Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Menilai golput, dulu dan sekarang

Golput yang kini menjadi pembicaraan hangat rupanya mengundang bermacam tanggapan. ada yang mengatakan motivasinya murahan, tidak serius, atau sudah masuk ke desa. (nas)

13 Maret 1982 | 00.00 WIB

Menilai golput, dulu dan sekarang
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
RIDWAN SAIDI, 40 tahun, anggota DPR dari F-PP, Sekjen HMI 1969-1971. Saya sendiri mempunyai sikap politik menolak golput sejak Pemilu 1971. Selaku Sekjen HMI, ketika itu saya menyerukan agar semua anggota menggunakan suaranya untuk menaati aturan permainan yang sudah disepakati. Terlepas apakah aturan itu memuaskan atau tidak. Pandangan saya soal golput berbeda dengan pemerintah. Pemerintah menganggap, golput menenung penguasa. Saya tidak mengutuknya. Cuma memberi warning. Bukankah golput sendiri juga merupakan peringatan bagi UU Pemilu yang belum sesuai dengan kedaulatan rakyat? Tapi tidak bisa, menghadapi ketidakbenaran dengan ketidakbenaran. itu sama-sama gila. Potensi golput hanya pada kelompok yandijamah media massa. Mereka disatukan oleh pandangan yang sama, bukan oleh figur seseorang. ini ijtihad (upaya) politik. Bukan dituntun oleh imam, tapi oleh nalar belaka. Jumlahnya sedikit. Tapi ini kelompok yang menarik perhatian. Apakah golput karena ada orang ngambek? Tidak sepenuhnya begitu. Pembangunan politik tidak pernah tertolong oleh sikap ngambek-ngambekan. Kalau golput benar sekedar memberi peringatan, yanyoblos dong sembari memberi peringatan. Golput seharusnya berperan sebagai dinamisator, bukan sebagai mandor. Kalau perwujudan politik nanti jelek, jangan lantas menangisi susu yang tumpah. HARUN AL RASID, Lektor Kepala Hukum Tata Negara, Fakultas Hukum UI. Orang yang abstain atau tidak memilih dalam pemilu tidak bisa dikatakan melanggar hukum. UU Pemilu sendiri tidak mewajibkan warga negara untuk memilih. Negara kita'menganut asas voluntary voting, memilih dengan sukarela. Ini berbeda dengan misalnya Australia yang menganut asas compulsory voting: pemilih diwajibkan menggunakan hak pilihnya. Tapi kalau ada orang yang menyuruh orang lain untuk golput, itu bisa ditafsirkan sabotase. Tentu ada latar belakang politiknya. Banyaknya orang memberikan suara dalam pemilu bisa berarti kesadaran hukum semakin tinggi. Kalau ternyata golput besar, pemerintah harus segera mawas diri. Tapi bisa juga, seorang tidak memilih karena merasa tidak ada wadah yang mewakilinya. Cuma di lndonesia, itu tidak bisa menjadi alasan. Semua golongan secara formal sudah diwakili oleh parpol dan Golkar. Namun bisa saja tetap ada golput. Buktinya, Pak Hatta almarhum, pernah juga mengatakan tidak akan menggunakan hak pilihnya. HARRY TJAN SILALAHI, 48 tahun Direktur CSIS, anggota DPA. Masalah golput lebih bersifat pernyataan saja dibanding kenyataan dan pengaruhnya dalam pemungutan suara. Suara yang akan masuk dalam pemilu nanti diperkirakan 90 persen. Sebagai pencerminan politik, pernyataan semacam itu tidak akan berarti apa-apa. Di negara yang sudah maju, golput jauh lebih besar. Bisa di atas 40 persen. Sedang di Indonesia, sekitar 10 persen. Dari kira-kira 10 persen itu, yang sadar politik dan sengaja tidak mau memberikan suara kurang dari sat persen. Lainnya mungkin suara tidak sah, tidak tahu, lalai dan lain-lain. Di negara berkembang seperti Indonesia, memilih lebih bersifat kewajiban. Walau tidak ada paksaan, rakyat merasa ewuh (risih) untuk tidak datang memberikan suara. Lain sekali dengan negara maju yang sistem politiknya sudah mapan. Di sana memilih berarti mendukung kawan dan menghukum lawan. Kecilnya kemungkinan rakyat ikut golput terutama karena sifat mereka lebih terikat dengan kelompoknya. Bukan dengan pemimpin. Artinya, agak susah para pemimpin itu mempengaruhi anak buahnya. Tambah lagi, rakyat jua mempunyai beberapa "bapak buah". Solidaritasnya lebih besar dengan kelompok daripada kepada pemimpin. ARIEF BUDIMAN, 41 tahun, pencetus golput 1971 dan dosen Universitas Satya Wacana, Salatiga. Golput adalah indikator proses politik yang tidak benar. Sebagai gerakan politik, ia tidak mempunyai kekuatan. Golput mempertahankan kemerdekaannya yang terakhir dengan diam. Sebagai gerakan moral, golput sekarang semakin besar. Ini bukan ditentukan oleh kampanye, tapi terutama oleh perkembangan politik. Tapi motivasinya berbeda antara golput 1971 dan 1982. Namun dasarnya sama yaitu tidak mungkin untuk memilih. Dulu saya dikatakan sakit hati. Saya merasakan, proses politik kok jadi begitu. Dus, tidak memilih rasanya lebih baik daripada memilih. Dan golput sebenarnya menggerogoti kecil-kecilan proses keabsahan pemilu. Karena pemilu sendiri merupakan proyek untuk memenangkan keabsahan. Pemerintah tahu, golput tidak mempunyai kekutan. Ia tidak akan menang dalam pemilu. Apalagi sekarang, proses politik lebih menyuburkan golput itu. Namun golput kini sudah campuran. Bukan hanya orang yang idealis seperti 1971. ABDURRAHMAN WAHID, 42 tahun, Pengasuh Pesantren Ciganjur Jakarta Selatan, Sekretaris I PB-NU. Golput 1971 adalah suara kalangan intelektual dan budayawan, sehingga tidak mencapai papan pantul di bawah. Dalam Pemilu 1982, golput lebih banyak berupa kekecewaan para politisi praktis dan aktivis gerakan massa yang "kalah bertanding" Juga para pemimpin rohanl yang dlkecewakan para politisi praktisnya. Sulit untuk menganggap golput dalam Pemilu 1982 sebagai hukuman atas sistem politik yang gagal didemokratisasikan. Kekecewaan memang sebab sederhana. Pada ujungnya baru ditemukan muara yaitu penilaian terhadap sistem politik. Tapi itu masih nanti, bukan dalam pemilu ini. SUMISKUM, bekas Wakil Ketua DPR dari F-KP, pengamat politik. Golput sekarang tambah besar. Cuma suaranya kurang vokal. Alasan adanya golput: pemerintah terlalu menekankan pendekatan stabilitas. Sedang pendekatan demokrasi kurang diperhatikan. Yang golput dari dulu polanya sama. Yaitu orang yang merasa tidak sesuai dengan kebijaksanaan penguasa. Mereka dipersatukan oleh kesamaan perasaan kecewa itu. Ini wajar selama mereka tidak menyatakan sikap politiknya dengan kekerasan. Kalau sudah begitu namanya pemberontakan. Pemerintah menghantam golput berarti ia mengakui ada gelombang yang tidak senang terhadap kebijaksanaannya. Kelompok golput akan tetap berkembang karena melihat organisasi politik formal sekarang semakin mirip atau mendekati corak jawatan pemerintah, makin kehilangan otonominya sebagal parpol--Golkar. Kedaulatan politiknya bergeser dan berpindah dari anggota kepada pemimpm. HARDJANTHO SUMODISASTRO, 55 tahun, Ketua DPP PDI, Wakil Ketua DPR. Ikut golput berarti melewatkan kesempatan yang terbaik dalam 5 tahun sekali. Gejala ini sudah masuk sampai ke desa-desa. Tidak memilih memang hak seseorang. Tapi sebagai warga negara, golput berarti tidak bertanggungjawab. Sebab, kalau mereka ingin memperbaiki nasib, caranya bukan begitu. Jangan kendaraan ini dirusak. Mari masuk dan memperbaiki bersama. Tapi banyaknya suara yang masuk bukan satu-satunya ukuran pemilu berhasil. Yang penting, berasas luber, tenang, aman dan tidak menimbulkan perpecahan nasional. ABDUL MADJID, 65 tahun, bekas Ketua DPP PDI dan bekas anggota DPR. Golput bisa menunjukkan sikap politik tertentu yaitu menampik tiga tanda gambar dalam pemilu, di samping tidak cocok dengan aturan permainan. Tapi toh pemerintah tidak dapat menindaknya. Dalam pemilu nanti, golput akan meningkat dan lebih berani. Kita harus mengajarkan agar mereka berani walau belum tentu memberontak. Tidak bisa dikatakan bahwa golput adalah orang yang kesadaran politiknya kurang. Justru sebaliknya: hanya orang sadar politik yang bisa golput. CHALID MAWARDI, Ketua GP Ansor, Anggota DPR, Wakil Sekjen DPP-PPP. Hak pilih merupakan panggilan bagi warga negara untuk bersama-sama ikut menyusun kehidupan politik. Jadi golput secara sadar adalah tindakan negatif. Jumlahnya akan meningkat karena persiapan pemilu oleh kontestan agak mengecewakan . Golput 1971 timbul karena mempersoalkan sistem pemilu. Dalam Pemilu 1977, golput muncul karena kekecewaan atas penciutan 10 partai menjadi 3 wadah, dan pembangunan lebih menitikberatkan pertumbuhan dan menomorduakan pemerataan. Golput 1982 lebih disebabkan oleh kekecewaan terhadap kepemimpinan kontestan. Sedang protes soal UU Pemilu dan UU Susunan anggota DPR/MPR itu hanya alasan klise dan tidak menonjol. Kelihatannya, motivasi golput kali ini agak murahan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus