PAK Raden masih berjalan tegak bagaikan tokoh dalam film boneka
Si Unyil. Dia ulet menampik keuzuran.
Berapa umurnya? Kita tak tahu. Kubur mungkin sudah harus digali
tapi Pak Raden masih meneruskan joggingnya ke masa depan
bagaikan tengah mengikuti Proklamathon.
Barangkali dia memang alpa akan proses menua. Barangkali juga ia
bisa disebut "orang yang tak tahu diri." Tapi dia bisa juga
dipuji sebagai orang yang bersyukur. Agama memang mengajar
banyak tentang mati dan kefanaan, tapi juga membisiki kita untuk
berterimakasih karena karunia yang bernama hidup.
Sudah tentu Pak Raden kita ini agak lain dari banyak Pak Raden
lain yang kita kenal. Orang lain, di masyarakat kita umumnya
suka bila "dituakan". Itu artinya mendapatkan hak tambahan buat
rasa hormat. Tapi Pak Raden kita, entah oleh sebab apa, seperti
menyadari: mereka yang ingin dihormati karena tua pada dasarnya
hanya memberi bobot tinggi pada faktor pengalaman.
Dengan kata lain, pada masa lalu.
TAPI apakah masa lalu? "Masa lam pau bukanlah sebuah panorama
damai yang terbentang di belakangku, sebuah negeri yang bisa
kutempuh lagi bila kuingin, yang akan menunjukkan padaku,
berangsur-angsur, bukit dan lembah-lembahnya yang rahasia.
Sewaktu aku bergerak ke depan, masa lampau itu pun runtuh.
Sebagian besar reruntuhannya, yang masih dapat terlihat, tak
punya warna, mencong bentuknya, dan beku: maknanya lepas dari
diriku."
Itu adalah kata-kata Simone de Beauvoir dalam La Vieillesse atau
Old Age sebuah risalah panjang yang membahas perkara umur tua
dengan ketunusan seorang filosof dan kejernihan bahasa seorang
novelis. "Ada jalan-jalan di Uzervhe, Marseilles dan Rouen
tempat aku bisa berkelana, mengenali kembali rumahrumahnya dan
batu-batu itu namun tak akan pernah kutemukan kembali
rencana-rencanaku, harapan dan ketakutanku ...."
Tak semuanya benar. Masa lalu sering masih bisa dikunjungi lagi.
Batu-batunya yang menutup satu dua liang yang dulu tak berarti,
kini bisa diungkit, jadi detail menarik bagi suatu panorama yang
dulu cuma biasa. Simone de Beauvoir tak menyatakan suatu
kebenaran yang umum. Tapi memang: jalanan di Uzervhe dan
Marseilles itu tak bisa mengulangi kembali pengalaman masa silam
yang seutuhnya.
DI situlah orang tua sering tersesat. Ketika mereka ingin
menemukan makna hidupnya, rencana, harapan dan ketakutan di
jalanan di kota lama itu mereka cari untuk dihidupkan lagi. Tapi
yang didapat hanya beberapa pasang kupu-kupu yang diawetkan,
terekat Ai dalam sebuah kotak kaca: tak bergerak.
Sementara itu, bagi mereka masa depan sangat terbatas. Seperti
tulis Simone de Beauvoir pula, "Pada umur 65 seseorang tak
semata-mata 20 tahun lebih tua dari ketika ia berumur 45. Ia
telah menukar sebuah masa depan yang tak tertentu--dan orang
cenderung buat memandangnya sebagai tanpa batas--dengan sebuah
masa depan yang terbatas."
Barangkali karena itu, dalam diri Raja Lear dari lakon
Shakespeare yang termashur itu, usia tua nampak sebagai
kegilaan. Atau, setidaknya, sebuah pangkal kesalahan menilai:
sang raja yang baru akan turun tahta setelah demikian uzur
akhirnya mudah terpedaya oleh penilatan.
Biasa dimanjakan oleh masa silam dan cemas dilupakan masa depan,
Raja Lear pun menyingkirkan putrinya, Cordelia. Gadis ini
menolak untuk berlomba memuji-muji: ia bisa melihat realitas
dengan cara yang tak lagi bisa dilihat sang bapak.
Tentu saja siapa pun akan jadi sang bapak, terkena sindrom
Lear--juga Pak Raden. Tapi untuk sementara ini, orang tua ini
masih berjalan tegak, seperti mengutip sepotong sajak Saint-John
Perse "Usia tua, kau berjusta . . ."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini