Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Sebelum kampanye menggebuk si putih

Kritik terhadap golput dilontarkan oleh beberapa tokoh pemerintah dan pimpinan parpol. tanggapan beberapa tokoh soal golput. kampanye sebelum pemilu sudah digencarkan untuk menggebuk golput. (nas)

13 Maret 1982 | 00.00 WIB

Sebelum kampanye menggebuk si putih
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
KAMPANYE resmi pemilihan umum baru akan dimulai 15 Maret. Namun semacam kampanye lain sudah gencar dilakukan menggebuk golput. Itu bisa dilihat dari berbagai pernyataan beberapa tokoh belakangan ini. Menteri Dalam Negeri Amirmachmud yang suka bicara blak-blakan, termasuk yang paling sengit menghantam golput. Dalam upacara penandatanganan daftar calon tetap Pemilu 1982, 9 Eebruari lalu, Mendagri mengingatkan, rakyat pemilih harus disadarkan dan diyakinkan agar tidak terpengaruh oleh anjuran mereka yang mengarah untuk tidak memberikan suaranya. Anjuran untuk tidak memilih atau golput dianggapnya tindak pidana menyesatkan rakyat. "Sebab itu mengikuti golput berarti menjerumuskan diri ke dalam dosa," katanya. Kurang dari sepuluh hari kemudian, di Pontianak, Amirmachmud menyebut golput "orang munafik". Yang paling keras mungkin pernyataan Mendagri tiga pekan lalu di depan ribuan masyarakat Tasikmalaya (Jawa Barat). Para ulama diserukannya agar mengajak masyarakat berbondong-bondong mendatangi tempat pemungutan suara pada 4 Mei nanti "Jangan sampai mereka dihadang golongan putih," serunya. Mereka yang menganut golput "adalah orang-orang tidak beriman dan tidak mensyukuri nikmat dari Tuhan." Kritik terhadap golput juga dilancarkan beberapa pimpinan parpol, antara lain Ketua Umum PDI Soenawar Soekawati dan ketua Umum PPP John Naro. Tapi kecaman yang paling mengagetkan agaknya datang dari kelompok ulama Jawa Barat yang bernaung dalam Majelis Ta'lim Darul Ulum, pekan lalu. Menurut mereka, bersikap golput dalam pemilu mendatang hukumnya "haram". Salah satu alasannya kedengarannya aneh: karena "menguntungkan slsa-sisa PKI yang sedang menyusun kembali kekuatannya". Golput (golongan putih) dilahirkan menjelang Pemilu 1971 oleh sekelompok mahasiswa dan cendekiawan, antara lain Arief Budiman dan Imam Waluyo. Kelompok ini merasa aspirasi politik mereka tidak terwakili oleh wadah politik formal yang ada waktu itu. Mereka menyerukan pada orang-orang yang tidak mau memilih parpol dan Golkar untuk menusuk bagian yang putih (yang kosong) di antara sepuluh tanda gambar yang ada. Itulah asal mula timbulnya istilah golput. Menurut Arief Budiman, golput bukan organisasi, tanpa pengurus dan hanya merupakan pertemuan solidaritas. Toh golput kemudiah mengumumkan "tanda gambar" mereka: segilima hitam di atas dasar putih. Mungkin karena situasi politik waktu itu yang lebih longgar, golput sempat memasang tanda gambar merekaini di banyak tempat di Jakarta, termasuk di depan kantor Lembaga Pemilihan Umum (LPU). Yang dimaksud dengan Golput 1982 ternyata berbeda dengan 1971. Feisal Tamin, jurubicara Depdagri, menjelaskan yang dimaksud Mendagri dengan golput: orang atau golongan yang tidak menggunakan haknya untuk memilih, atau yang menganjurkan dan mempengaruhi orang lain untuk tidak menggunakan hak pilihnya. Diakui Feisal Tamin, hak memilih atau tidak memilih itu memang hak asasi seseorang. "Yang tidak menggunakan hak pilihnya silakan saja, asal tidak mempengaruhi orang lain," katanya. Tapi orang yang menginterpretasikan hak asasi dari menusuk saja, adalah orang yang tidak melihat atau memiliki kesadaran bernegara. Bisakah orang yang tidak menggunakan hak pilihnya disebut tidak beriman? Menurut Feisal bisa, kalau dikaitkan dengan menyejahterakan orang banyak. Agama Islam dan agama-agama lain menganjurkan setiap orang berbuat baik untuk orang lain. Memasukkan suara dalam pemilu diartikannya ikut menentukan corak pelaksanaan pembangunan. Dan itu demi kesejahteraan orang banyak, sesuai perintah Tuhan. "Kalau ada orang yang dengan sengaja tidak men,,gunakan hak pilihnya, berarti orang itu tidak ingin melaksanakan perintah Tuhan yang berfirman: Bekerjalah kamu untuk dirimu sendiri dan untuk orang banyak," katanya. Kesimpulan Feisal Tamin: orang yang percaya pada ajaran Tuhan adalah orang yang beriman. "Jadi orang yang sengaja tidak melaksanakan hak pilihnya, apalagi menghasut, itu namanya orang yang tidak beriman." KECAMAN Amirmachmud banyak memancing tanggapan. Benarkah golput kini bangkit lagi, merupakan ancaman, hinga tidak berbeda dengan situasi Pemilu 1977--perlu dihajar? Ridwan Saidi, anggota DPR dari F-PP, mengaku dibingungkan oleh pendapat pemerintah terhadap golput. Pandangan pemerintah ini, menurut dia, kurang utuh. "Selama ini pemerintah menekankan bahwa pemilu bukanlah pemilihan agama. Tapi kini dikatakan golput itu tidak beriman. Ini kan sudah merupakan pandangan agamis," ujarnya pekan lalu. Tanggapan tokoh pemrakarsa golput pada 1971, Arief Budiman, lebih tegas lagi. "Orang yang mengatakan bahwa golput itu dosa dan tidak beriman berarti sudah melanggar UUD 1945," ujar dosen Universitas Satya Wacana Salatiga ini. Dalam UUD 1945 jelas disebutkan hak memilih, artinya boleh memilih atau boleh tidak memilih. Hak berarti inisiatif ada pada diri sendiri: mau atau tidak menggunakan haknya. "Jadi kalau dikatakan orang yang mempertahankan haknya itu dosa, itu salah sekali," kata Arief. Areif juga menganggap tidak fair bila pemerintah secara sepihak berkampanye antigolput. Padahal orang yang setuju pada golput tidak diberi hak membela diri. Tentang ucapan Mendagri itu Ketua Umum Gerakan Rakyat Marhaen (GRM) Selamat Ginting mengomentari "Yang bicara itu kekuasaan, bukan demokrat Pancasilais." Alasannya: berdasar Pancasila orang masih boleh untuk bersikap tidak setuju. Sikap kelompoknya tetap. "Pokoknya selama perangkat UU Pemilu yang ada masih bertentangan dengan UUD 1945, kami tetap tidak mau menggunakan hak pilih kami. Toh kami tidak mengacau," ucapnya. Pimpinan Pesantren Ciganjur (Jakarta Selatan) Abdurrahman Wahid, berpendapat tidak mudah menetapkan orang berdosa atau tidak. "Apalagi dalam kasus seperti golput, di mana jelas sekali titik tolaknya adalah kejujuran sikap moral kita," katanya. Menurut dia, "masalah pembangunan dalam hubungannya dengan pemilihan umum tidaklah identik dengan 'illat (sebab ) menurut syara' (ajaran syari'at) yang dapat digunakan untuk menetapkan beriman atau tidaknya seseorang, atau munafik tidaknya sebagai seorang muslim." Yang membela Mendagri bukannya tidak ada. "Yang dilakukan pemerintah hanya reaksi terhadap pernyataan beberapa tokoh politik yang menganjurkan golput," kata Harry Tjan Silalahi, anggota DPA dan Wakil Ketua Dewan Direktur Pusat Pengkajian Masalah-masalah Strategis dan Internasional (CSIS). Pemerintah, kata Harry, mendapat mandat dari MPR untuk mensukseskan pemilu. Sebagai orang yang "punya kerja", pemerintah berkewajiban untuk mengadakan pendidikan politik, menumbuhkan kesadaran politik masyarakat. "Karena itu kalau pemerintah mewajibkan rakyat dan mendorong mereka menggunakan haknya, harus dilihat dari iktikad baiknya: ini merupakan pendidikan politik dari pemerintah," katanya. Sejauh ini, apakah kelompok golput sudah dianggap melanggar hukum? Dalam keterangannya pada pers awal Februari, Kepala Bakin Jenderal (Purn.) Yoga Soegomo mengatakan, Bakin sudah mengetahui cara dan siapa yang menganjurkan masyarakat untuk tidak ikut serta pemilu. "Tetapi sampai sekarang mereka belum bisa dikatakan melanggar peraturan yang berlaku," ujarnya. MENGAPA sikap golput--dalam _ arti tidak menggunakan hak pilih -- bisa timbul? Pada 1971 alasannya jelas ada kelompok yang merasa aspirasi politik mereka tidak terwakili oleh wadah formal yang ada. Bagaimana dengan golput sekarang? Yang sudah tegas menyatakan tidak akan menggunakan hak pilihnya dalam pemilu nanti antara lain kelompok Petisi 50. Dalam pernyataannya 17 Januari 1982 lalu Kelompok Kerja Petisi 50 mengungkapkan penolakan mereka untuk terlibat dalam Pemilu 1982, dalam menggunakan hak memilih maupun dipilih . Alasan yang dikemukakan, seperti pernah diungkapkan Kepala Bakin Yoga Soegomo adalah: perangkat undang-undang yang menyangkut Pemilu 1982 dianggap bertentangan dengan UUD 1945 dan Pancasila. Selain itu, berdasar pengalaman Pemilu 1971 dan 1977, penguasa dianggap tidak bertindak sebagai wasit yang adil dan telah banyak menyalahgunakan kekuasaan. Selain kelompok Petisi 50, Gerakan Rakyat Marhaen (GRM) juga sudah mengeluarkan pernyataan serupa (TEMPO 25 Juli 1981). Begitu pula beberapa tokoh PDI yang tergeser oleh kepemimpinan Soenawar Soekowati dkk, misalnya Abdul Madjid, Usep Ranawidjaja dan Ny. D. Walandouw. Dalam pernyataannya pada Agustus 1981, Madjid dkk berpendapat penyelenggaraan pemilu seharusnya bersuasana rasa bebas, aman dan tenteram. Di samping itu seluruh wakil rakyat seharusnya dipilih oleh rakyat sesuai dengan asas kedaulatan rakyat. Imam Waluyo, 38 tahun, salah seorang pemrakarsa golput pada 1971, pekan lalu menegaskan tidak akan menggunakan hak pilihnya karena menganggap tidak ada gunanya memilih atau tidak. "Buat apa kita memilih? Pemilu nanti 'kan hanya formalitas saja," kata Direktur Lembaga Penunjang Pembangunan Nasional (Leppenas) ini. Namun ia menolak bila dianggap memboikot pemilu. Yang tidak disetujuinya adalah sistem dan kontestan pemilu nanti. Imam yakin dalam Pemilu 1982 golput akan lebih banyak dibanding pada Pemilu 1971. Dugaan Imam Waluyo dibenarkan oleh Sukmadi Indro Cahyono, tokoh mahasiswa Bandung pada 1977/1978. Menurut Indro, generasi muda Bandung -- terutama yang tergabung dalam 23 Dewan Mahasiswa/Senat Mahasiswa se Bandung --sejak November 1981 telah menyatakan sikapnya. Pernyataan yang disampaikan ke DPR itu antara lain berisi: tidak menginginkan adanya calon tunggal Presiden RI dalam sidang umum MPR hasil Pemilu 1982 dan adanya pengangkatan/penunjukan sebagian anggota DPR/MPR. Walau mengakui sulit mengetahui secara pasti sikap mahasiswa, Indro memperkirakan sekitar 75% mahasiswa Bandung akan golput. Dugaan ini dibenarkan lima pengurus SM Bandung yang ikut dalam percakapan TEMpo dengan Indro. Di Yogyakarta, Kadirin Surenggane, 27 tahun, memperkirakan lebih separuh mahasiswa Indonesia tidak akan menggunakan hak pilihnya pada Pemilu 1982. Mahasiswa Fakultas Hukum UGM ini mendasarkan dugaannya pada hasil sementara pOn yang diselenggarakan lembaga polling mahasiswa Yogyakarta "Kumbakarna Institute". Selaku Direktur Kumbakarna Institute yang berdiri sejak Mei 1981, Kadirin mengungkapkan, saat ini ada 8 ribu kuestioner yang disebarkan di beberapa kampus di seluruh Indonesia. Isinya antara lain menanyakan sikap mahasiswa pada Pemilu 1982. Belum seluruh jawaban masuk. Namun dari jawaban sementara yang masuk diketahui sikap golput ini timbul karena para mahasiswa kecewa terhadap sistem politik serta sistem pendidikan yang ada. Kebenaran maupun bobot poll dari Yogyakarta itu masih bisa dipersoalkan. Dari Surabaya koresponden TEMPO mencatat tidak adanya pembicaraan mengenai golput di kampus-kampus di sana. "Jangankan golput, pembicaraan mengenai pemilu saja tidak pernah terdengar," ujar seorang dosen yang dekat dengan aktivis mahasiswa. Toh dari Jawa Timur santer terdengar munculnya sejenis golput lain. "Sekarang ini ada kampanye beberapa tokoh NU, termasuk kiai utamanya, untuk membuang suara untuk DPR Pusat," cerita seorang sumber TEMPO. Kampanye judi dilakukan dari mulut ke mulut dan terutama tersebar di daerah Gresik, Jombang, Kediri, Surabaya. Jember dan Situbondo. Pembuangan suara itu konon akan dilakukan dengan cara menusuk beberapa gambar sekaligus agar suara itu tidak sah. "Kalau tidak dicoblos sama sekali nanti bisa dicoblos orang luar," ujar sumber itu. Latar belakang sikap itu karena kejengkelan kalangan NU pada daftar calon tetap yang dianggap "diobrak-abrik" pemerintah dan Ketua Umum PPP John Naro serta munculnya calon titipan yang kurang dikenal atau tidak disukai warga NU Jawa Timur. Sebenarnya suara yang "diperoleh" golput tidak mungkin diketahui dengan pasti karena data yang ada hanyalah jumlah mereka yang tidak menggunakan hak pilihnya (yang belum pasti karena golput) serta jumlah suara yang tidak dianggap sah (yang juga tidak bisa dipastikan sebagai sikap golput). Pada Pemilu 1955, tercatat 87,65% pemilih mempergunakan hak pilihnya. Sedang pada Pemilu 1971 diketahui ada 95% pemilihyangmenggunakan haknya, dan jumlah suara yang tidak sah 5,98%. Jelas tidak semua jumlah ini suara golput. Namun waktu itu pendukung golput menunjuk jumlah suara yang tidak sah di Jakarta -- paling tinggi di seluruh Indonesia--yang mencapai 12,01% sebagai "hasil" golput. Dari pemilu 1977 hanya tercatat lebih 6 juta pemilih (dari 70 juta) atau sekitar 9% yang tidak menggunakan hak pilihnya. BANYAK juga yang tidak percaya golput dalam pemilu nanti akan membengkak. "Golput itu tak berarti. Prospek mereka ya akan begitu-begitu saja, tak usah ditakuti," ujar Husni Thamrin. Menurut bekas Ketua Umum KAPPI ini, sebabnya karena yang bergolput kebanyakan individu, dan umumnya bukan pemimpin yang bisa mengajak massa. Harry Tjan juga menganggap pengaruh kelompok yang mengajak bergolput kecil sekali. Menurut dia rakyat Indonesia lebih merasa terikat dengan kelompok dibanding dengan pemimpin. "Orang akan memikirkan untuk memenuhi anjuran pemimpinnya kalau dirasa kurang cocok dengan keinginan kelompoknya," katanya. Golput saa ini memang berbeda dengan golput 1971 yang lebih bersifat "gerakan moral". Persamaannya: sikap itu timbul karena kekecewaan. Golput masa kini timbul karena bermacam alasan yang bersumber pada berbagai jenis kekecewaan dan ketidakpuasan. Ada yang karena tidak setuju dengan sistem dan perangkat peraturan yang dipakai. Ada yang merasa aspirasi politiknya tidak tertampung oleh parpol dan golkar. Ada yang tidak puas dengan kepemimpinan partai. Namun ada juga yang karena sakit hati, frustrasi atau sekedar timbul sebagai ekspresi ketidakpuasan dan protes terhadap situasi saat ini. Yang tampaknya tidak banyak mengomentari soal golput saat ini adalah Golkar. Itu bisa dimengerti karena "sumber" utama golput saat ini adalah kelompok sempalan parpol yang kecewa, serta generasi muda dan cendekiawan. Secara tidak langsung golput, yang sedikit banyak bisa menggerogoti suara parpol, malahan akan menguntungkan Golkar.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus