Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Kita selalu berharap Indonesia kelak memasuki masa demokrasi yang gemilang.
Namun, runyamnya pemilihan umum, cawe-cawe penguasa, membuat demokrasi menjadi utopia.
Adakah harapan pada demokrasi setara dengan harapan bahwa Indonesia negeri 'gemah ripah lohjinawi'?
SUDAH sejak 2006 Economist Intelligence Unit merilis analisis tentang demokrasi di Indonesia yang dinilai cacat (flaw). Walau ada koran atau pengamat yang memuji sukses besar penyelenggaraan pemilihan kepala daerah 2024, segera fakta tentang politik uang, cawe-cawe penguasa, dan tingginya angka golput mementahkan pujian itu. Saya khawatir: jangan-jangan selama ini kita terlalu berharap pada kemajuan demokrasi; atau malah terjebak dalam keyakinan utopis bahwa bangsa kita telah bisa bersikap adil dan tidak rakus kekuasaan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
John Gray dalam Black Mass: Apocalytic Religion and the Death of Utopia (2008) telah lama curiga bahwa warisan agama yang terus menyelinap ke dalam politik ialah utopia. Kita mafhum dengan ungkapan-ungkapan: “akan datang waktunya semua jadi baik” dan “kesulitan hidup akan berganti jadi kebahagiaan”. Juga gemah ripah loh jinawi; satrio piningit atawa kesatria yang tersembunyi akan datang membereskan segala sengkarut.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kasus “cargo cult” di Papua-Melanesia pada akhir abad ke-19 dengan gamblang menunjukkan utopia tersebut: akan datang dari pantai paket barang-barang mewah, yang membuat kita tak lapar dan tak miskin lagi. Sang Mesias Manserem Koreri atau “Tuhan Negara Bahagia” akan menghadirkan semuanya. Terhadap belang utopia tersebut, Gray berkomentar, “Lihat saja, tak satu pun yang diimpikan itu terwujud.”
Meski demikian, janji kehidupan yang sempurna dari agama-agama tadi tak pernah bisa dihilangkan, bahkan terus disalurkan ke dalam politik modern. Dunia sekuler pun tak mampu meredamnya. Marxisme bahkan memiliki utopia lain: terwujudnya masyarakat tanpa kelas sosial. Adapun liberalisme percaya bahwa masyarakat kapitalistik yang kini berjaya sedang bergerak maju ke arah “good society”.
Para cendekiawan Indonesia, seperti Goenawan Mohamad dan Chatib Basri, menyadari hal ini. Mengulas demokrasi Indonesia–seraya tetap berharap pada demokrasi dan bersitahan dari godaan utopisnya–mereka beberapa kali mengutip Reinhold Niebuhr, teolog realis Amerika Serikat. Kata Niebuhr, “Kapasitas manusia untuk berbuat adil memungkinkan demokrasi (ada), namun kecenderungan manusia untuk sewenang-wenang membuat demokrasi itu perlu.”
Niebuhr menuliskan hal itu dalam prakata bukunya, The Children of Light and the Children of Darkness (1944), saat demokrasi Amerika diguncang oleh kemungkinan totalitarianisme yang berkembang di dunia. Di dalam negeri, ia juga melihat gelagat pembatasan kebebasan kepada kelompok Kiri, yang berujung pada McCarthyism di tahun 1950-an. Niebuhr ingin memperjuangkan kelangsungan demokrasi, dengan sikap realistis tapi tetap menaruh harapan.
Ia ingin agar “anak-anak terang”, yang berjuang untuk demokrasi dan kesetaraan, tidak bersikap naif. Sementara itu, “anak-anak kegelapan” yang sinis pada politik telah menjadikan politik ajang manipulasi dan dominasi. Melalui demokrasi, “anak-anak terang” menghadirkan kebebasan ke dalam kehidupan sosial, meski laku mementingkan diri sendiri yang terjadi dalam politik menjadi alasan “anak-anak kegelapan” untuk memanfaatkan demokrasi buat kepentingan mereka. Kecenderungan menguatnya “anak-anak kegelapan” membuat Niebuhr menegaskan perlunya demokrasi. Lewat demokrasi, keculasan mereka bisa dibatasi agar cacat demokrasi tidak diperparah oleh kemungkinan salah dan khilaf (fallibility) manusia.
Pertanyaan lanjutan yang muncul: bisakah demokrasi yang tak mau kemasukan pesan utopia agama terbuka pada falibilitas tersebut? Filsuf dan penyair Toeti Heraty dalam Aku dalam Budaya (2013) menyebutkan pesan agama datang dari pengalaman “aku mitik”. Bagi Toeti, hubungan manusia dengan budayanya terjadi lewat hubungan fungsional dan hubungan mitik berdasarkan pengalaman diri yang tak terperi.
Dari hubungan mitik itu, menurut Toeti, yang tampaknya terpengaruh Paul Ricoeur, manusia menemui dan mengakui satu dimensi dari setiap kehendak atau tindakannya lewat kemungkinan salah atau khilaf (fallible) tadi. Simbol-simbol mitik yang dibawa agama, seperti noda atau dosa, bisa menggerakkan dan membuka pikiran bahwa dalam berbagai tindakan manusia, kekhilafan dan kedurjanaan sangat mungkin terjadi. Demokrasi, dengan demikian, harus berdaya terhadap falibilitas manusia. “Anak-anak terang” harus mencegah hal buruk itu terjadi. Seluruh pendalaman reflektif atas falibilitas menunjukkan dimensi mendalam manusia, sebagai un homme capable, manusia berkemampuan, demikian menurut Ricoeur.
Mantan presiden Barack Obama, dalam wawancaranya dengan wartawan New York Times, David Brooks, April 2007, menjelaskan perihal kecemasan Niebuhr. Kata Obama, “Saya tak bisa menghindar dari gagasan Niebuhr bahwa ada kedurjanaan, kesulitan, dan derita di dunia ini. Tapi kita harus berendah hati dengan secukupnya saja mempercayai bahwa kita bisa mengatasi semua itu. Jangan sampai hal itu jadi alasan untuk munculnya sinisme dan sikap lembam.”
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo