KAMPANYE resmi pemilihan umum baru akan dimulai 15 Maret. Namun
semacam kampanye lain sudah gencar dilakukan menggebuk golput.
Itu bisa dilihat dari berbagai pernyataan beberapa tokoh
belakangan ini.
Menteri Dalam Negeri Amirmachmud yang suka bicara blak-blakan,
termasuk yang paling sengit menghantam golput. Dalam upacara
penandatanganan daftar calon tetap Pemilu 1982, 9 Eebruari
lalu, Mendagri mengingatkan, rakyat pemilih harus disadarkan dan
diyakinkan agar tidak terpengaruh oleh anjuran mereka yang
mengarah untuk tidak memberikan suaranya. Anjuran untuk tidak
memilih atau golput dianggapnya tindak pidana menyesatkan
rakyat. "Sebab itu mengikuti golput berarti menjerumuskan diri
ke dalam dosa," katanya.
Kurang dari sepuluh hari kemudian, di Pontianak, Amirmachmud
menyebut golput "orang munafik". Yang paling keras mungkin
pernyataan Mendagri tiga pekan lalu di depan ribuan masyarakat
Tasikmalaya (Jawa Barat). Para ulama diserukannya agar mengajak
masyarakat berbondong-bondong mendatangi tempat pemungutan suara
pada 4 Mei nanti "Jangan sampai mereka dihadang golongan putih,"
serunya. Mereka yang menganut golput "adalah orang-orang tidak
beriman dan tidak mensyukuri nikmat dari Tuhan."
Kritik terhadap golput juga dilancarkan beberapa pimpinan
parpol, antara lain Ketua Umum PDI Soenawar Soekawati dan ketua
Umum PPP John Naro. Tapi kecaman yang paling mengagetkan agaknya
datang dari kelompok ulama Jawa Barat yang bernaung dalam
Majelis Ta'lim Darul Ulum, pekan lalu. Menurut mereka, bersikap
golput dalam pemilu mendatang hukumnya "haram". Salah satu
alasannya kedengarannya aneh: karena "menguntungkan slsa-sisa
PKI yang sedang menyusun kembali kekuatannya".
Golput (golongan putih) dilahirkan menjelang Pemilu 1971 oleh
sekelompok mahasiswa dan cendekiawan, antara lain Arief Budiman
dan Imam Waluyo. Kelompok ini merasa aspirasi politik mereka
tidak terwakili oleh wadah politik formal yang ada waktu itu.
Mereka menyerukan pada orang-orang yang tidak mau memilih parpol
dan Golkar untuk menusuk bagian yang putih (yang kosong) di
antara sepuluh tanda gambar yang ada. Itulah asal mula timbulnya
istilah golput.
Menurut Arief Budiman, golput bukan organisasi, tanpa pengurus
dan hanya merupakan pertemuan solidaritas. Toh golput kemudiah
mengumumkan "tanda gambar" mereka: segilima hitam di atas dasar
putih. Mungkin karena situasi politik waktu itu yang lebih
longgar, golput sempat memasang tanda gambar merekaini di banyak
tempat di Jakarta, termasuk di depan kantor Lembaga Pemilihan
Umum (LPU).
Yang dimaksud dengan Golput 1982 ternyata berbeda dengan 1971.
Feisal Tamin, jurubicara Depdagri, menjelaskan yang dimaksud
Mendagri dengan golput: orang atau golongan yang tidak
menggunakan haknya untuk memilih, atau yang menganjurkan dan
mempengaruhi orang lain untuk tidak menggunakan hak pilihnya.
Diakui Feisal Tamin, hak memilih atau tidak memilih itu memang
hak asasi seseorang. "Yang tidak menggunakan hak pilihnya
silakan saja, asal tidak mempengaruhi orang lain," katanya. Tapi
orang yang menginterpretasikan hak asasi dari menusuk saja,
adalah orang yang tidak melihat atau memiliki kesadaran
bernegara.
Bisakah orang yang tidak menggunakan hak pilihnya disebut tidak
beriman? Menurut Feisal bisa, kalau dikaitkan dengan
menyejahterakan orang banyak. Agama Islam dan agama-agama lain
menganjurkan setiap orang berbuat baik untuk orang lain.
Memasukkan suara dalam pemilu diartikannya ikut menentukan corak
pelaksanaan pembangunan. Dan itu demi kesejahteraan orang
banyak, sesuai perintah Tuhan. "Kalau ada orang yang dengan
sengaja tidak men,,gunakan hak pilihnya, berarti orang itu tidak
ingin melaksanakan perintah Tuhan yang berfirman: Bekerjalah
kamu untuk dirimu sendiri dan untuk orang banyak," katanya.
Kesimpulan Feisal Tamin: orang yang percaya pada ajaran Tuhan
adalah orang yang beriman. "Jadi orang yang sengaja tidak
melaksanakan hak pilihnya, apalagi menghasut, itu namanya orang
yang tidak beriman."
KECAMAN Amirmachmud banyak memancing tanggapan. Benarkah golput
kini bangkit lagi, merupakan ancaman, hinga tidak berbeda
dengan situasi Pemilu 1977--perlu dihajar?
Ridwan Saidi, anggota DPR dari F-PP, mengaku dibingungkan oleh
pendapat pemerintah terhadap golput. Pandangan pemerintah ini,
menurut dia, kurang utuh. "Selama ini pemerintah menekankan
bahwa pemilu bukanlah pemilihan agama. Tapi kini dikatakan
golput itu tidak beriman. Ini kan sudah merupakan pandangan
agamis," ujarnya pekan lalu.
Tanggapan tokoh pemrakarsa golput pada 1971, Arief Budiman,
lebih tegas lagi. "Orang yang mengatakan bahwa golput itu dosa
dan tidak beriman berarti sudah melanggar UUD 1945," ujar dosen
Universitas Satya Wacana Salatiga ini.
Dalam UUD 1945 jelas disebutkan hak memilih, artinya boleh
memilih atau boleh tidak memilih. Hak berarti inisiatif ada pada
diri sendiri: mau atau tidak menggunakan haknya. "Jadi kalau
dikatakan orang yang mempertahankan haknya itu dosa, itu salah
sekali," kata Arief.
Areif juga menganggap tidak fair bila pemerintah secara sepihak
berkampanye antigolput. Padahal orang yang setuju pada golput
tidak diberi hak membela diri.
Tentang ucapan Mendagri itu Ketua Umum Gerakan Rakyat Marhaen
(GRM) Selamat Ginting mengomentari "Yang bicara itu kekuasaan,
bukan demokrat Pancasilais." Alasannya: berdasar Pancasila orang
masih boleh untuk bersikap tidak setuju. Sikap kelompoknya
tetap. "Pokoknya selama perangkat UU Pemilu yang ada masih
bertentangan dengan UUD 1945, kami tetap tidak mau menggunakan
hak pilih kami. Toh kami tidak mengacau," ucapnya.
Pimpinan Pesantren Ciganjur (Jakarta Selatan) Abdurrahman Wahid,
berpendapat tidak mudah menetapkan orang berdosa atau tidak.
"Apalagi dalam kasus seperti golput, di mana jelas sekali titik
tolaknya adalah kejujuran sikap moral kita," katanya. Menurut
dia, "masalah pembangunan dalam hubungannya dengan pemilihan
umum tidaklah identik dengan 'illat (sebab ) menurut syara'
(ajaran syari'at) yang dapat digunakan untuk menetapkan beriman
atau tidaknya seseorang, atau munafik tidaknya sebagai seorang
muslim."
Yang membela Mendagri bukannya tidak ada. "Yang dilakukan
pemerintah hanya reaksi terhadap pernyataan beberapa tokoh
politik yang menganjurkan golput," kata Harry Tjan Silalahi,
anggota DPA dan Wakil Ketua Dewan Direktur Pusat Pengkajian
Masalah-masalah Strategis dan Internasional (CSIS).
Pemerintah, kata Harry, mendapat mandat dari MPR untuk
mensukseskan pemilu. Sebagai orang yang "punya kerja",
pemerintah berkewajiban untuk mengadakan pendidikan politik,
menumbuhkan kesadaran politik masyarakat. "Karena itu kalau
pemerintah mewajibkan rakyat dan mendorong mereka menggunakan
haknya, harus dilihat dari iktikad baiknya: ini merupakan
pendidikan politik dari pemerintah," katanya.
Sejauh ini, apakah kelompok golput sudah dianggap melanggar
hukum? Dalam keterangannya pada pers awal Februari, Kepala Bakin
Jenderal (Purn.) Yoga Soegomo mengatakan, Bakin sudah mengetahui
cara dan siapa yang menganjurkan masyarakat untuk tidak ikut
serta pemilu. "Tetapi sampai sekarang mereka belum bisa
dikatakan melanggar peraturan yang berlaku," ujarnya.
MENGAPA sikap golput--dalam _ arti tidak menggunakan hak pilih
-- bisa timbul? Pada 1971 alasannya jelas ada kelompok yang
merasa aspirasi politik mereka tidak terwakili oleh wadah formal
yang ada. Bagaimana dengan golput sekarang?
Yang sudah tegas menyatakan tidak akan menggunakan hak pilihnya
dalam pemilu nanti antara lain kelompok Petisi 50. Dalam
pernyataannya 17 Januari 1982 lalu Kelompok Kerja Petisi 50
mengungkapkan penolakan mereka untuk terlibat dalam Pemilu 1982,
dalam menggunakan hak memilih maupun dipilih .
Alasan yang dikemukakan, seperti pernah diungkapkan Kepala Bakin
Yoga Soegomo adalah: perangkat undang-undang yang menyangkut
Pemilu 1982 dianggap bertentangan dengan UUD 1945 dan Pancasila.
Selain itu, berdasar pengalaman Pemilu 1971 dan 1977, penguasa
dianggap tidak bertindak sebagai wasit yang adil dan telah
banyak menyalahgunakan kekuasaan.
Selain kelompok Petisi 50, Gerakan Rakyat Marhaen (GRM) juga
sudah mengeluarkan pernyataan serupa (TEMPO 25 Juli 1981).
Begitu pula beberapa tokoh PDI yang tergeser oleh kepemimpinan
Soenawar Soekowati dkk, misalnya Abdul Madjid, Usep Ranawidjaja
dan Ny. D. Walandouw. Dalam pernyataannya pada Agustus 1981,
Madjid dkk berpendapat penyelenggaraan pemilu seharusnya
bersuasana rasa bebas, aman dan tenteram. Di samping itu seluruh
wakil rakyat seharusnya dipilih oleh rakyat sesuai dengan asas
kedaulatan rakyat.
Imam Waluyo, 38 tahun, salah seorang pemrakarsa golput pada
1971, pekan lalu menegaskan tidak akan menggunakan hak pilihnya
karena menganggap tidak ada gunanya memilih atau tidak. "Buat
apa kita memilih? Pemilu nanti 'kan hanya formalitas saja," kata
Direktur Lembaga Penunjang Pembangunan Nasional (Leppenas) ini.
Namun ia menolak bila dianggap memboikot pemilu. Yang tidak
disetujuinya adalah sistem dan kontestan pemilu nanti.
Imam yakin dalam Pemilu 1982 golput akan lebih banyak dibanding
pada Pemilu 1971.
Dugaan Imam Waluyo dibenarkan oleh Sukmadi Indro Cahyono, tokoh
mahasiswa Bandung pada 1977/1978. Menurut Indro, generasi muda
Bandung -- terutama yang tergabung dalam 23 Dewan
Mahasiswa/Senat Mahasiswa se Bandung --sejak November 1981 telah
menyatakan sikapnya. Pernyataan yang disampaikan ke DPR itu
antara lain berisi: tidak menginginkan adanya calon tunggal
Presiden RI dalam sidang umum MPR hasil Pemilu 1982 dan adanya
pengangkatan/penunjukan sebagian anggota DPR/MPR.
Walau mengakui sulit mengetahui secara pasti sikap mahasiswa,
Indro memperkirakan sekitar 75% mahasiswa Bandung akan golput.
Dugaan ini dibenarkan lima pengurus SM Bandung yang ikut dalam
percakapan TEMpo dengan Indro.
Di Yogyakarta, Kadirin Surenggane, 27 tahun, memperkirakan lebih
separuh mahasiswa Indonesia tidak akan menggunakan hak pilihnya
pada Pemilu 1982. Mahasiswa Fakultas Hukum UGM ini mendasarkan
dugaannya pada hasil sementara pOn yang diselenggarakan lembaga
polling mahasiswa Yogyakarta "Kumbakarna Institute".
Selaku Direktur Kumbakarna Institute yang berdiri sejak Mei
1981, Kadirin mengungkapkan, saat ini ada 8 ribu kuestioner yang
disebarkan di beberapa kampus di seluruh Indonesia. Isinya
antara lain menanyakan sikap mahasiswa pada Pemilu 1982. Belum
seluruh jawaban masuk. Namun dari jawaban sementara yang masuk
diketahui sikap golput ini timbul karena para mahasiswa kecewa
terhadap sistem politik serta sistem pendidikan yang ada.
Kebenaran maupun bobot poll dari Yogyakarta itu masih bisa
dipersoalkan. Dari Surabaya koresponden TEMPO mencatat tidak
adanya pembicaraan mengenai golput di kampus-kampus di sana.
"Jangankan golput, pembicaraan mengenai pemilu saja tidak pernah
terdengar," ujar seorang dosen yang dekat dengan aktivis
mahasiswa.
Toh dari Jawa Timur santer terdengar munculnya sejenis golput
lain. "Sekarang ini ada kampanye beberapa tokoh NU, termasuk
kiai utamanya, untuk membuang suara untuk DPR Pusat," cerita
seorang sumber TEMPO. Kampanye judi dilakukan dari mulut ke
mulut dan terutama tersebar di daerah Gresik, Jombang, Kediri,
Surabaya. Jember dan Situbondo.
Pembuangan suara itu konon akan dilakukan dengan cara menusuk
beberapa gambar sekaligus agar suara itu tidak sah. "Kalau tidak
dicoblos sama sekali nanti bisa dicoblos orang luar," ujar
sumber itu. Latar belakang sikap itu karena kejengkelan kalangan
NU pada daftar calon tetap yang dianggap "diobrak-abrik"
pemerintah dan Ketua Umum PPP John Naro serta munculnya calon
titipan yang kurang dikenal atau tidak disukai warga NU Jawa
Timur.
Sebenarnya suara yang "diperoleh" golput tidak mungkin diketahui
dengan pasti karena data yang ada hanyalah jumlah mereka yang
tidak menggunakan hak pilihnya (yang belum pasti karena golput)
serta jumlah suara yang tidak dianggap sah (yang juga tidak bisa
dipastikan sebagai sikap golput).
Pada Pemilu 1955, tercatat 87,65% pemilih mempergunakan hak
pilihnya. Sedang pada Pemilu 1971 diketahui ada 95%
pemilihyangmenggunakan haknya, dan jumlah suara yang tidak sah
5,98%. Jelas tidak semua jumlah ini suara golput. Namun waktu
itu pendukung golput menunjuk jumlah suara yang tidak sah di
Jakarta -- paling tinggi di seluruh Indonesia--yang mencapai
12,01% sebagai "hasil" golput. Dari pemilu 1977 hanya tercatat
lebih 6 juta pemilih (dari 70 juta) atau sekitar 9% yang tidak
menggunakan hak pilihnya.
BANYAK juga yang tidak percaya golput dalam pemilu nanti akan
membengkak. "Golput itu tak berarti. Prospek mereka ya akan
begitu-begitu saja, tak usah ditakuti," ujar Husni Thamrin.
Menurut bekas Ketua Umum KAPPI ini, sebabnya karena yang
bergolput kebanyakan individu, dan umumnya bukan pemimpin yang
bisa mengajak massa.
Harry Tjan juga menganggap pengaruh kelompok yang mengajak
bergolput kecil sekali. Menurut dia rakyat Indonesia lebih
merasa terikat dengan kelompok dibanding dengan pemimpin. "Orang
akan memikirkan untuk memenuhi anjuran pemimpinnya kalau dirasa
kurang cocok dengan keinginan kelompoknya," katanya.
Golput saa ini memang berbeda dengan golput 1971 yang lebih
bersifat "gerakan moral". Persamaannya: sikap itu timbul karena
kekecewaan. Golput masa kini timbul karena bermacam alasan yang
bersumber pada berbagai jenis kekecewaan dan ketidakpuasan. Ada
yang karena tidak setuju dengan sistem dan perangkat peraturan
yang dipakai. Ada yang merasa aspirasi politiknya tidak
tertampung oleh parpol dan golkar. Ada yang tidak puas dengan
kepemimpinan partai. Namun ada juga yang karena sakit hati,
frustrasi atau sekedar timbul sebagai ekspresi ketidakpuasan dan
protes terhadap situasi saat ini.
Yang tampaknya tidak banyak mengomentari soal golput saat ini
adalah Golkar. Itu bisa dimengerti karena "sumber" utama golput
saat ini adalah kelompok sempalan parpol yang kecewa, serta
generasi muda dan cendekiawan. Secara tidak langsung golput,
yang sedikit banyak bisa menggerogoti suara parpol, malahan akan
menguntungkan Golkar.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini