirnya terpaksa membeli 70 persen saham Gendhis senilai Rp 77 miliar. Transaksi tersebut kemudian terbukti tidak memberikan keuntungan optimal kepada Bulog seperti yang didengung-dengungkan sejak awal.
Sebagai badan usaha, aksi korporasi membeli perusahaan lain merupakan langkah tepat untuk melebarkan sayap bisnis perusahaan secara anorganik. Jalan pintas itu bisa diambil karena mengembangkan perusahaan negara secara organik membutuhkan waktu lama. Kendati begitu, Kementerian BUMN mesti memastikan transaksi tersebut dilakukan secara hati-hati, transparan, dan patuh pada kaidah tata kelola perusahaan yang baik.
Artikel:
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo