Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DI tengah mandeknya kasus hak asasi manusia berat yang dibawa ke pengadilan, Presiden Joko Widodo membentuk Tim Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu. Meski tim ini berpotensi memutihkan dosa para pelanggar HAM berat, Ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Ahmad Taufan Damanik mendukung mekanisme non yudisial tersebut.
Kepada Tempo, Taufan menjelaskan sikap Komnas HAM ihwal upaya penyelesaian kasus hak asasi berat masa lalu. Wawancara Ketua Komnas HAM berlangsung pada 31 Agustus 2022.
Apakah Komnas terlibat dalam pembentukan Tim Penyelesaian Non Yudisial Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu?
Kami tidak terlibat. Tapi soal gagasannya, sejak awal kami diajak bicara.
Seperti apa gagasan tersebut?
Pertama, mendesak Presiden memerintahkan Jaksa Agung mengangkat satu atau dua kasus HAM berat ke pengadilan. Disepakati kasus Paniai yang diangkat. Di sisi lain, kami berdiskusi dengan pemerintah tentang mekanisme non-yudisial. Jika non-yudisial dijalankan, bukan berarti langkah yudisial ditutup.
Kedua, keputusan presiden ini jembatan ke pembahasan Rancangan Undang-Undang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi. Pak Yasonna Laoly (Menteri Hukum dan HAM) mendorong pembentukan Rancangan Undang-Undang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi, tapi belum tahu kapan selesai. Kami cenderung kepada kepres karena itu domain Presiden.
Baca: Bagaimana Menyelesaikan Pelanggaran HAM Berat?
Mengapa Komnas mendukung pembentukan Tim Non Yudisial?
Itu pilihan paling realistis untuk mengatasi kemandekan penuntasan kasus pelanggaran HAM berat masa lalu. Kepada keluarga korban yang menolak, kami menegaskan bahwa tidak berarti opsi yudisial ditutup. Ada kelompok korban berharap keputusan itu dikeluarkan segera karena mereka sudah berusia lanjut, tidak tahu kapan dipanggil Tuhan. Rasanya masih jauh jika menunggu proses pengadilan.
Ada kekhawatiran kepres ini memutihkan dosa pelaku pelanggar HAM berat.
Proses yudisialnya kan tidak ditutup. Memang tak ada jaminan apa pun. Tapi kalau kita tiadakan non-yudisialnya, mana yang ke pengadilan? Hampir lima tahun Komnas HAM periode ini mati-matian berjuang, baru kasus Paniai yang masuk ke pengadilan. Langkah non-yudisial itu satu hal, langkah yudisial hal lain yang harus diperjuangkan terus. Keduanya tidak saling menegasi.
Banyak kritik dari pegiat HAM terhadap pembentukan tim non-yudisial ini.
Saya memahami dan tidak menyalahkan. Bagus jika makin banyak yang kritis, supaya Presiden jangan lari dari maksud diskusi gagasan dulu. Atau misalnya pemberian kompensasi menjadi bagi-bagi kue, itu juga tidak benar. Tapi jangan kita tolak sama sekali, nanti jalannya apa?
Bagaimana seharusnya Tim Non Yudisial bekerja?
Pertama, kebenaran harus tetap diungkap lebih dulu. Pengungkapan kebenaran itu harus merujuk pada hasil penyelidikan Komnas. Misalnya kasus 1965, kalau dibiarkan terbuka, banyak yang akan memojokkan kelompok korban. Maka pegangannya adalah hasil penyelidikan Komnas HAM. Kalau tidak, saya akan komplain.
Pembentukan Tim Non-Yudisial dianggap jalan pintas karena Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi tak kunjung terbentuk. Apa kesulitan pembahasan RUU KKR?
Saya kira ada kekuatan besar yang menolak. Kepres saja memerlukan waktu lama hingga diteken, RUU ini lebih sulit lagi. Kita harus meyakinkan kekuatan besar bahwa itu tak akan merusak tatanan kelembagaan siapa pun, justru menyehatkan.
Untuk kasus Paniai, proses hukumnya dinilai janggal karena hanya ada satu tersangka. Apa tanggapan Komnas?
Kepada tokoh-tokoh Papua, saya bilang kami pun kecewa. Tapi mari kita gunakan kesempatan ini untuk mendorong peradilan kepada pelaku lain. Daftar namanya ada di dokumen Komnas HAM.
Pengadilan HAM ad hoc dalam kasus Abepura, Timor Timur, dan Tanjung Priok, ujungnya justru membebaskan pelaku.
Kemungkinan persidangan Paniai berakhir seperti itu juga ada. Pertarungan masih berat. Namun ini juga ruang untuk mendorong peradilan yang lebih maksimal.
Penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat merupakan salah satu janji Presiden Jokowi. Bagaimana dorongan Komnas kepada Presiden?
Setiap berjumpa Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan atau Menteri Sekretaris Negara, kami meyakinkan bahwa harus ada legacy yang ditinggalkan Presiden. Kami dengar Presiden membawa isu itu ke sidang kabinet. Saat rapat kerja nasional Kejaksaan Agung, Presiden juga memberi arahan untuk menyelesaikan kasus pelanggaran HAM berat.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo