Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
MERIUNG di kantor Kementerian Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan, Ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Ahmad Taufan Damanik berdiskusi dengan Muhammad Prasetyo, Jaksa Agung periode 2014-2019. Mereka membicarakan penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat. Menurut Taufan, saat itu Prasetyo mengusulkan penuntasan kasus Paniai, Papua Tengah.
“Saya setuju dan langsung bersalaman dengan Pak Prasetyo,” kata Taufan menceritakan ulang pertemuan itu kepada Tempo di kantornya, Rabu, 31 Agustus lalu. Ketua Komnas HAM 2017-2022 itu menyatakan pertemuan tersebut terjadi sebelum lembaganya memutuskan kasus Paniai sebagai pelanggaran HAM berat pada Februari 2020.
Menurut Taufan, kasus Paniai paling mungkin diselesaikan melalui mekanisme pengadilan HAM ad hoc. Adapun kasus lain seperti pembunuhan massal 1965 dinilai terlalu rumit karena saksi dan korban sudah berumur atau enggan berbicara serta berpotensi memicu polemik.
Peristiwa Paniai terjadi pada 8 Desember 2014 ketika warga berdemonstrasi di Lapangan Karel Gobai, Enarotali. Mereka memprotes penganiayaan yang dilakukan personel Tentara Nasional Indonesia terhadap pemuda setempat sehari sebelumnya. Massa lantas melempari pos polisi dan militer dengan batu yang dibalas dengan tembakan. Empat warga sipil tewas dan 21 orang lainnya terluka.
Komnas HAM menyelidiki kasus Paniai selama lebih dari lima tahun. Mereka memanggil sejumlah petinggi pemerintah yang menjabat saat peristiwa Paniai terjadi. Di antaranya Panglima Tentara Nasional Indonesia 2013-2015, Moeldoko, serta Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan 2014-2015, Tedjo Edhy Purdijatno.
Ketua tim ad hoc Paniai, Choirul Anam, menjelaskan, pemanggilan dan pemeriksaan petinggi pemerintahan merupakan prosedur yang harus ditempuh timnya. “Mereka bisa menerangkan apa yang terjadi saat peristiwa itu,” kata Anam.
Anam mengungkapkan pemeriksaan para petinggi pemerintahan bertujuan mendapat latar belakang kebijakan dan struktur komando saat insiden Paniai meletus. Tim pemeriksa pun mendapat data pendukung setelah bertemu dengan para pejabat tersebut. Salah satunya video yang merekam momen sebelum kerusuhan pecah.
Menurut Anam, rekaman video itu antara lain memuat bunyi tembakan yang berasal dari salah satu jalan menuju Lapangan Karel Gobai, bukan di lapangan yang menjadi tempat berkumpulnya massa. “Bahan tersebut membantu kami menilai kasus Paniai sebagai pelanggaran hak asasi yang berat atau tidak,” tuturnya.
Moeldoko mengakui telah diperiksa tim penyelidik Komnas HAM. Kepada pemeriksa, lulusan Akademi Militer 1981 tersebut mengatakan operasi militer di Papua bertujuan membina teritorial, menjaga perbatasan, dan membantu polisi ketika menggelar patroli wilayah.
Kepala Kantor Staf Presiden ini menuturkan, laporan yang ia terima saat itu menerangkan ada serangan mendadak dari kelompok masyarakat. Serbuan itu disusul dengan tembakan dari arah belakang pasukan. “Anggota Koramil mengamankan dan mencegah serangan tersebut,” kata Moeldoko kepada Tempo pada Kamis, 1 September lalu.
Adapun Tedjo Edhy Purdijatno memberi keterangan kepada tim ad hoc Paniai karena sempat membentuk tim gabungan untuk menginvestigasi peristiwa tersebut. Kinerja tim tersebut dipaparkan Tedjo kepada para pemeriksa.
Tedjo mengklaim tak mengetahui hasil akhir penyelidikan tim gabungan karena ia dicopot Presiden Jokowi pada Agustus 2015. “Mereka masih bekerja di Papua ketika saya digantikan Pak Luhut Pandjaitan,” ujar mantan Kepala Staf TNI Angkatan Laut ini melalui pesan WhatsApp pada Sabtu, 3 September lalu.
Pada Februari 2020, Komnas HAM menetapkan peristiwa Paniai sebagai pelanggaran hak asasi manusia berat dalam sidang paripurna khusus. Tim ad hoc yang dibentuk Komnas HAM menemukan ada kejahatan kemanusiaan yang menyebabkan warga Paniai meninggal dan terluka. Namun hingga sekarang pengadilan HAM kasus Paniai belum dimulai.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ketua Komnas HAM RI, Ahmad Taufan Damanik (ketiga kanan) melakukan audiensi dengan Amnesty Internasional Indonesia dan Majelis Rakyat Papua (MRP) di Kantor Komnas HAM RI, Jakarta, 11 Maret 2022. TEMPO/Faisal Ramadhan
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ketua Komnas HAM Ahmad Taufan Damanik mengatakan pengusutan kasus Paniai terbilang lambat meski sudah dinyatakan sebagai kejahatan kemanusiaan. Para komisioner Komnas HAM berkali-kali menggelar rapat dengan Presiden Joko Widodo; Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud Md.; serta Menteri Sekretaris Negara Pratikno.
Komisioner Komnas HAM berupaya meyakinkan Jokowi untuk mendorong peristiwa Paniai sampai ke pengadilan. Kepada Jokowi dan orang-orang dekatnya, Taufan mengatakan, “Bapak Presiden harus ada legasi. Komnas HAM juga tak punya legasi jika situasinya seperti ini terus.”
Kepala Perwakilan Komnas HAM Papua Frits Ramandey bercerita, ia sempat mengalami kesulitan menemui para prajurit yang bertugas saat insiden Paniai. Ia beberapa kali meminta agar personel tersebut dihadirkan dan memberi keterangan kepada tim pemeriksa. Alih-alih mengirim prajuritnya, Markas Komando Daerah Militer Cenderawasih mengutus perwira bagian hukum.
Belakangan, Panglima TNI dan Kepala Kepolisian RI menyilakan tim ad hoc kasus Paniai memeriksa personelnya. Frits beberapa kali hadir dalam pemeriksaan prajurit TNI dan Polri di Kejaksaan Tinggi Papua di Jayapura. “Personel yang datang berpangkat perwira pertama sampai menengah,” ujar Frits.
Pada Juni lalu, Kejaksaan Agung melimpahkan berkas perkara kasus Paniai ke Pengadilan Negeri Makassar dengan terdakwa IS, purnawirawan mayor. Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung Ketut Sumedana menyebutkan pelanggaran hak asasi terjadi di Paniai karena komando militer tak berjalan efektif. Pelakunya pun tak segera diserahkan ke pejabat berwenang.
Sikap Kejaksaan Agung yang hanya menetapkan tersangka tunggal menuai kritik. Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan, Fatia Maulidiyanti, mengatakan ada pihak lain yang seharusnya menjadi tersangka. “Komnas HAM menyebutkan kategori pelaku seperti pembuat kebijakan, komandan lapangan, dan pelaku lapangan,” katanya.
Komisioner Komnas HAM, Amiruddin Al Rahab, mendorong pengadilan kasus Paniai dapat mengusut hingga pejabat yang paling bertanggung jawab. Ia mengungkapkan satu terdakwa dalam kasus ini cuma berpangkat mayor dan menjadi perwira penghubung komando distrik militer. Perwira penghubung dinilai tak punya kewenangan memerintahkan pengerahan pasukan batalion.
Menurut Amiruddin, prajurit yang mengomandani batalion dalam kasus Paniai merupakan pihak yang harus bertanggung jawab. “Pasukan itu dikerahkan karena daerah tersebut dianggap rawan,” tuturnya.
BUDIARTI UTAMI PUTRI, MUTIA YUANTISYA
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo